Cerpen Alisha D. Tumanggor
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Hari senin yang menyebalkan tiba juga. Kenapa ya hari senin selalu menyebalkan? aku pun tidak tau penyebabnya. Kuluncurkan mobil hitamku ke kantor. Sesampainya di kantor, diriku disambut oleh security dan petugas resepsionis lalu mengalungkan lanyard beserta id cardnya. Disitu tertulis namaku dan instansinya, yaitu Dinas Kelautan dan Perikanan. Di umurku yang tergolong muda ini, memiliki id card itu menjadi sebuah kebanggan tersendiri bagiku - yang cuman anak nelayan diantara gemerlapnya kota Jakarta.
“Pagi pak Dibyo!” seorang pria paruh baya yang masih punya jiwa muda itu menyapaku. “Wih, pagi juga pak Cakra, udah ketemu lagi nih..” jawabku. “Iya nih, cepet banget ya, udah senin aja”. Ya begitulah percakapan bapak-bapak pekerja korporat seperti kami. Setelah sapa-menyapa bersama pak Cakra di depan dispenser kopi tadi, aku langsung kembali ke meja kerjaku dan menelisik dokumen-dokumen dari atasan. Disana ada sekitar 7 dokumen dan ribuan email lagi yang harus kubaca dan dikerjakan. Isinya sih tidak jauh dari masalah administrasi, manajemen dan infrastruktur. Sebelum bekerja pun aku berdoa terlebih dahulu dan berkata ‘Selamat bekerja’ untuk diriku sendiri.
Jam makan siang selalu ramai - entah kenapa, tapi hari ini lebih ramai dari biasanya. Semua orang menatap ponselnya sambil berdiskusi. Apa yang terjadi ya? Sebenarnya ponselku sedari tadi bergetar terus. Sesaat aku membuka ponsel sembari turun menuju foodcourt, dan apa yang kulihat adalah hal sangat aneh - menurutku. Pagar laut ? apa itu, sepertinya beritanya baru happening saat ini juga. Seluruh isi kantor membahas itu hari ini, bahkan di jam makan siang sekalipun. Secara tiba-tiba sekali pak cakra meminta pendapatku tentang pagar laut ini saat aku mengunyah nasi gorengku. “Ini tuh ceritanya ngapain sih?, laut kan punya Indonesia ngapain segala dipagari” kata bu Ghea sambil tertawa, “katanya sih ini buat nahan abrasi, soalnya makin kesini kan ombak tuh gede banget” timpal pak Cakra. “Tapi pak, kalau kayak gitu bukannya nelayan malah ga bisa melaut?” bu Shofi pun akhirnya mengeluarkan pendapat, namun pendapatnya itu membuatku teringat dengan Bapak. Mata bu Ghea, pak Cakra, dan bu Shofi pun tertuju padaku. Rekan kerjaku ini sepertinya tau apa yang sedang kukhawatirkan.
“Nak, pagi ini bapak dan para nelayan lain tidak bisa melaut dulu”. Begitu isi pesan yang dikirimkan bapak kepadaku. Aku berusaha menenangkan diriku saat aku melihat pesan itu, setelah ini timku akan mengadakan pertemuan untuk membahas hal itu. Di pertemuan itu kami menemukan bahwa aktivitas pemagaran laut ini mencapai sekitar 7 kilometer. Memang kabarnya pagar laut ini bertujuan untuk mencegah abrasi yang semakin parah, tetapi BIG atau Badan Informasi Geospasial melaporkan kepada kami bahwa pagar laut ini berada di luar garis pantai yang katanya tidak ada kaitannya dengan abrasi atau sedimentasi yang terjadi secara alamiah. Mungkin kira-kira itu isi dari obrolan kami, aku harus segera menghubungi bapak dan berusaha menenangkannya.
