Cerpen Annistia
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Kai Baraka Skyla sedang berada di dalam kamar kosnya yang nyaman meskipun sedikit berantakan di hari Sabtu malam. Ia menatap layar laptop dengan dahi berkerut dan terlihat mengetik beberapa kata, lalu kemudian menghapusnya dengan cepat. Sejak semester pertama perkuliahan, Kai aktif dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) "PressMart" atau Press Maritim, sebuah organisasi pers kampus yang fokus pada isu-isu kelautan. Saat ini, ia sudah berada di semester tiga jurusan Kelautan, ia mendapat tugas rutin untuk memperbarui berita di website dan juga media sosial (Instagram, X, dan WhatsApp channel) PressMart. Namun malam ini, ia mendapati dirinya kehabisan ide penulisan, tidak ada ide yang terasa cukup kuat untuk dijadikan berita.
Senin siang, pada salah satu mata kuliah, dosennya yang bernama Dr. Rayyan membahas topik Eksplorasi Laut dan Rehabilitasi Ekosistem Laut. Beliau membahas berbagai metode pemanfaatan dan perlindungan sumber daya laut. Selain itu, beliau pun mengangkat fenomena "pagar laut" sepanjang lebih dari 30 km di perairan Kabupaten Tangerang, Banten. Ia mendengar sekilas dari dosennya bahwa banyak nelayan yang mengeluhkan keberadaan pagar-pagar itu, tetapi belum banyak media yang mengangkatnya. Ini bisa menjadi topik yang menarik untuk berita yang akan dia buat.
Keesokan paginya, Kai menemui Dr. Rayyan di ruang kantor yang terhubung dengan Laboratorium Ekologi Laut, “Pak, saya ingin menulis berita tentang pagar laut untuk PressMart. Tapi saya masih butuh banyak informasi. Apakah Bapak bisa merekomendasikan di mana saya bisa mendapatkan data yang valid?”. Dr. Rayyan tersenyum dan mengangguk kemudian berkata “Pagar laut memang isu yang kompleks. Kamu bisa mulai dengan membaca laporan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, lalu cek berita-berita lokal di daerah pesisir. Saya juga punya beberapa jurnal ilmiah yang bisa kamu baca." Dr. Rayyan kemudian mengirimkan beberapa tautan dan dokumen ke email Kai.
Kai mulai mengumpulkan informasi. Ia menemukan banyaknya fakta-fakta di media online terkait konflik antara nelayan dan oknum yang mendirikan pagar laut ini, yang kebanyakan adalah perusahaan besar atau individu kaya. Motivasi mereka beragam, namun sebagian adalah untuk kepentingan pribadi, demi menambah kekayaan mereka. Hal tersebut dilakukan dengan mengeksploitasi sumber daya laut yang berada “di dalam” lokasi pagar laut, ataupun dijadikan tempat wisata dan lain sebagainya. Beberapa pagar bahkan dibangun di area konservasi yang tentunya akan merusak ekosistem.
Kai juga melakukan wawancara singkat dengan seorang nelayan dari daerah pesisir Tangerang, Banten yang mengeluhkan sulitnya mendapatkan ikan karena area tangkapannya kini dibatasi pagar-pagar yang dipasang tanpa izin jelas. "Kami nelayan kecil, Mas Kai. Kalau laut dibatasi seperti ini, kami mau menangkap ikan di mana? Kebutuhan hidup semakin banyak dengan harga dan pajak yang meninggi, tentunya pagar laut ini menambah permasalahan kami," kata Pak Wardi melalui panggilan telepon. Pemasangan pagar laut di Tangerang memang telah mengganggu akses sekitar 3.900 nelayan tradisional ke area penangkapan ikan mereka. Akibatnya, hasil tangkapan menurun drastis. Menurut data yang didapatkan dari salah satu dokumen yang dikirim dosennya, pendapatan nelayan berkurang hingga Rp 24 miliar dalam periode Agustus 2024 hingga Januari 2025. Selain itu, nelayan terpaksa menempuh jarak lebih jauh untuk melaut dan hal tersebut meningkatkan biaya operasional. Beberapa nelayan juga mendapati perahu mereka mengalami kerusakan akibat menabrak pagar yang tidak terlihat jelas.
