Saturday, September 20, 2025

Resensi Kabut | Darah dan Gunung

Resensi Kabut



Yang berani capek membuat hitungan bakal menyadari buku cerita anak yang terbit di Indonesia (pasti) sudah melebihi seribu judul. Orang menghitung dari terbitan buku-buku cerita anak oleh Balai Pustaka pada masa kolonial. Pada masa kekuasaan Soekarno, upaya menerbitkan buku cerita anak dilakukan Balai Pustaka dan beberapa penerbit partikelir. Konon, penerbitan buku mendukung pemberantasan buta huruf dan memajukan pendidikan di Indonesia.


Sejarah yang fantastis dibuat pada masa kekuasaan Soeharto. Ratusan judul buku cerita anak bisa bermunculan setiap tahun. Buku-buku dijual di toko buku dan mendekam di ribuan perpustakaan di seantero Indonesia. Ada pula buku-buku yang masuk rumah menjadi koleksi pribadi.


Mengapa terjadi penerbitan yang mirip pesta pora saat Soeharto berkuasa? Jawaban pendek yang bisa diberikan: semua gara-gara minyak. Indonesia dapat duit banyak dari minyak. Sebagian digunakan dalam program pemerintah mengadakan buku dan menyebarkan ke kota dan desa.


Siapa mau menghitung jumlah makalah atau disertasi bertema sastra anak di Indonesia? Jawaban cepat dan benar: sedikit. Di Indonesia, kajian sastra anak kurang mendapat perhatian. Dulu, kita mengikuti tulisan-tulisan Murti Bunanta yang setia dalam kajian sastra anak. Pada kepentingan berbeda, terbit buku mengenai sastra anak yang disusun Burhan Nurgiyantoro. Buku yang seolah mengabarkan ada pertambahan minat membuat studi-studi sastra anak. Pada abad XX, kita belum boleh tepuk tangan mengenai perkembangan dan pertambahan jumlah hasil kajian sastra anak di Indonesia.


Bila ada yang mau menulis makalah atau skripsi mengenai sastra anak tanpa harus dituntut bermutu, kita mengusulkan agar membahas buku berjudul Pan Camplung (1980). Buku memuat cerita-cerita gubahan Putu Arya Tirtawirya. Buku tipis diterbitkan BPK Gunung Mulia, Jakarta.


Yang mengarang duluan dikenal di sastra Indonesia melalui buku-buku terbitan Pustaka Jaya dan Nusa Indah. Ia rajin menulis cerita dan membuat buku-buku apresiasi kesusastraan. Bermula dari mengarang untuk bacaan dewasa, ia menyempurnakan peran dengan membuat tulisan untuk dinikmati anak dan remaja.


Pengumuman yang dibuat oleh pihak penerbit: “Buku ini menghimpun beberapa cerita anak-anak yang digubahnya secara literer, suatu tehnik mengarang dalam kesusastraan yang diabaikan oleh para pengarang cerita anak-anak di tanahair selam ini.” Kalimat yang sulit dipahami. Kalimat telanjur di sampul belakang.


Penerbit mungkin ceroboh dalam keinginan agar orang-orang percaya mutu buku: segera membeli dan membaca buku selama satu jam. Kalimat yang boleh dibuang atau diabaikan bagi orang yang telanjur membaca ratusan buku cerita anak yang terbit di Indonesia, dari masa ke masa. Kalimat yang dibuat penerbit itu membual berakibat menurunkan derajat kehormatan pengarang.


Kapan cerita anak gubahan pengarang Indonesia bakal memikat para pembaca di Asia Tenggara atau dunia? Jawaban masih tersimpan di dasar laut. Jawaban berada di balik langit yang ketujuh. Pertanyaan itu bisa diajukan pada masa 1970-an dan 1980-an. Cerita-cerita anak yang digubah Putu Arya Tirtawirya termasuk yang sulit tampil sebagai bacaan bertaraf dunia atau diminati untuk diterjemahkan ke pelbagai bahasa.   


Kita mulai menikmati cerita yang berjudul “Pan Camplung Menghadapi Tentara Jepang”. Jangan buru-buru menganggap pengarang sedang memberi pelajaran sejarah. Yang diceritakan adalah adonan kekejaman dan kelucuan.


Pada masa pendudukan Jepang, warga diwajibkan ikut kerja paksa. Kaum lelaki dewasa memiliki tanggung jawab dalam memenangkan perang, yang Jepang tampil ingin menjadi penyelamat Indonesia. Cerita di sekitar Perang Dunia II.


Pan Camplung masuk daftar untuk pengiriman ke tempat kerja paksa. Jepang mau membuat kubu pertahanan, memerlukan banyak orang. Pan Camplung tidak bisa menolak perintah serdadu Jepang melalui kepala kampung. Para teman dan tetangganya pun diberangkatkan.


Men Camplung sedih bila suaminya dikirim ke tempat kerja paksa. Cerita mulai suguhkan kelucuan melalui omongan Pan Camplung: “Jangan menangis. Kalau kau memang sayang padaku, lebih baik kau mencarikan aku seekor ayam tinimbang secangkir airmatamu yang tak dapat aku minum.” Kejadian sehari sebelum Pan Camplung harus ikut truk untuk kerja paksa.