Beberapa hari kemudian aku pergi ke lokasi pagar laut tersebut bersama timku - sangat kebetulan sekali desa tersebut dekat dengan rumah bapak. Akhirnya mataku memandang pagar bambu yang membentang begitu panjangnya, dan mungkin bisa bertambah lagi panjangnya. Mungkin sekilas pagar ini biasa saja, tetapi kalau dilihat dari perspektif mata penduduk desa ini adalah bayangan pagar besi dan kawat berduri yang besar, seakan mengelilingi semua yang mereka kenal - keluarganya, desa-desa di sekitar pantai, bahkan kehidupan dan masa depan mereka. Tiba-tiba terdengar suara benturan keras yang memekakkan telinga “DARR!!”. “Aaahh! apalah…” ujar salah satu nelayan yang sedang melaut diikuti oleh suara mesin yang mati setelah benturan. Rupanya benturan kapal tadi berasal dari kapal nelayan yang tertabrak oleh pagar laut tersebut. Sontak, semua timku bergegas menolong nelayan yang malang itu. Kapalnya jebol, hampir tenggelam-untungnya berhasil diselamatkan kami dan terkejutnya diriku karena aku sangat mengenal raut muka sendu itu, Bapak.
Sedari dulu, Bapak itu orangnya sangat pekerja keras dan punya ambisi tinggi apalagi untuk anak-anaknya. Seperti insting bapak-bapak di seluruh belahan dunia, tentu selalu ingin yang terbaik untuk anaknya - pendidikan yang baik, meluangkan waktu untuk anaknya, hingga mempersiapkan masa depan yang cemerlang, dan Bapak sudah mendapatkan itu sekarang lewat diriku. Namun beliau mesti bertahan hidup hingga sekarang dan sebagian kehidupannya dari sini, samudra yang luas ini. “Dibyo..” suara hangat Bapak memecah lamunanku “kenapa pak?”. Bapak tersenyum, disampingnya ada bu Shofi yang sedang membalut luka-luka bekas insiden kapal tadi. “gagah banget kamu” kata bapak, aku hanya tersenyum simpul sambil memutar memori-memori dimasa lampau. “Duh pak, dia nih jangan dipuji, salting anaknya..” sambar bu Shofi, Setelah itu kami pun tertawa bersama. Malam ini aku akan bermalam di rumah bapak bersama ketiga rekan kerjaku sekaligus sahabatku.
Sebagai salah satu nelayan yang dihormati oleh warga desa, Bapak mengumpulkan para nelayan lain untuk berdiskusi bersama-sama mengenai ‘pagar laut’ yangsudah tertancap disana berhari-hari lalu. Setelah pertemuan dibuka, satu per satu warga mengangkat suaranya, mengalir seperti arus air yang tak terhentikan, menyampaikan keluhan serta harapan mereka. “Pagar itu sudah memisahkan kita dari laut yang memberikan kita segala kehidupan” keluh salah satu ibu-ibu. “Pagar bisa menjadi ancaman kami, terutama bagi terumbu karang, ikan-ikan, dan kami akan kehilangan mata pencaharian” keluh salah satu nelayan lainnya. “Kita bukan hanya melawan pagar, tapi juga melawan ketidakadilan yang mengancam masa depan kita, anak-anak kita, dan cucu kita kedepannya. Laut ini jantung kita!” seru salah satu bapak-bapak dengan aspirasi yang membangun semangat, suara mereka adalah cerminan dari segala harapan dan ketakutan yang mereka alami, serta menggambarkan betapa pentingnya laut bagi mereka.
Kata-kata bapak itu membuatku teringat tentang kabar terbaru dari kantor tadi sore, mereka mendapat informasi bahwa tidak ada konfirmasi izin dari camat atau kepala desa tersebut. “Pak, tapi kami dengar kalau pagar ini dibangun oleh masyarakat sini, bapak-bapak sekalian orang JRP ya? tolonglah pak, kita dari kampung sebelah kan juga kena imbasnya masak bapak-bapak ini saling merugikan satu sama lain sih” seru salah satu nelayan yang - katanya dari desa sebelah dan ikut terkena dampak dari pemagaran laut ini. Seruan nelayan dari desa sebelah ini membuat suasana pertemuan menjadi semakin panas dan ribut tak karuan - apalagi saat nama kelompok masyarakat itu disebut-sebut. Sementara diriku, berkecamuk pikiran-pikiran tidak enak dan gelisah, memikirkan masalah serius ini, pekerjaanku dan dampak adanya diriku dalam menyelesaikan kasus ini, warga-warga desa ini dan tentunya Bapak. Pengecut sekali diriku yang sedari tadi mengurung diri di kamar. Aku pun segera keluar dan keberanian membisiki hatiku walau bibirku bergetar tiada ampun.
“Bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian, harap tenang! ini semua masalah kita bersama, kenapa jadi saling menyalahkan, kami juga bukan orang JRP. Seharusnya kita menyelesaikan ini bersama-sama, saling bahu-membahu, bersatu mengeluarkan suara yang sama untuk keadilan kita bersama dan demi kita juga nantinya pak” suara yang menggelegar itu keluar begitu saja dari mulutku. Seketika wajah-wajah cemas itu pun berganti menjadi senyuman harapan, harapan penuh padaku. Bapak menghampiriku dengan senyuman bangga lantas memelukku. “Kami disini membutuhkanmu nak, kaulah harapan kami” bisik Bapak. Akhirnya secercah harapan muncul untuk warga desa ini, mereka telah menemukan cahaya setelah melewati terowongan yang panjang dan gelap.
Malam itu, disaat langit dipenuhi bintang-bintang yang indah - walau tertutup dengan polusi udara Tangerang. Aku keluar untuk menghirup angin ditemani suara deburan ombak yang lembut, aku duduk di pinggir pembatas batu sambil memandang ombak yang datang lalu menghantam pagar laut. Di tengah pemandangan ini, diriku masih diselimuti oleh kegelisahan dan keraguan untuk berbuat sementara itu di luar sana banyak sekali suara dan harapan untuk dikabulkan. “Udah malem woi, mending tidur..” aku reflek menoleh kebelakang, rupanya suara itu adalah suara bu Shofi. “waduh bu gabisa tidur” kataku sambil memberi isyarat tangan agar Shofi duduk. “Keren loh pak tadi” puji Shofi sambil tertawa kecil. “Duh, bu jangan gitu sekarang jadi saya yang bingung” balasku.
“Memangnya kenapa, kan kita datang memang untuk membantu mereka”
“Saya ragu kalau saya tidak memenuhi ekspektasi para warga, takut kalau kasus ini semakin melebar dan ditangani dengan baik”
“Pak, niat pak Dibyo untuk membantu itu saja sudah bagus loh, berarti nanti tinggal usahanya saja. Kalau itu mah gampang, kita kan selalu bersama-sama. Bisa kok…nanti aku bantuin lah…” nada bicaranya yang lembut dan meyakinkan membuat hatiku semakin yakin serta menghapus segala keraguanku untuk menyelesaikan masalah ini. Tak lama setelah itu, kami berdua menyelesaikan apa yang perlu diselesaikan terutama mengenai masalah ini.
Sabtu, Januari 2025
Kami berkumpul ditempat ini lagi, sekarang kami sedang mengadakan syukuran dan doa bersama nelayan-nelayan. Semua warga menyunggingkan senyuman secerah matahari yang menyinari di pagi ini. Harapan yang selama ini terpendam di dalam dasar samudra terangkat melintasi batasan bahkan pagar laut tersebut. Kami melayangkan doa ke langit, berharap kejadian-kejadian yang seharusnya tidak terjadi, tidak terjadi dan juga untuk mengungkapkan rasa syukur karena kami bisa melewati tantangan ini bersama-sama. Wajah Bapak kembali cerah, dirinya bisa kembali ke kehidupan nelayan nya. Aku menatap satu per satu wajah berseri mereka, wajah Bapak, rekan-rekan kerjaku, sahabatku, bu Shofi dan tentunya muka para nelayan dan warga lainnya yang ikut bersukacita. Hingga akhirnya pandanganku ke arah lautan dengan deburan ombak yang menenangkan serta pemandangan TNI AL yang sedang membongkar pagar bambu itu, aku pun tersenyum bangga.