Semangat Kai kian berkobar melihat derita yang dialami para nelayan dan ketidakadilan yang terjadi di Indonesia. Ia mulai menulis dan menyelesaikan artikel beritanya. Ia menuangkan semua informasi yang telah dikumpulkan, menuliskannya dengan gaya bahasa popular dan berimbang. Di bagian akhir, ia menyelipkan opininya bahwa "Pagar laut bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga masalah lingkungan, dan keadilan sosial. Jika pemerintah tidak segera mengambil langkah tegas, nelayan kecil akan semakin sengsara, dan ekosistem laut kita akan semakin terancam. Regulasi yang jelas dan penegakan hukum yang tegas adalah solusi yang harus segera dilakukan." Pukul dua dini hari, setelah membaca ulang tulisannya beberapa kali, Kai akhirnya mengunggah artikelnya ke website PressMart dan membagikannya di media sosial mereka. Tak lama setelahnya, ia tertidur karena kelelahan.
Keesokan harinya, Kai terbangun dengan terkejut melihat notifikasi yang membanjiri smartphone-nya. Artikel yang ditulisnya telah dibagikan ratusan kali, mendapat banyak komentar, dan bahkan beberapa jurnalis media nasional mulai menyoroti isu ini. Salah satu dosennya bahkan mengirim pesan pribadi: "Artikel yang bagus, Kai. Terus kawal isu ini."
Beberapa hari kemudian terdengar berita bahwa pemerintah daerah Kabupaten Tangerang, Banten yang terdampak mulai meninjau ulang kebijakan tentang pagar laut dan bahkan beberapa pagar ilegal mulai dibongkar. Pembongkaran dilakukan melalui kerjasama antara TNI dan juga nelayan. Viralnya kasus ini pun memicu reaksi dari pemerintah pusat, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menegaskan bahwa pemasangan pagar laut tanpa izin merupakan pelanggaran hukum dan telah melakukan penyegelan terhadap beberapa struktur pagar laut di Tangerang. Selain itu, Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) POLRI telah meningkatkan status kasus ini ke tahap penyidikan dengan dugaan pemalsuan akta otentik terkait penerbitan sertifikat HGB dan SHM di area perairan tersebut.
Kai merasa usahanya tidak sia-sia, ternyata tugas rutin yang dikerjakan oleh Kai ini menimbulkan dampak sosial yang melebihi bayangannya. Namun, perjuangan Kai belum selesai karena seminggu setelah viralnya artikel Kai, ia mendapat pesan dari seorang nelayan di Sulawesi yang mengabarkan bahwa di daerahnya pagar laut masih menjadi ancaman besar. Nelayan tersebut mengirimkan beberapa foto sebagai bukti. Dengan rasa penasarannya sebagai jurnalis kampus, Kai mencoba meminta nomor kontak dan menghubungi nelayan tersebut via telepon. Nelayan yang bernama Pak Rafid itu pun mengungkapkan kekecewaan dan kegelisahaanya dengan berkata, “Kami ini hanya ingin melaut seperti biasa, Mas. Tapi pagar-pagar ini membuat kami sulit mencari ikan. Bahkan beberapa dari kami sudah berhenti melaut dan beralih profesi karena tidak bisa lagi bertahan”. Setelah itu, Kai pun meminta audiensi dengan pejabat desa setempat dan beberapa aktivis lingkungan pun siap ikut serta mendampingi penyelesaian masalah ini.
Mendengar opini dari berbagai pihak, bagi Kai merupakaan bisikan motivasi untuk membantu melalui cara yang bisa dan biasa ia lakukan, yaitu tulisan. Ia mulai menulis serangkaian artikel yang lebih mendalam, membahas tidak hanya dampak ekonomi dan sosial tetapi juga implikasi hukum dan lingkungan dari fenomena pagar laut. Artikelnya semakin banyak mendapat perhatian bahkan sampai ditanggapi oleh beberapa pejabat pemerintah yang berjanji akan terjun langsung ke lapangan. Selanjutnya, tekanan publik semakin kuat dengan banyaknya kampanye yang dilakukan beberapa aktivis lingkungan untuk menuntut kebijakan yang lebih tegas terkait pagar laut. Akhirnya, pemerintah pusat mengeluarkan peraturan baru yang lebih ketat dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut, dikuti dengan sanksi yang lebih berat bagi oknum-oknum pembuat pagar laut.
Kai merasa bangga bahwa ia yang hanya seorang mahasiswa, dapat membuat perubahan. Ia menyadari bahwa jurnalisme bukan hanya tentang menulis berita, tetapi juga tentang memberi dampak nyata bagi masyarakat luas. Harapan besarnya adalah bahwa tidak ada lagi kasus pagar laut dan masyarakat Indonesia merasa aman serta hidup sejahtera.