Cerpen Nadia Farhana
Rintik hujan membungkus halaman sekolah. Langit mendung. Gumpalan awan hitam terlihat nyaman di atas sana sampai tak mau pergi. Udara terasa dingin. Kaca pada jendela pun sampai mengeluarkan embun.
“Selamat pagi, anak-anak. Mohon maaf ya, Ibu sedikit terlambat hari ini,” suara Bu Fera memecah kebisingan kelas.
“Pagi, Bu,” jawab para murid sambil menyiapkan buku yang akan digunakan.
“Nya, kukira hari ini Bu Fera tak akan datang karena hujan turun semakin deras. Ternyata guru Matematika memang selalu saja datang apa pun halangannya. Namun, aku belum menyelesaikan tugas yang diberinya minggu lalu. Ckckk,” cetus Bulan dengan sedikit kesal.
“Sudah sering aku ingatkan bahwa kalau kau memiliki tugas, tentu harus secepatnya diselesaikan supaya tugas tersebut tak tertimbun, menumpuk, dan kau pun tak cepat stres!” jawab Peony dengan nada kesal sambil berbisik.
Mereka teramat tidak menyukai pelajaran ini. Huh, hari keramat!
Selanjutnya pelajaran kedua, Fisika. Pak Gamma, tampangnya seperti Dmitri Mendeleev, seorang ahli kimia yang telah menciptakan tabel periodik modern yang dapat kita pergunakan pada pembelajaran kimia, tentunya. Tak jarang, para murid yang belum mengenalnya akan bergegas lari terbirit-birit untuk menghindar darinya. Saat ini mereka sedang mempelajari materi mengenai tekanan.
“Baiklah, siswa yang sedang tertidur di bangku belakang, Krisan, silakan jelaskan kembali mengenai materi yang telah saya sampaikan tadi,” sindir Pak Gamma.
Dengan tubuh yang lelah dan mata merahnya, ia berusaha menjelaskan apa yang diminta Pak Gamma dengan suara lantang, biarpun diselimuti rasa kantuk yang begitu berat.
“Ya, kalian dapat melihat ini. Tekanan hidrostatis. Tekanan adalah besarnya gaya yang bekerja pada suatu permukaan per satuan luas permukaan. Dan saya izin menambahkan bahwa semakin besar gaya yang diberikan pada suatu permukaan, maka semakin besar pula tekanannya.”
Seluruh murid kelasnya sangat takjub mendengar penjelasan darinya. Ia tak mengelak, namun bertanggung jawab atas perilakunya.
Bulan menyikutku. “Peony! Lihatlah dia, seorang yang pintar, tampan pula.”
“Huft, kau ini... Itu memang keahliannya.”
“Hah? Keahliannya? Mengapa kau bisa mengetahui hal tersebut? Jangan-jangan... kau intel atau hacker,” ucap Bulan dengan raut wajah yang sungguh penasaran.
“Dia... aku sudah mengenalnya sejak duduk di bangku sekolah dasar. Kami pernah mengikuti lomba bersama, dan Fisika adalah sobat karibnya. Mungkin baginya, peristiwa tadi hanyalah hal sepele karena dia telah menguasai cukup banyak hal mengenai Fisika,” jelas Peony.
“Wah, berarti aku tidak salah untuk mengaguminya, kan?” ucap Bulan dengan senyum lebar yang khas.
“Ah, Bulan! Kau ini ya, menjengkelkan sekali,” kata Peony sambil mencubit lengan Bulan, diselipkan dengan candaan.
Suatu ketika, Peony, si gadis berparas cantik itu, sedang mengunjungi perpustakaan sekolahnya. Dirinya sangat pendiam jika tidak bersama Bulan. Ia sedang mengambil buku yang diperlukan untuk memaksimalkan pembelajarannya di kelas. Tempat itu sangat ramai, namun ia merasa hanya seorang diri saja. Buku-buku tersebut terlihat berat sekali sehingga ia berjalan sangat lambat, sampai-sampai...
“Hey! Kembalikan bukuku! Ah, tidak sopan!”
Tak disangka, dengan mudahnya beberapa buku Peony direbut begitu saja. Sesampainya di kelas, ia langsung menuju mejanya. Betapa terkejutnya Peony melihat buku-bukunya telah tersusun rapi. Lalu ia membaca sebuah pesan yang tertulis,
“Ny, gue yang menaruh buku lo di kolong meja, dan juga yang ambil buku lo tadi. Ya habisnya, lo tuh menghalangi jalan gue, lelet banget pula seperti siput saja. Bahkan sepertinya lebih lambat daripada siput. ~ Apip”
“Apip? Ada-ada saja. Percuma dia menulis namanya, aku pun tidak mengetahui dia siapa. Mengapa hal seperti ini terjadi ketika Bulan sedang tidak bersekolah? Huh!” ucap suara hatinya dengan wajah cemberut.
