Cerpen Danendra Nararya Ahmad Basuni
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Saat itu pagi hari, sekitar jam 8 pagi. Matahari yang sudah terbit sedari tadi memancarkan cahayanya, membuat hangat seisi pantai. Orang-orang memulai aktivitas mereka seperti biasa. Para nelayan membawa kapalnya ke laut untuk mencari ikan laut yang akan dijual ke pasar. Para ibu rumah tangga membawa baju dari rumah mereka ke luar untuk dijemur, lalu melanjutkan bersih-bersih rumah. Pantai itu bersih tanpa adanya sampah, tanda selalu dijaga kebersihannya. Pohon-pohon kelapa yang sedang berbuah diperebutkan anak-anak di bawahnya menggunakan galah yang panjangnya lima sampai enam kali lipat dari tinggi anak yang memegangnya.
"Adi! Siapkan keranjangnya!" teriak seorang anak yang memegang galah panjang.
Anak yang dipanggil Adi itu mengangguk, kemudian membawakan sebuah keranjang besar yang terbuat dari rotan, meletakkannya tepat di bawah kelapa yang siap jatuh.
Bruk! Suara kelapa yang jatuh ke dalam keranjang. Bruk! Bruk! disusul dua lainnya.
Anak yang di atas pohon itu turun dari pohon kelapa dengan senyum yang lebar bak mendapatkan hadiah yang sangat besar. Jika dibandingkan, fisik kedua anak itu tidak jauh berbeda, hanya berbeda di tingginya saja, itupun hanya satu atau dua sentimeter. Badan mereka kecil, tidak gemuk juga tidak kurus. Mereka mengenakan baju yang sama, juga alas kaki semuanya sama, dengan warna kulit sawo matang akibat sering bermain di saat terik.
"Ayo kita pulang, Adit. Kita harus menyiapkan minuman untuk ayah pulang nanti," ucap Adi kepada saudara kembarnya.
Adit mengangguk dan berjalan beriringan dengan saudara kembarnya, Adi, menuju rumah mereka. Rumah mereka terletak di daerah pesisir pantai, berdiri sederhana di atas pasir putih yang lembut. Rumah panggung itu terbuat dari kayu dengan atap rumbia yang sudah mulai menghitam di beberapa bagian, tanda telah lama bertahan menghadapi panas dan hujan. Dindingnya tersusun dari bilah-bilah bambu, terikat rapi dengan tali ijuk, memberikan kesan hangat dan alami.
Di depan rumah, ada pagar bambu kecil yang dibuat dengan tangan, mungkin untuk memberi batas. Angin laut berhembus pelan, membawa aroma asin yang sudah akrab bagi mereka yang tinggal di sini. Di belakang rumah, hutan lebat menjulang seperti pelindung setia, membisikkan suara dedaunan yang bergesekan setiap kali angin bertiup lebih kencang.
Ibu mereka sudah menunggu di rumah sedari tadi, menunggu anak-anaknya pulang membawakan kelapa yang dimintanya. Sembari menunggu anak-anaknya pulang, ibu memasak masakan kesukaan mereka. Ibu menyiapkan ikan bakar rica-rica dan tumis kangkung lengkap dengan nasinya.
Si kembar sampai ke rumah dengan riang, sembari membawa keranjang yang berisikan buah kelapa muda segar.
"Di mana ayah?" tanya Adi.
"Ayah kalian belum juga datang. Seharusnya sudah datang dari jam 7 pagi tadi," kata ibu yang juga menunggu kedatangan suaminya sejak pagi.
Ayah mereka adalah seorang nelayan yang cukup sukses. Walau hidup sederhana, ia selalu mendapat penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya beserta keluarganya. Biasanya ayah mereka berangkat malam dan pulang pagi-pagi, sekitar jam tujuh pagi, tetapi entah mengapa hari ini ia pulang terlambat.
"Kalian letakkan kelapa yang kalian dapat di dapur, lalu mandi agar tidak bau keringat. Ibu akan membuatkan ayah minuman," suruh sang ibu.
"Siap, Ibu!" ujar keduanya. Mereka pun pergi ke dapur yang terletak di belakang rumah mereka. Bagian dalam rumah itu tidak besar, tetapi cukup dan nyaman untuk ditinggali mereka berempat. Setelah mereka meletakkan keranjang kelapa di dapur, seperti biasa, mereka berebut untuk mandi duluan.
