Cerpen Auni Azzalia Mutaqin
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Serang, 2023
“Pak, kenapa sekarang laut kita banyak diisi oleh tancapan bambu? ikan-ikan yang tadinya banyak berenang sekitar sini jadi pada hilang semua jadinya…”
Langit senja di pesisir Serang memancarkan warna keemasan, sementara para nelayan menarik kembali jaringnya yang telah mereka ulur dari perahu mereka selama berjam-jam. Akhir-akhir ini tangkapan mereka selalu nihil, hanya bisa mendapatkan 1 ember saja bahkan jika situasi sang nelayan sedang sial bisa jadi mereka pulang dengan tangan kosong. Di tahun-tahun sebelumnya tangkapan mereka melimpah. banyak jenis ikan yang berkeliaran di daerah perairan tersebut. namun, dalam beberapa tahun terakhir, kehidupan mereka tak lagi sama. Seminggu sebelumnya, desa kecil tempat mereka tinggal digemparkan oleh kabar kedatangan orang-orang kota, para pejabat-pejabat desa, dan kepala desa pun ikut hadir.
Mereka datang dengan jas rapi, membawa surat keputusan yang menyatakan bahwa perairan para nelayan ini kini akan menjadi milik sebuah perusahaan besar. Dengan senyum yang dibuat-buat, mereka berbicara dengan bahasa yang sulit dimengerti dan menjanjikan kemajuan bagi para nelayan. Para pejabat itu menandakan aktivitas mereka dengan menggunakan tancapan bambu yang di pasang di sepanjang pesisir. Setelah sekian lama, tancapan bambu tersebut makin membuncah dan kian menjadi penghalang akses mereka ke laut yang selama ini menjadi sumber penghidupan.
Pagar Laut itu sebenarnya memiliki fungsi sendiri yaitu untuk melindungi wilayah pesisir dari abrasi dan gelombang besar. Namun di daerah ini, pagar laut yang dibangun oleh perusahaan besar dengan alasan proyek reklamasi alami, perlindungan pantai, dan penanaman bakau ini telah mendangkalkan kedalaman laut sehingga tanahnya semakin lama naik dan para nelayan pun kesulitan untuk mendapatkan tangkapannya. Dan bagi para nelayan, ini bukan perlindungan ini adalah penghalang. Sejak pagar itu berdiri, banyak nelayan kehilangan pekerjaan, dipaksa mencari nafkah di tempat lain atau bahkan beralih profesi. Kehidupan mereka yang dulu bergantung pada laut, kini perlahan-lahan terkikis.
Lani, seorang jurnalis muda yang haus akan kebenaran, memutuskan datang ke desa pesisir ini untuk mencari tahu. Dengan kamera dan buku catatannya, ia berkeliling, mendengar cerita para nelayan yang semakin hari semakin putus asa.
"Para bedebah egois," dengus Pak Rahmat, seorang nelayan tua yang telah melaut sejak kecil.
"Ini cara mereka mengambil laut dari kami, sedikit demi sedikit. Kami nggak bisa melaut dengan bebas lagi, kami kehilangan segalanya."
Lani mengangguk, mencatat setiap kata yang keluar dari mulut Pak Rahmat. "Sebelumnya apa Pak Rahmat sudah mencoba meminta pertolongan pada pemerintah setempat? dan apa reaksi mereka? apakah pemerintah tersebut bersedia untuk membantu bapak dan para nelayan lainnya?" tanyanya.
Pak Rahmat tertawa, tapi tawa itu terkesan sebagai tawa yang menyakitkan. "Kami sudah protes berkali-kali. Tapi siapa yang mau denger suara orang kecil kayak kami? mungkin pada awalnya mereka terlihat peduli terkait masalah ini namun apalah daya, mereka cuma peduli sama uang, menghalalkan segala cara untuk meraih keuntungan itu."
Lani terdiam. Dalam benaknya ia bertanya-tanya ‘jika indonesia menjunjung tinggi keadilan, dan buktinya sudah sangat jelas terlampir pada dasar negara kita yaitu pancasila pada sila yang ke-5, dan undang-undang dasar 1945 alinea kedua dan keempat, mengapa tetap saja ada warga negaranya sendiri yang tidak merasakan keadilan tersebut?..’
