Tuesday, October 14, 2025

Proses Kreatif | Kita Memang Membaca dan Menulis, Tapi Sering Lupa untuk Apa

Oleh Encep Abdullah



Saya dan santri saya—santri ekstrakurikuler menulis—suatu hari melakukan kunjungan literasi ke Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Serang. Kunjungan ini merupakan bagian dari agenda kami, yakni datang ke acara bazar-bazar buku terdekat. Selain ke perpustakaan kota, saya juga mengajak mereka ke Gramedia Kota Serang (Jalan Raya Cilegon, Desa Drangong Blok RA Ruko No.A1-A2, Kecamatan Taktakan). Tujuan kegiatan ini sederhana, agar mereka merasakan langsung atmosfer dunia literasi—ruang di mana buku bukan sekadar benda di rak, tetapi jendela gagasan dan kebijaksanaan. Saya selalu menegaskan kepada anak-anak, penulis yang baik adalah pembaca yang baik.

Kunjungan ke bazar buku, perpustakaan daerah, dan toko buku merupakan stimulus agar para santri memiliki pengalaman tubuh langsung; agar mereka mencium aroma buku, meraba teksturnya, dan menumbuhkan kebiasaan pergi ke perpustakaan tanpa paksaan, serta tidak pelit membeli buku. Anak-anak yang saya bawa kurang lebih berjumlah tiga belas orang dari jenjang SMP hingga SMA. Sebagian tampak antusias memilih buku, sebagian lagi sibuk berfoto, dan ada juga yang sibuk menghitung isi dompetnya.

“Pak Encep nggak bilang sih kalau mau ke Gramedia juga. Saya tidak menyiapkan uang banyak,” keluh As-Syifa Safitri sambil cemberut kayak anak kecil. Tapi, setidaknya dari sini ia dan teman-temannya tahu, suatu hari bila mau datang lagi wajib bawa uang yang cukup (untuk tidak mengatakan banyak). Saya hanya tersenyum mendengar keluhan polos itu. Di satu sisi, mereka mulai belajar menghargai nilai buku; di sisi lain, saya tahu bahwa membeli buku bagi sebagian santri bukan perkara sepele. Namun, justru di situlah letak pelajaran hidup mereka, memahami bahwa pengetahuan memang mahal untuk dibeli.


Kedatangan kami di Gramedia disambut ramah oleh para karyawan. Salah satunya, Uki, yang menjadi PIC Gramedia Kota Serang, menawarkan kerja sama kegiatan literasi bila nanti kami datang kembali. “Kami punya banyak program, Pak,” katanya antusias. “Ada Ngaji Literasi dan kegiatan Nusa Membaca—kelas membaca di mana kita ngumpul bareng, baca buku, diskusi, lalu bikin game seru buat peserta. Kalau nanti ada kegiatan bareng santri, boleh banget kolaborasi.”

Ajakan itu tentu saya sambut dengan gembira. Literasi bukan hanya soal membaca dan menulis, tetapi juga membangun ekosistem pertemanan yang menghidupkan semangat belajar. Dunia literasi akan mati tanpa ruang perjumpaan.

***


Di ruang lain, bulan berikutnya, saya mengajak anak-anak saya ke Gramedia BSD Tangerang. Seperti halnya saya mengajak anak-anak santri saya, yakni membiasakan kaki menginjak lantai toko buku langsung. Saya kaget, anak saya malah minta beli komik One Piece. Sejak kapan ia suka baca komik. Tapi, ini sesuatu yang membahagiakan karena anak saya yang minta—walaupun sejak balita juga sering saya ajak untuk beli buku cerita. Di Gramedia BSD, saya tahu buku mahal-mahal dan tentu saja saya PD karena bawa banyak uang walaupun pada akhirnya hanya beli satu buku berjudul Filosofi Teras karya Henry Manampiring (Om Piring). Bukunya terus menembus pasar dan cetak ulang berkali-kali. Saat saya baca pengantarnya, saya menelan ludah. Bayangkan, sejak terbit pertama pada 2018 hingga kini (yang saya beli cetakan Juni 2025), cetakannya sudah mencapai edisi ke-82. Pada 2023 saja, buku itu sudah terjual 275.000 eksemplar. Pada 2024 terjual 500.000 eksemplar. Bisa jadi kini sudah menembus angka 1 juta eksemplar. Katakan saja harga buku Rp108.000 dan anggap saja royalti penulis 10%, maka dari buku yang terjual 1 juta eksemplar itu, ia sudah mengantongi hasil buah pikirnya sebesar Rp10.800.000.000 (baca: sepuluh miliar delapan ratus juta rupiah).

