Esai Yudi Damanhuri
Pemandangan seperti ini sudah jadi hal biasa: di sebuah restoran, seorang ibu menyodorkan gawai kepada anaknya yang mulai rewel. Si kecil langsung diam, matanya terpaku pada layar. Sang ibu pun bisa makan dengan tenang, mungkin sambil sesekali menatap anaknya yang asyik sendiri. Damai, sekilas. Tapi kalau diamati lebih dalam, ada yang hilang di antara sendok, piring, dan tatapan yang tak pernah benar-benar bertemu.
Memberikan gawai kepada anak saat makan di luar sering dianggap solusi paling praktis. Anak jadi anteng, suasana tetap tenang, dan orang tua bisa menikmati waktu tanpa drama. Namun, di balik kepraktisan itu, tersimpan pertanyaan besar: apakah kita sedang menenangkan anak, atau justru menenangkan diri sendiri dari kerepotan menjadi orang tua?
Kita hidup di zaman serba cepat dan banyak hal instan yang mengikutinya. Orang tua bekerja sepanjang hari, pulang membawa lelah, lalu berharap waktu makan menjadi momen istirahat. Tak heran jika gawai sering jadi “penyelamat”, semacam jaminan bahwa anak akan diam tanpa perlu banyak tenaga. Tapi yang tampak sederhana itu sebenarnya bisa berdampak panjang: anak jadi terbiasa menenangkan diri lewat hiburan instan, bukan lewat interaksi atau sabar menunggu.
Dalam pada itu, penelitian yang dilakukan oleh American Academy of Pediatrics (2023) menyebutkan bahwa anak-anak usia di bawah lima tahun sebaiknya tidak terpapar layar lebih dari satu jam per hari, dan itu pun harus didampingi orang dewasa. Alasannya sederhana: otak anak sedang berada dalam masa pembentukan koneksi sosial dan emosional. Saat layar menggantikan interaksi manusia, bagian otak yang berhubungan dengan empati dan komunikasi tidak terstimulasi dengan baik.
Hal serupa juga diungkapkan oleh WHO dalam pedoman tentang kesehatan anak usia dini. Mereka menegaskan bahwa “anak tidak hanya belajar dari apa yang dilihat, tetapi terutama dari apa yang dialami bersama orang lain.” Itu artinya, pengalaman makan bersama — dengan tatapan mata, tawa, dan percakapan — jauh lebih berharga daripada tontonan digital yang tampak mendidik sekalipun.
Anak-anak yang terlalu sering disodori gawai saat makan cenderung kesulitan fokus dan mudah bosan ketika tidak ada layar. Lebih dari itu, mereka kehilangan kesempatan belajar hal-hal kecil yang membentuk karakter — seperti belajar menunggu, menghargai percakapan, atau sekadar menikmati momen bersama keluarga. Di sisi lain, orang tua juga kehilangan momen penting untuk mengenal anaknya lebih dalam.
Dalam banyak tradisi keluarga, meja makan bukan sekadar tempat makan, melainkan ruang simbolik tempat nilai-nilai ditanamkan. Di sanalah anak belajar mengucapkan terima kasih, meminta dengan sopan, atau menunggu giliran. Semua itu adalah bentuk pendidikan karakter yang alami.
Peneliti keluarga dari Harvard Graduate School of Education bahkan menemukan bahwa anak-anak yang rutin makan bersama keluarga memiliki risiko lebih rendah terhadap stres, kecanduan, dan kenakalan remaja. Frekuensi makan bersama ternyata lebih berpengaruh terhadap stabilitas emosional anak dibandingkan waktu belajar tambahan di luar rumah.
Dengan kata lain, meja makan bisa menjadi sekolah pertama bagi anak — tempat ia belajar mendengarkan, berbicara dengan hormat, dan memahami nilai kebersamaan.