Malam itu, rasa penasaran Lani semakin besar. Ia memutuskan menyelinap keluar rumah dan menaiki perahu dayungnya menuju wilayah pagar laut, mencari tahu lebih dalam terkait pagar laut. Potongan bambu itu menjulang tidak terlalu tinggi, kokoh dan panjang menancap ke dasar perairan Serang. Dari balik pagar, suara mesin alat berat terdengar samar. Lani terkejut dan berusaha mendekatkan perahunya dengan perlahan ke arah sumber suara itu. Ia berusaha agar mengurangi suara air yang ia buat agar tidak ketahuan oleh apapun yang ada di balik pagar tersebut. setelah jarak yang dirasakan cukup dekat, Lani pun terkejut melihat pemandangan di hadapannya, ada beberapa orang menggunakan seragam khusus sedang menancapkan lebih banyak lagi pagar laut dan memperpanjang lajur potongan bambu tersebut..
"Ini bukan sekadar proyek perlindungan pantai," gumamnya. "Ini penguasaan laut."
Dari kejauhan, beberapa pria berbadan tegap berpatroli di sekitar pagar. Lani buru-buru mengambil beberapa foto dan menyelinap pergi. Ia sadar, ini bukan konflik biasa. Ini adalah perjuangan para nelayan melawan kekuatan besar yang ingin menguasai laut mereka. Saat Lani berusaha mendayung kembali perahu dayungnya, ia dikejutkan dengan sorotan cahaya yang mengarah ke arahnya.
“Sedang apa, wahai anak muda?” orang yang bersuara menyeringai licik. “Bukankah seharusnya kau sedang beristirahat sekarang? tidak baik tau anak gadis berkeliaran malem-malem,” Lani terdiam membisu di perahu dayungnya. Ia tidak tau ingin berkata apa selain —“sedang apa kalian disini?”
Pria aneh yang mengarahkan cahaya itu mendengus, “Bukan urusanmu juga nak.. Dah mending kamu pulang sana ga baik anak gadis sendirian keluar malam-malam bolong gini,”. Lani bergegas mendayung perahu dayungnya untuk kembali ke tempat tinggalnya. Ia memilih untuk menurut dan bertindak secara diam-diam daripada gegabah dan berakhir dengan sesuatu yang tidak diinginkan.
Keesokan harinya, Lani berusaha berkomunikasi dengan sekelompok aktivis remaja seusianya untuk meminta bantuan terkait apa langkah selanjutnya yang akan mereka ambil. Saat menemui sekelompok aktivis lingkungan yang dimaksud, Lani mengetahui bahwa ternyata selama ini mereka juga telah lama mendukung perjuangan nelayan. Mereka sudah mencoba berbagai cara mulai dari menghubungi petugas kepolisian, mengadakan demo secara besar-besaran dan lain sebagainya namun hasilnya tidak ada yang berubah. Beberapa nelayan yang berani buka suara akhirnya diintimidasi, ada yang ditangkap, bahkan ada yang tiba-tiba menghilang dari desa. Lani dan kelompok tersebut akhirnya berdiskusi tentang strategi untuk menarik perhatian publik. yaitu melalui sosial media. mereka akan menguggah seuah postingan
"Semakin banyak orang tahu tentang kasus ini, semakin besar kemungkinan kita bisa melawan, dan semakin cepat juga kemungkinan para nelayan mendapat hak keadilan." kata seorang aktivis muda bernama Aditya.
Namun, namanya perjuangan itu tidak akan pernah mudah. setelah mereka menggugah foto yang Lani dapatkan di malam itu, Lani dan teman-temannya terus menerus diteror oleh pihak yang bersangkutan. Tekanan dari pihak berwenang dan ancaman dari pihak-pihak berkepentingan terus berdatangan. Di tengah tekanan yang semakin kuat, Lani memilih untuk menuliskan kisah ini di akun blog dan sosial medianya. Ia juga mengirimkan artikelnya ke berbagai media nasional, berharap publik membuka mata. Di media sosial, tagar #JusticeforSerangFishermans mulai trending dan menjadi perbincangan hangat public
Yang sebenarnya menjadi pertanyaan adalah, apakah perjuangan ini akan berhasil?. Lani tidak tahu pasti. Tapi satu hal yang jelas, ia tidak akan berhenti menulis, dan nelayan Serang tidak akan berhenti berjuang.