Oleh Encep Abdullah
Benar sekali,
adakalanya kita jangan memaksakan mencari ide. Kalau memang tidak ada, ya
sudah. Tidak perlulah kita harus pergi ke pantai. Kita pandangi ombak. Lalu,
menulis puisi. Atau istri sedang tidur, kita ganggu. Konyol namanya. Mau baca
buku, tapi lagi kurang mood, juga tidak bisa dipaksa. Lampu kamar mandi mendadak mati dan saya menggantinya, itu saja peristiwa yang terjadi sebelum
saya menuliskan catatan ini. Mungkin akan berbeda jika saat pasang lampu, saya
kesetrum, dan jatuh, tapi jatuh dipelukan istri yang sedang pegangin tangga.
Lalu, kita sama-sama saling pandang dan senyum-senyum sendiri. Tapi, itu tidak terjadi.
Pernahkah Anda
dalam posisi saat ini seperti saya? Tidak ada yang memaksa saya menulis.
Walaupun hari ini jadwal saya menulis, saya batalkan pun tidak jadi masalah.
Siapa yang melarang. Cuma, saya merasa mubazir saja, waktu saya seperti
terbuang sia-sia. Saya teringat sebuah postingan di Instagram kemarin.
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah berkata, "Diam tanpa membaca, tanpa berdzikir, tanpa
berdoa, bukanlah ibadah, dan tidak dianjurkan akan tetapi akan membuka pintu
was-was, maka menyibukkan diri dengan dzikir kepada Allah lebih utama daripada
diam." [Al-Fatawa Al-Kubra (2/298)]
Di situ tidak ada kata ”menulis”. Maka, saya mohon izin Syekh, sekali lagi mohon izin, saya tambahkan sedikit, ”Diam tanpa membaca, tanpa berdzikir, tanpa berdoa, tanpa menulis,
bukanlah ibadah ... ”. Definisi diam di sini kalau saya artikan sendiri bisa bermakna
mulut yang tidak berbicara, atau hati yang tidak terkoneksi dengan Allah, atau melakukan sesuatu yang tidak bermanfaat sehingga menimbulkan mudarat. Saya juga teringat satu baris puisi dosen saya,
kalau tidak salah, Diamku adalah diam yang bergerak. Saat
saya tanya maksudnya apa, beliau menjawab kurang lebih begini, ”setiap manusia walaupun dia tampak diam, sejatinya pikiran dan jiwanya tidak diam. Diam yang bergerak adalah diam berzikir kepada dan menuju Allah". Dalam sekali.
Saya termasuk orang
kambuhan yang tak bisa diprediksi kapan dan di mana spesifik harus diam bersemadi. Kadang diam duduk sendirian di belakang rumah. Kadang menepi di sebuah jembatan layang, diam sembari ngopi dan ngudud sendiri. Kadang khusyuk di masjid begitu lama
sampai istri mencari-cari (padahal sedang menghindari keributan di rumah untuk menenangkan diri). Kadang
berjam-jam diam khusyuk sendiri di kamar baca buku. Kadang seharian menghadap layar laptop, menulis
atau mengedit buku. Sering kali mulut ini jadi hemat bicara. Tapi, sebenarnya bisa jadi pikiran dan
hati lebih riuh dari suara mulut saya.
Duh, sampai bagian ini kok malah kepala
saya jadi pusing. Serius. Saat saya menulis dua paragraf awal, saya baik-baik saja. Saat saya masuk di kutipan Syekh Ibnu Taimiyyah, kepala
saya mendadak jadi berat.
Menulis kalau membawa pikiran orang lain, malah jadi agak mumet, rasanya perlu
diselaraskan dengan pikiran penulis karena sering kali di sana ada pergulatan pikiran. Kalau setuju, enak. Kalau berbeda, saya sebagai penulis kudu
berpikir apa yang melatarbelakangi saya punya pikiran yang berbeda. Sebelum saya menulis ini, saya tidak kepikiran bahwa saya harus membawa
kutipan Ibnu Taimiyyah itu dalam tulisan ini. Namun, kutipan itulah yang akhirnya membuat tulisan ini makin panjang.
Sebelum menulis
ini, saya juga membaca salah satu esai peserta kelas menulis, Kang Najullah, di
grup WA. Lalu, saya komentari begini ”Menulis dengan banyak kutipan dan sumber bagi saya cukup lelah karena
perlu menghubungkan dan menyesuaikan ide di kepala kita dengan kutipan-kutipan
itu. Bisa jadi gagal, bisa jadi akan lebih baik”. Komentar tersebut ternyata ada hubungannya
dengan tulisan ini. Sebelum saya mengutip Syekh, saya merasa baik-baik saja.
Setelah saya cantumkan kutipan tersebut, saya malah makin gelisah. Saya
tidak tahu karena apa. Apakah karena ada ilmu yang saya dapatkan dari kutipan Syekh sehingga membuka ruang kepada saya untuk berpikir dan merenung? Wallahu ’alam.
Owh, kepala saya makin menjadi. Istri saya mendadak ngamuk karena anak
saya baru masuk rumah usai lama bermain di luar dan tidak cuci kaki dengan benar. Oh, Tuhan kembalikan saya di waktu menulis dua paragraf
awal! Saat itu saya benar-benar dalam kekhusyukkan kepada-Mu.
Kiara, 13 Agustus
2024