Buku yang ditulis dengan gaya ringan dan relevan dengan keresahan manusia modern itu benar-benar “hoki”, terutama karena lahir di masa yang tepat: bertepatan dengan Pilpres dan pandemi COVID-19. Saat orang-orang stres di rumah, butuh ketenangan batin, filsafat Stoik justru menjelma menjadi obat hati. Di YouTube, tokoh-tokoh seperti Fahruddin Faiz, Martin Suryajaya, dan Habib Ja’far membicarakan filsafat dengan gaya populer. Dunia maya pun mendadak menjadi kelas besar filsafat terbuka.

Gokil sih! Buku satu bisa menembus puluhan kali cetak ulang dan mengalirkan royalti terus-menerus. Sementara kita—yang mungkin para penulis kecil di pinggiran—kadang menulis banyak buku pun, belum tentu laku. Dunia buku itu memang dunia keberuntungan. Buku bagus belum tentu laku; buku menang sayembara pun belum tentu dicetak ulang. Kadang yang laku justru buku sederhana yang hadir di waktu yang tepat. Maka saya percaya, menulis itu bukan hanya soal kualitas, tapi juga nasib. Barangkali kita belum bernasib “beruntung” saja. Tapi siapa tahu, suatu hari nanti, ada satu buku kita yang tiba-tiba meledak tanpa bisa dijelaskan alasan rasionalnya.

Di sisi lain, nasib sebuah buku memang lucu. Misal Anda beli satu buku di bazar dengan harga 3 ribu. Teman Anda membelinya, lalu menjualnya lagi 10 ribu kepada orang lain. Orang itu menjualnya lagi 50 ribu. Hingga akhirnya buku itu menjadi barang langka dan dijual 1 juta. Penulisnya? Tak dapat sepeser pun. Royalti si penulisnya dari buku itu sudah jadi tai dan kenangan (kontraknya dengan penerbit sudah kelar), tapi bukunya masih berkeliaran. Penerbit, penulis, tak ada urusan dengan harga jual tersebut karena itu buku asli yang sudah sah dibeli orang lain.

***


Di tahun ini, tepatnya akhir tahun 2025, agenda penulis begitu riuh. Kegiatan menulis, lomba sastra, dan pelatihan tumbuh menjamur di mana-mana, baik dari komunitas maupun pemerintah. Sebagian penulis berbahagia. Mereka berswafoto, berpamer ria berkegiatan ini dan itu. Menulis ini dan itu. Dunia literasi kita seperti sedang berpesta: ramai, tapi kadang kehilangan arah.

Di ruang kelas atau di ruang komunitas, saya sering bertanya: dalam karyamu itu, kamu mau menawarkan apa? Apakah hanya ingin mendapat honor media atau hadiah lomba? Atau sekadar ingin terlihat produktif dan diakui? Banyak yang menulis puisi dengan kata-kata yang dipaksakan indah agar tampak memesona; ada yang menulis cerpen dengan alur ruwet biar terkesan sastrawi; ada pula yang menulis esai dengan tumpukan kutipan biar tampak intelektual. Padahal, semua itu hanya kulit. Menulis bukan hanya tentang bagaimana membuat orang lain terkesan, melainkan juga bagaimana kita jujur menyampaikan apa yang sungguh kita rasakan dan pikirkan--zaman sekarang pikiran kita mungkin dijajah AI, ia yang disuruh bekerja sepenuhnya, bukan menjadi "teman" diskusi. Semua orang memang sedang mencari bentuk dan makna. Ada yang ikut-ikutan tren, ada yang bertahan dalam keaslian meski tetap jelek. Ada pula yang terus berlatih sampai menemukan kekhasannya sendiri. Dan ketika seseorang sudah sampai di puncak kematangan menulis—di mana bentuk dan gaya telah matang, dan bahasa sudah menyatu dengan dirinya—kadang justru muncul kebingungan baru: setelah ini, mau apa lagi? Mungkin di situlah paradoks dunia kepenulisan: ketika sudah pandai menulis, kita kembali ke titik hening, tak tahu harus menulis apa, bahkan harus membaca apa.

Kiara, 14 Oktober 2025


__________


Penulis


Encep Abdullah, penulis yang memaksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai dewan redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak—tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya.


redaksingewiyak@gmail.com