Saat jam istirahat tiba, aku berjalan seorang diri menghampiri kantin sekolah. Tak banyak yang mengetahui keberadaanku. Aku benar-benar sangat menunggu waktu pulang.
Rabu, itulah jadwal piket mereka. Pada pertemuan ini, Pak Gamma memberi instruksi untuk membentuk kelompok sesuai jadwal piket, lalu ia menyampaikan tugas yang harus para murid lakukan.
“Murid-murid, silakan kalian jelaskan sekaligus mempraktikkan mengenai Hukum Newton I tentang inersia dan kelembaman. Kelompok dua, silakan.”
Tanpa diskusi panjang, tiba-tiba saja Krisan mengangkat tangannya yang menandakan bahwa kelompoknya telah siap untuk maju. Alhasil, kelompok dua yang beranggotakan empat orang itu harus maju dan mencoba melakukan praktiknya saat itu juga.
Mereka pun menjelaskan prinsip Hukum Newton I dan memberikan sebuah contoh, seperti sebuah kentang yang ditancapkan dengan sumpit. Lalu mereka mengangkat sumpit tersebut. Bagian atas pada sumpit itu terus-menerus diketuk hingga menghasilkan kentang yang semakin naik... naik... naik ke atas, bukannya malah jatuh.
Usai praktik, mereka pun sempat berbincang.
Bulan membuka percakapan itu. “Wah, tadi rasanya aku sangat dihantui oleh rasa takutku.”
“Jika kamu percaya pada dirimu, orang-orang yang melihatmu pun akan menganggap biasa saja, Bulan. Mereka memiliki kesibukannya masing-masing,” tegas Peony.
“Baiklah! Aku yakin akan menjadi lebih baik lagi! Hmm... Krisan, Fajar, apakah kalian mengetahui seseorang yang merebut dan menaruh buku milik Peony setelah ia mengunjungi perpustakaan? Apip namanya. Di kertas ini sepertinya tidak ada yang bernama Apip.”
Krisan dan Fajar saling menatap satu sama lain, seperti mengetahui suatu hal yang mereka sembunyikan. Fajar akhirnya angkat bicara dan menyampaikan kebenaran.
“Eumm... jadi begini. Apip berada di kelas ini. Kalian mungkin belum mengetahuinya saja siapa dia.”
“Kalau kau mengetahuinya, katakan saja, Fajar!” ucap Bulan dengan amarah.
“Apip itu adalah Fajar,” celetuk Krisan.
Kedua gadis itu pun tercengang mendengar apa yang Krisan katakan.
“Kau? Ah, baru teringat. Namamu Noem Arvip Franjaya. Namun, dari manakah panggilan Fajarmu berasal?” tanya Bulan kembali.
“Mengenai hal itu, aku pun tak tahu. Sejak kanak-kanak aku sudah dipanggil dengan sebutan Fajar oleh keluargaku. Dan Peony, mohon maaf karena pada hari itu aku sudah tidak sopan kepadamu.”
“Baiklah, kau ini kumaafkan. Lain kali tolong jangan seperti itu lagi, ya. Terlebih aku belum sepenuhnya mengenal seluruh murid di kelas ini. Terima kasih sudah membawakan bukuku. Lain kali tolong bawakan lagi, ya,” ucap Peony sambil tertawa kecil.
Sejak saat itu, mereka tak jarang belajar bersama dan bertukar pikiran. Sayangnya, kisah mereka tak lama akan kandas.
Perpaduan yang sempurna. Cahaya langit yang mulai redup, hembusan angin seolah mengajak penghuni taman untuk menari riang. Taman yang seketika menjadi surga dunia yang tiada taranya. Begitu indah, nikmat mana yang kau dustakan?
Satu per satu kata kutulis dengan tulus. Tidak terasa, beberapa tetes air mata telah membanjiri wajahku.
“Masa remaja nyatanya tidak hanya sebagai masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. Inilah era untuk mencari jati diri, memperbanyak relasi, berani mencoba hal baru, juga falling in love—itu hal yang wajar. Butterfly era, katanya. Jatuh cinta memang sering kali membuat seseorang sedikit gila, menurutku. Tak pernah kurasakan sebelumnya. Mereka selalu saja fomo dengan kreasi serta tren masa kini. Seperti senja yang sangat dinantikan, biarpun hanya sesaat. Senang mengenal kalian di akhir masa JHS ini.”
_______
Penulis
Nadia Farhana, siswi SMPN 10 Kota Serang kelas IX J.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com