"Aku dulu, Adi! Aku yang ambil handuk duluan!" "Lah, tapi aku yang masuk kamar mandi duluan!"
Mereka terus berebut hingga akhirnya salah satu dari mereka berhasil masuk dan mandi.
"Adi curang! Harusnya Adit duluan yang mandi!" marah Adit, tetapi ia membiarkan saudaranya itu mandi duluan. Ia memilih untuk mengerjakan PR-nya yang harus dikumpulkan hari ini.
Setelah mereka berdua selesai mandi, mereka bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Sekolah mereka memang mulai lebih siang dari sekolah lain. Saat mereka pergi ke ruang tengah rumah, mereka melihat ayah mereka yang sudah pulang dan sedang sarapan bersama ibu mereka.
"Pagar laut itu, Bu, membuat ayah susah mencari ikan. Ayah harus pergi lebih jauh untuk bisa mendapatkan ikan. Melewati pagar itu pun tidak mudah, harus mengelilingi pagar itu hingga menemukan celah yang cukup untuk dimasuki kapal," kata sang ayah kepada ibu.
"Sebenarnya pagar laut itu fungsinya bagus, untuk memecah ombak agar tidak terjadi tsunami dan ombak besar menghantam pantai," jawab ibu.
"Iya, tetapi mereka terlalu banyak menggunakan pagar laut itu, bahkan hingga 30 kilometer panjangnya," ujar ayah.
"Ayaah!" teriak si kembar sembari berlari dan memeluk ayahnya.
"Wah, si kembar sudah siap ke sekolah rupanya."
"Kami menunggu ayah lama sekali tadi. Ayah dari mana saja?" tanya Adi kepada ayahnya.
"Iya, ayah tadi pergi mencari ikan yang sangat besar, jadi susah didapat," gurau sang ayah.
"Adit, Adi, lekas pergi ke sekolah atau nanti telat dan dimarahi oleh Pak Budi!" suruh ibu kepada si kembar.
"Oke, Ibu, kami pergi dulu ya," ucap Adit.
Mereka menyalami ibu dan ayah lalu langsung pergi ke sekolah. Sekolah mereka terletak tidak terlalu jauh dari rumah mereka, hanya memakan waktu 15 menit dengan berjalan kaki. Mereka harus melewati hutan dan melalui jalan setapak di sana untuk sampai ke sekolah tujuan mereka. Mereka sudah terbiasa sejak kecil melalui jalan itu, tepatnya sejak usia 6 tahun, pertama masuk sekolah kelas 1. Mereka disambut dengan hangat oleh Pak Budi di sana, sebagai satu dari tiga guru yang ada, yaitu Pak Budi, kepala sekolah, dan wakil kepala sekolah. Kepala sekolah dan wakil kepala sekolah juga mengajar di kelas seperti Pak Budi.
Mereka pun sampai di sekolah setelah berjalan di hutan sambil bermain kejar-kejaran, melihat keadaan sekolah yang sepi karena memang sedikit sekali murid di sekolah itu. Satu kelas mungkin hanya hitungan jari saja, itupun kalau semua murid masuk kelas. Di sana hanya ada enam kelas, dari kelas satu sampai kelas enam, jadi setiap guru mengajar dua kelas. Mereka masuk ke kelas mereka, kelas 4. Di sana sudah ada Pak Budi dan teman-temannya yang lain.
"Dari mana saja kalian, Adit, Adi?" tanya Pak Budi saat melihat si kembar masuk ke kelas.
"Kami sehabis memetik kelapa untuk ayah kami, Pak," jawab Adit. Kalau dilihat dari tingkah lakunya, sepertinya Adit yang lebih tua dari mereka berdua.
"Ya sudah, silakan duduk di bangku kalian," suruh Pak Budi.
Pelajaran dilanjutkan hingga menjelang ashar. Si kembar pun berjalan pulang kembali melewati jalan yang sama.
"Bagaimana kalau kita besar nanti menjadi petugas yang mengurus perairan di seluruh Indonesia?" kata Adi.
"Ide bagus, Adi. Kau memang saudara yang peduli terhadap sesama"