Saturday, January 7, 2023

Resensi Syamsul Bahri | Peristiwa dan Jiwa yang Patah dalam Novel "Surti dan Tiga Sawunggaling"

Resensi Syamsul Bahri




Judul: Surti dan Tiga Sawunggaling

Penulis: Goenawan Mohammad

Penerbit: DIVA Press

Tahun: 2022

Tebal: 77 halaman

ISBN: 978-623-293-731-4



Peristiwa dan Jiwa yang Patah


Setelah berburu buku di bulan yang penuh diskon ini, saya keranjingan untuk membeli buku yang tiba-tiba berada di whist-list otak saya secara ujug-ujug. Di awal bulan ini, saya mencoba membangun kebiasaan mengulas buku setelah menamatkannya. Mungkin, rentan waktu antara menamatkan dan mengulasnya secara waktu yang dekat akan lebih menguatkan daripada menunggunya sampai entah kapan akan mengulasnya kembali. 


Ulasan pertama ini, dibuka oleh novel karya Goenawan Mohamad dan selanjutnya akan disingkat menjadi GM saja. Kali pertama membaca fiksi milik GM. Sebelumnya saya sering kali membaca esei-nya baik di buku ataupun di beranda Facebook-nya. Saya sangat tertarik dengan tulisan-tulisan GM mengingat saya seorang hamba yang haus akan pengetahuan dan GM adalah sumur yang mungkin tak ada pangkalnya. 


Novel ini berjudul Surti dan Tiga Sawunggaling dengan tebal sekitar 77 halaman yang mungkin dibaca sekali duduk saja. Jika dilihat secara fisik, novel ini begitu tipis, tapi tidak dengan interpretasinya yang menurut saya sebenarnya sangat tebal sekali. Ada berbagai peristiwa yang menurut saya masih ada lanjutannya, tapi GM memilih untuk memangkas dan mengemasnya untuk tidak bertele-tele dalam menyampaikan sebuah pesan yang hendak disampaikan melalui kata-katanya.


Saya memulainya dengan pertanyaan skeptis tentang peristiwa. Di mana cerita itu berawal dari peristiwa dan berakhir dengan sebuah peristiwa. Pertanyaan yang berkelindan tentang peristiwa akan sering muncul dalam ulasan ini. Mari kita melangkah ke depan untuk memulainya.


Siapa yang menciptakan peristiwa? 


Apakah Tuhan atau manusia?


Menurut saya, bisa keduanya atau bahkan salah satu dari mereka. Saya pun tak begitu pasti mengetahuinya. Padahal keduanya saling mengenal atau mereka bermusuhan satu sama lain atau ada di antara mereka saling membenci? Saya tak tahu pasti. Tapi yang jelas, keduanya menciptakan peristiwa dengan berbagai bentuk baik yang beraturan atau yang tidak beraturan. Dari mana kita bisa mengetahui bentuk-bentuk tersebut. Dari turun hingga hadirnya peristiwa tersebut akan selalu maujud yang berupa alur atau plot cerita yang dijalankan oleh entitas-entitas itu. Karena itu ada baiknya jika salah satunya memutuskan untuk memberikan peristiwa yang dominan dalam peranan sebagai Sang Khalik dan makhluknya yang mengatur segala alur atau plot tersebut.


Novel ini beraliran realis-magis. Memang GM sangat lihai dalam memainkan setiap bait ceritanya yang merupa seperti puisi yang panjang. Dengan berlatar Jawa cerita itu sangat dekat dengan pembaca sehingga bisa sedikit dimengerti tentang peristiwa apa yang hendak diangkat oleh GM. Bahan baku dari novel ini adalah sejarah koloni Belanda yang selalu diceritakan dengan bumbu-bumbu kepedihan dan kesengsaraan yang melekat di dalam jiwa pribumi. Maka dari itu, manusia menolak lupa tentang jejak-jejak jajahan yang dilakukan oleh Negeri Kincir Angin itu. Luka itu masih membekas sampai sekarang. Tapi tidak sedikit orang yang "merasa" merdeka ketika sejarah itu ditulis ulang dan membuat sebuah monumen kepedihan oleh orang yang ingin menulis perihal peristiwa menyedihkan itu. Namun, ada juga orang yang tidak sama sekali ingin mengingatnya dan membuang semua bentuk masa lalu yang membuat hati dan pikirannya ditarik kembali dimana bangsanya ditindas dan diasingkan seperti manusia yang kehilangan akal dan budinya.


Pada dasarnya, ingatan akan selalu berkembang dan menemukan bentuknya seperti identitas. Identitas merupakan hal penting dalam hidup manusia. Ia bertahan karena identitas. Tanpa itu mereka hanya tinggal nama dan tak berguna sama sekali. Pencarian semacam ini memerlukan proses proyeksi yang begitu detil sebab jika hanya remang-remang dan mengawang-awang saja semuanya tidak dapat dituangkan ke dalam setiap cerita. Kita tidak mungkin hanya mengandalkan ingatan dan lidah sebagai penyambung yang bisa terpercaya atau tidak. Tapi dengan catatan, jejak-rekam peristiwa akan terlihat sangat jelas jika kita mampu untuk menjaga dan menghilangkan sejarah yang salah. 


