Monday, July 21, 2025

Karya Siswa | Surat untuk Presidenku Tercinta | Cerpen Muhammad Fawwaz Hafizh

Cerpen Muhammad Fawwaz Hafizh


Presidenku Tercinta,

Aku merenungi diriku sendiri, hanya seorang penggembala kambing di negeri busuk, ingin kuungkapkan isi hatiku pada pemerintah. Apa keadilan ini sudah terbentuk? Selalu kutanyakan dalam diam tanpa ungkapan padamu.


Senada dengan pikiran, tertuang tulisan dari hatiku yang merasa tertekan. Cucuran keringat membasahi tangan yang kini kuistirahatkan sejenak, menunggu debaran jantung itu melambat tenang. Tak terasa ketegangan yang sedari tadi kurasakan mulai menghilang ditelan waktu. Kalimat terakhir yang tersendat dalam pikiran membuatku bimbang. Apakah ini terlalu menyinggung? Tetap kulanjutkan kalimat ini untukmu.


Kini sejenak kutenangkan diri dengan bersemayam pada pohon rindang. Menuangkan pada tulisan tak semudah melafalkan kalimat. Aku tahu akan hal itu. Ketenangan yang kini kurasakan membuat bersyukur. Rasa ini benar-benar hidup. Tapi, apakah hidup dalam istana megah, bangunan tinggi, uang yang melimpah akan membuatku merasakan ini,  Tuan?


Presidenku Tercinta, 

Dunia yang kurasakan ini tak akan mendatangimu dan duniamu juga takkan menyapaku, kita sangat berbeda. Singgasana yang kau tempati di meja bundar itu jelas berbeda dengan hamparan alam megah yang Tuhan ciptakan. Apakah kau merasakannya, Tuan? Tentu kautak merasakannya, juga kutak merasakan apa yang kau dapati: uang dan perhiasan.


Aku mendapati kambingku tertidur di bawah pohon yang ranum, dan kau mendapati para tikus berdasi yang tengah asyik menikmati uang yang kau beri tanpa sepengetahuanmu, bukan? Kau tak tahu akan hal itu? Atau justru kau dukung, sangat memprihatinkan untuk orang rendahan sepertiku. Gonggongan anjing gembala milikku membuatku menoleh ke arahnya, ia menggonggong karena melihat orang asing yang memang belum pernah kulihat. Sepertinya ia pengembara. Atau malah seorang yang menyamar? Entahlah.


Presidenku Tercinta, 

Menurutmu apa yang kulakukan dengan orang asing itu? Apakah sama denganmu yang menyambut meriah orang asing dari luar negeri dan malah ia menjadi musuh dalam selimut yang menyabotase negara kita? Kawasan negeri ini diambil oleh mereka tanpa belas kasih dan engkau tergiur dengan harga yang tidak seberapa sehingga menyebabkan mereka beruntung atasnya.


Kau tahu, Tuan? Aku menangkap basah orang asing itu tengah mencuri di ladang seseorang, sungguh mengejutkan. Yang kulakukan bukan hanya diam sepertimu yang membiarkan seorang pencuri hak negara dengan bebasnya tanpa henti, dengan tawa meriah atas pendapatannya, dengan bahagia menjalar ke otaknya sehingga ia merespons untuk melakukannya bukan hanya sekali, tetapi berulang kali. Apa aku sebodoh engkau? Atau memang kau menganggap itu hal biasa sebagai bonus untuk pekerja gadungan?


Aku mengisyaratkan pada anjing gembalaku untuk mengejar orang asing itu. Anjing gembalaku berlari secepat mungkin melakukan yang kuperintahkan. Aku tertawa melihat orang asing itu lari terbirit-birit sehingga ia terjatuh. Hampir saja anjing gembalaku menggerogoti kulit orang asing yang mencuri itu, tetapi aku langsung berteriak menyuruh anjing gembalaku untuk berhenti.