Senarai dengan paparan di atas, ada banyak cara agar anak tetap tenang tanpa harus bergantung pada gawai. Salah satunya dengan menyiapkan “restaurant bag”, semacam tas kecil berisi benda-benda sederhana: buku gambar, mainan kecil, krayon, atau puzzle mini. Barang-barang ini hanya dikeluarkan saat makan di luar, sehingga terasa spesial bagi anak. Dengan begitu, ia belajar menunggu sambil bermain dan berimajinasi, bukan pasif di depan layar.
Selain itu, anak bisa diajak terlibat dalam kegiatan makan. Misalnya, biarkan ia ikut memilih restoran, menebak warna makanan, membantu mengambil tisu, atau mencampur minuman. Aktivitas kecil seperti ini sering kali membuat anak merasa penting dan dilibatkan. Anak yang merasa punya peran biasanya lebih tenang, karena ia tahu kehadirannya dihargai.
Namun, hal yang paling sederhana sekaligus paling bermakna adalah mengobrol. Meja makan seharusnya menjadi tempat untuk berbagi cerita, bukan sekadar mengisi perut. Di situlah percakapan kecil bisa tumbuh: tentang sekolah, teman, makanan, atau hal lucu yang terjadi hari itu. Dari obrolan ringan seperti itu, anak belajar mendengarkan, merespons, dan mengekspresikan pikirannya.
Kadang, kita lupa bahwa anak tidak selalu butuh hiburan, mereka hanya butuh didengarkan. Dengan diajak bicara, mereka merasa diakui. Dan dari sanalah lahir rasa percaya diri dan empati.
Sebaliknya, kalau setiap momen kebersamaan digantikan oleh layar, maka yang tumbuh adalah jarak. Kita bisa duduk di meja yang sama, tapi berada di dunia yang berbeda. Anak sibuk dengan tontonan, orang tua sibuk dengan pikirannya sendiri. Keheningan yang tercipta bukanlah ketenangan, melainkan sunyi yang hampa.
Menurut Daniel J. Siegel (2018), seorang psikiater anak dari UCLA, anak akan membangun keamanan emosional bukan dari kemewahan fasilitas, melainkan dari “the feeling of being seen, soothed, safe, and secure.” Empat hal itu hanya bisa hadir bila orang tua benar-benar “hadir” — bukan hanya secara fisik, tetapi juga batin.
Menjadi orang tua memang tidak mudah. Tidak ada panduan yang benar-benar sempurna. Tapi mungkin, yang paling penting bukan soal punya anak yang “anteng”, melainkan punya anak yang merasa dekat. Anak yang tahu bahwa setiap kali ia menatap wajah orang tuanya, ia akan disambut, bukan digantikan oleh cahaya layar.
Ketenangan sejati tidak datang dari layar yang menyala, melainkan dari hubungan yang hidup. Gawai bisa menenangkan anak selama beberapa menit, tapi pelukan dan tatapan hangat orang tua bisa menenangkan hatinya seumur hidup.
Jadi, lain kali ketika kita tergoda untuk menyodorkan ponsel agar anak diam di restoran, mungkin ada baiknya berhenti sejenak dan berpikir: apakah kita sedang menciptakan ketenangan, atau justru kehilangan momen berharga untuk benar-benar hadir bersama anak kita? Karena pada akhirnya, yang anak ingat bukan video di layar, melainkan tawa, obrolan, dan rasa hangat di meja makan itu sendiri.
Sumber Referensi:
* American Academy of Pediatrics, “Media and Young Minds,” 2023.
* World Health Organization, “Guidelines on Physical Activity, Sedentary Behaviour and Sleep for Children under 5 Years of Age,” 2021.
* Harvard Graduate School of Education, “The Family Dinner Project,” 2022.
* Daniel J. Siegel, “The Power of Showing Up,” 2018.
______
Penulis
Yudi Damanhuri, pengajar di SMA Pesantren Unggul AlBayan Anyer.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com