Novel ini bercerita tentang seorang perempuan pembatik dan tiga burung atau  yang ia buat dalam kain morinya di rumah. Dalam dunia perbatikan, ia mempunyai banyak sekali motif yang dibuat oleh sang pembatik. Tentunya bukan hanya sekadar motif saja tapi mempunyai tanda atau makna yang filosofis. Setiap motif yang digoreskan oleh sang pembatik, memiliki sebuah cerita di mana ada sebuah pesan yang implisit yang hendak disampaikan oleh sang pembatik. Begitu juga dengan gambar-gambar lainnya. Jika dibaca dengan sangat mendalam, simbol atau tanda akan muncul di setiap bentuknya—dan melambangkan peristiwa yang patut diingat oleh umat manusia. Berbagai pola yang ada dalam batik, di antaranya, tumbuhan, hewan, bangunan dsb. Maka dari itu, membuat motif batik menyangkut segala aspek kehidupan duniawi dan bahkan ukhrawi. Itu adalah sebagian kecil dari dunia perbatikan. Ini hanya sependek pengetahuan saya saja perihal dunia perbatikan. Saya enggan mengulasnya lebih jauh—sebab ada yang lebih kompeten mengenai bidang tersebut.


Tokoh utama yang ditulis oleh GM adalah seorang perempuan jawa yang sekaligus sebagai pembatik. Ia bernama Suti. Ia senang dengan membatik di kain mori dan membuat pola tiga burung di batiknya dan diberi nama, Anjani, Baira dan Cawir. Menurut definisi yang saya dapat dari internet tentang asal kata sawunggaling. Motif sawunggaling merupakan perpaduan dari kata sawung yaitu 'ayam jantan' dan Galing yaitu 'Merak Jantan'. Ketiga burung itu selalu menemani dan datang di mimpi Suti. Ia telah akrab dengan sang maut. Segala yang dicinta dan dikasihnya pergi meninggalkannya. Kesunyian kerap kali mendekapnya begitu erat dan hanya membatik sebagai obat penawar rindu yang mampu membuatnya tenang dan berdiri menghadapi pedihnya kehidupan.


Alur cerita yang mengalir dan penokohan yang begitu kuat membuat novel ini tak terasa dikhatamkan dengan sekali lungguhan saja. Konflik yang GM bangun mampu membuat pembaca seperti saya mengalami rasa nyeri di hati dan pikiran terhadap peristiwa yang GM suguhkan sebagai bumbu cerita yang apik dan mengajak pembaca untuk terlibat dalam peristiwa pada saat itu. Datangnya Narto ke rumah Jen, suami Suti—adalah sebagai pembuka konflik di novel ini. Ia adalah seorang guru dan anak dari Bupati Temanggung. Ke mana pun ia pergi, gelar radennya selalu ia tunjukan kepada semua orang. Ia mempunyai maksud tertentu mengapa ia selalu begitu. Narto memiliki perangai yang gagah dan bertutur dengan baik. Namun, semenjak peristiwa bejat itu Narto dibenci oleh masyarakat dan hampir setiap malam Narto dikirimi amplop yang diisi sobekan kertas yang bertulisan RADEN SUNARTO diselimuti dengan tahi yang masih basah. Kebencian masyarakat sangat meluap-luap pada anak bupati itu hingga Narto menjadi buronan di Desa Batiombo itu.


Tidak hanya itu, Kiai Subkhi adalah seorang tokoh agama yang menurut masyarakat sekitar Batiombo adalah seorang kiai keramat dan memiliki banyak pendekar di pondok pesantrennya. 


“Mungkin orang keramat dekat dengan Tuhan dan keajaiban. Ia tak memerlukan tanah air?”


Terlihat bahwa peran tokoh agama pada saat itu sangat berpengaruh kepada masyarakat tapi tidak menutup kemungkinan sekarang juga masih seperti itu. Masyarakat percaya bahwa segala yang didawuhi oleh sang kiai itu benar dan datang dari Tuhan langsung. Jika ditelaah lebih dalam kerangka komunikasi. Jenis komunikasi seperti ini berasal dari yang atas menuju ke bawah atau biasa disebut dengan patron client. Karena itu patron client diterapkan dari zaman kerajaan dahulu hingga saat ini. Sebab menurut masyarakat luas yang tak memiliki kekuasaan apa pun, ia memandang raja sebagai orang yang benar dan tak pernah salah. Ia pasrah dengan nasib dan rezekinya yang diatur oleh sang raja dan ia tak mampu berbuat apa-apa selain mengangguk dan berjalan bungkuk di hadapan sang raja.


****


Narto dan Kiai Subkhi mempunyai hubungan khusus. Narto mempunyai julukan khusus dan ia tak suka dengan panggilan tersebut. menurut sepengetahuan orang-orang Batiombo ia adalah murid Kiai Subkhi yang selalu sowan setiap kali menjalankan tugas yang telah diberikan oleh sang kiai. Entah tugas seperti apa yang Oncor lakukan yang pasti ini ada hubungannya dengan penjajah itu.


Sebagai penutup ulasan kali ini, saya memberi rate novel ini dengan angka 85. Jika dikatakan bagus atau jeleknya, novel ini terbilang bagus untuk pembaca yang ingin mengetahui muasal dari sejarah dan makna batik motif sawunggaling ini. Satu dengan lainnya itu berkaitan dan mampu sejalur dengan judul yang ditentukan oleh GM. Akhir kata, peristiwa akan selalu datang silih berganti dengan berupa-rupa wajah dan warnanya yang membuat orang gila ketika ia menghadapinya.


Yogyakarta, 8 Oktober 2022


_______

Penulis

 

Syamsul Bahri, lahir di Subang dan sekarang tinggal di Yogyakarta. Sajak-sajaknya pernah tersiar di berbegai platform media daring dan luring. Bisa disapa melewati IG: @dandelion_1922.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com