Apakah ini sama denganmu yang melepaskan seseorang yang telah dipenjara karena mencuri, Tuan? Tentu tidak, sangat jauh berbeda. Aku mendekati pencuri itu dan menanyakan mengapa ia mencuri. Ia menjawab, “Aku kelaparan dan tak punya uang untuk membeli makanan, tuan.” Jelas ini berbeda, bukan, wahai Presidenku! Ia yang mencuri di ladang beralasan tak punya uang. Tapi apa? Pencuri hak negara ini lebih spesifik, ya… biasa kita sebut “korupsi.” Apakah kau memang membebaskannya atau membalasnya, tapi tak seimbang dengan yang mereka lakukan. Sama saja, Tuan!


Aku memanggil pemilik ladang dan menanyakan apa balasan untuk pencuri ini. Tanpa pikir panjang, pemilik ladang itu mengambil cangkul. Apa yang dilakukannya? Sang pemilik ladang–Wawan–berkata pada pencuri itu, “Ambil bibit yang ada di ujung sana dan tanam itu, dan ini tambahan untukmu makan beberapa hari.”


Presidenku Tercinta, 

Bicara keadilan dan kepedulian, sepertinya kau lebih memilih rekan-rekanmu itu, Tuan. Bukan memihak pada rakyat. Pencuri kayu yang pemerintah permasalahkan mendapatkan hukuman setara dengan pencuri “hak rakyat.” Kurasa memang kau tak menjunjung keadilan pada seluruh rakyat.


Aku tertohok mendengar Wawan mengucapkan itu. Tidak berat dan merugikan, malah itu menguntungkan si pencuri, bukan? Sungguh baik hati. Apakah perilaku murah hati pada pencuri ini sama dengan yang pemerintah lakukan, Tuan? Jelas jauh berbeda.


Aku kembali membawa kambing dan anjing gembalaku ke rumah kecil di pelosok. Aku mendapati anakku yang meringis kelaparan. Oh Tuhan, kasihan sekali. Aku mengambil sisa beras di gudang makanan. Mungkin ini cukup.


Apakah kau bayangkan itu? Tak kau lihat kami di sini. Kau hanya mengurus berkas negara yang kau kira itu lebih penting daripada tangisan peluh rakyatmu. Sejenak kupandang wajah lesu pada cermin, itu wajahku, oh Tuhan. Beras yang telah masak menjadi nasi itu kutuangkan pada pinggan berisi kuah sayur, dan kuberikan itu pada anakku yang terlihat lelah karena menangis kelaparan. Bahagia aku melihatnya dengan lahap menyantap makanan itu. 


Presidenku Tercinta, 

Hal kecil apa yang membuatmu bahagia? Apakah sepertiku itu? Makanan yang tak semewahmu sudah menjadi kebahagiaan kecilku. Bagaimana denganmu, Tuan Presiden? Apakah dengan melihat anakmu tertidur menikmati uang yang kau dapatkan itu membuat anakmu tenang adalah kebahagiaan kita? Namun berbeda, sangat berbeda. Anakmu tenang karena menikmati limpahan uang, sedangkan anakku tenang karena sepinggan nasi sayur yang ditunggu.


Baru saja aku merasakan ketenangan, mengapa saat ini semesta mengalihkan ketenangan itu. Begitulah dunia, ia berjalan secara tak terduga. Lalu, resahmu bagaimana, Tuan? Aku duduk termangu menikmati keindahan deras hujan membasahi rerumputan serta kilat petir menyambar dan menggelegar. Aku senang akan hal itu, walau berisik. Hujan membuat rumput subur sehingga menjadi makanan untuk kambing-kambingku. Apakah sesederhana itu kaulihat bahagia dari hal yang justru bukan ketenangan?


Kutulis ini dengan kalimat yang mungkin akan mengganggumu, wahai Presiden! Ataukah ini adalah hal yang kau abaikan dengan tak ada rasa hati? Atau ini adalah pelajaran yang akan kau abadikan dalam brankas seperti uang yang melimpah itu.


Presidenku Tercinta, 

Suara hati seperti ini mungkin banyak rakyat rasakan. Namun, mereka tak punya nyali untuk mengungkapkannya. Semoga suara hati ini diterima.


Pipitan, 22 Juli 2025


_______

Penulis


Muhammad Fawwaz Hafizh
adalah siswa SMAIT Darussalam Pipitan.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com