Pesta kecil dibuat memuat misteri. Ayam disembelih tapi darahnya ditampung di tempurung. Daging menjadi santapan suami- istri saat malam dirasa mencekam. Pembaca geleng-geleng kepala. Saat-saat mendebarkan malah makan enak.


Tempurung berisi darah menjadi jawaban atas nasib Pan Camplung. Cerita yang bermutu! Pembaca dibikin sedih sekaligus terhibur. Ingat, cerita dibuat untuk dinikmati anak-anak. Pengarang memiliki beberapa pertimbangan dalam penggunaan bahasa dan menampilkan karakter para tokoh. Jadi, pembaca wajib mengetahui yang dihadapi adalah cerita untuk anak.


Para serdadu dan kepala kampung datang ke rumah Pan Camplung. Yang terjadi adalah sandiwara hebat. Pan Camplung penampilannya amburadul sebagai orang sakit. Semula, para serdadu tidak percaya kalau Pan Camplung cakit, yang berusaha menghindari kerja paksa.


Pembaca membayangkan peristiwa yang menyelamatkan: “Sambil menyeringai penuh kesakitan, sambil menyingsingkan kain compang-camping yang dipakainya, Pan Camplung berusaha sekuat tenaga bersitumpu pada kusen pintu… Kain yang dikenakan Pan Camplung basah kuyup dengan darah.” Pembaca ingat pastilah itu darah ayam yang ada di tempurung. Pan Camplung membuat sandiwara yang bikin jijik.


Berhasil! Dampak yang diinginkan tercapai: “Tentara Jepang itu mengangguk-angguk dan cepat membalikkan tubuhnya. Langkahnya panjang-panjang menuju mobilnya dengan wajah ketakutan dijangkiti penyakit menular. Dan, kepala kampung setengah berlari menyusulnya.” Akhirnya, Pan Camplung batal diangkut ke tempat kerja paksa. Ia selamat dari derita meski mengetahui para teman dan tetangga mati mengenaskan gara-gara kerja paksa.


Cerita anak yang penting dibaca oleh murid-murid di seantero Indonesia. Yang ditulis Putu Arya Tirtawirya bisa digunakan sebagai imbuhan dalam pengajaran sejarah. Cerita bisa untuk membuat anak-anak makin kesengsem dengan sastra. Namun, cerita hanya tersimpang dalam buku tipis. Cerita tidak pernah menjadi pilihan dalam pengajaran sejarah.


Apakah anak yang membaca cerita itu sedih? Pembaca berhak sedih mengenang segala derita pada masa pendudukan Jepang. Apakah pembaca boleh tertawa? Jika membaca ulah Pan Camplung, pembaca memang mudah tertawa. Namun, tertawa itu rasanya aneh saat membayangkan kematian banyak orang dalam kerja paksa.


Kita bergeser ke cerita yang berjudul “Tiga Orang Bidadari”. Yang diceritakan mengenai Gunung Agung yang meletus. Pengarang bukan memberitakan tapi menceritakan. Sehingga, pembaca jangan menuntut ada data-data atau fakta yang menjelaskan bencana.


Pengarang memilih memberi rangsangan imajinasi: “Seperti orang demam malaria, Gunung Agung dan daerah sekitarnya bergetar dan mengerang dengan dahsyat. Erangan berupa bunyi gemuruh bergeluduk miri bunyi gurah yang bergalau di bawah permukaan bumi. Langit sangat hitam dan sebentar-sebentar benderang penaka kembang api. Matahari seolah takut, tidak pernah muncul sejak dinihari.” Kalimat-kalimat lumrah dihadirkan dalam cerita, agak mustahil bila ditampilkan sebagai pembuka berita di koran atau majalah nasional.


Pengarang terlalu mengikuti imajinasi: “Gunung yang tingginya lebig dari tiga ribu meter itu kemudian muntah. Muntahan berupan lahar….” Anak yang membaca sudah dibikin takut mengenai letusan gunung. Pengarang tidak sedang bermisi membuat pengajaran geografi. Ia sekadar bercerita mengenai Gunung Agung dan nasib orang-orang yang harus segera mengungsi saat terjadi letusan atau muntahan lahar.


Putu Arya Tirtawirya terbiasa menggubah cerita untuk para pembaca yang dewasa. Di buku berjudul Pan Camplung, ia berusaha “dimengerti” dan :diterima” anak-anak yang membacanya. Namun, kita menduga ada kesulitan-kesulitan dalam bahasa, alur, dan penokohan agar cerita untuk anak itu mengesankan dan teringat dalam waktu lama.


Yang pasti buku itu terbit masuk kategori bacaan anak. Buku yang bisa dianggap bermutu meski tidak distempel “milik negara, tidak diperdagangkan”. Buku yang terhindar dari kebijakan politik-buku oleh rezim Soeharto. Akibatnya, buku tidak berhasil menyebar di ribuan perpustakaan yang terdapat di seantero Indonesia.


________

Penulis


Kabut, penulis lepas.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com