Sunday, October 24, 2021

Cerpen Ma'rifat Bayhaki | Ensakolia

 Cerpen Ma'rifat Bayhaki




Saban malam aku selalu menikmati tenangnya cahaya rembulan. Meski terkadang aku jengkel saat mendung menghalangi rembulanku. Hal itu aku lakukan untuk menenangkan segenap perasaan yang mengendap di dasar dadaku. Perasaan yang selalu memaksaku meninggalkan sekuntum bunga yang telah aku petik. Bunga yang telah aku pilih untuk menghiasi beranda hidupku. 



Malam ini aku ingin sekali bersamamu. Bersama bulan yang tinggal separuh itu. Aku ingin mengganggam tanganmu, merasakan hangat tubuhmu, dan mencium pipimu yang tembam itu. Ensakolia, kau tahu? Tempurung kepalaku ini penuh urat-urat wajah dan matamu. Urat-urat itu menegang saban malam. 


Bersama secangkir kopi, kretek, geretan, dan asbak yang tertata sedemikian rupa di meja, aku duduk di kursi yang mendingin. Kunyalakan sebatang kretek dengan isapan yang dalam dan semakin dalam. Kuembuskan asap bersama bayang-bayang wajahmu ke udara. 


Sesaat mataku melirik warna-warna bunga yang mulai berguguran. Aku menghitung waktu, ternyata sudah lama sekali kau pergi. Sampai-sampai aku lupa generasi ke berapa bunga yang berguguran itu. Entah cicit atau canggah dari biji bunga yang aku tanam untuk menyambut kedatanganmu waktu itu. 


Aku kembali mengembuskan asap-asap kretek sembari memandangi indahnya separuh cahaya rembulan. Barangkali separuhnya lagi sedang kau nikmati di sana. Seandainya kau berada di sisiku malam ini, aku ingin berucap jika kau dan aku serupa separuh bulan itu. Kau adalah bagian cahaya yang sangat menggoda jutaan mata manusia, sedang aku bagian yang berkamuflase dengan warna langit yang tak dikenali oleh siapa pun. Begitulah caraku mencintaimu Ensakolia, tak penting tahu dan tidaknya semesta tentang cinta kita. Sebab kita adalah satu.  


Aku pejamkan mataku lalu berdoa kepada Tuhan agar diberi kelapangan atas semua yang telah aku jalani selama ini. Aku berdiskusi dengan hati bahwa aku telah kalah dalam pertarungan yang melelahkan dan menguras emosi ini.  Sebagai panglima dalam perjuangan ini, tampaknya hatiku mulai mengerti bila posisinya sudah terdesak dan harus mengibarkan bendera putih—tanda kekalahan. 


Akhirnya aku dan hatiku sepakat untuk menyerah kepada keadaan. Segenap jiwa dan ragaku menarik diri dari bayang-bayangmu—perempuan berbola mata biru yang selama ini menjelma harapan. Harapan yang terus melayang-layang tanpa pernah aku dapatkan. 


Setumpuk kertas yang semula aku sediakan untuk menuliskan sisa-sisa perasaanku kepadamu aku bakar. Cangkir kopi yang berabu aku banting dengan segenap kekecewaan pada diriku sendiri. Kupungut pecahannya yang runcing dan tajam. Lalu, kuiriskan pada urat nadi pergelangan tangan kiriku. Darah pun muncrat dan mulai menghujani secarik surat. Mataku mulai merasa berat. Sebelum aku benar-benar terpejam aku berucap harap agar secarik kertas ini sampai kepadamu—Ensakolia.


Ensakolia, malam ini tubuhku melayang-layang bersama sepasang malaikat. Aku melihat kehidupan di kepalaku, tempat di mana kau dan aku leluasa memadu kasih. Ensakolia, aku mulai merasa nyaman berada di sini.  Sepertinya aku akan hidup di sini—di pikiranku, bersamamu, selamanya. 


Ensakolia, di waktu yang tinggal sejengkal ini, aku ingin sedikit mengenang kisah kita. Saat kita pertama kali berjumpa. Ya, malam itu aku sedang memarahi anak jalanan yang menyeberang sembarangan. Sepeda motorku rusak menabrak trotoar jalan. Lutut dan siku tanganku terluka karena menghindari bocah-bocah itu. Tiba-tiba kau datang memarkirkan motormu tepat di antara aku dan anak-anak jalanan itu. Kau berusaha menghentikan luapan emosiku. Namun, apalah daya manusia yang dikuasi amarah, aku tidak bisa mengontrol diri dan melontarkan kata-kata kasar kepadamu. 


Kau menampar pipiku, membalas caci maki yang aku lontarkan kepadamu. Mendapatkan tamparan darimu membuat tanganku terajak memukul wajah ranummu itu. Seketika kau tidak sadarkan diri. Aku kebingungan bukan kepalang melihatmu terkulai di trotoar jalan. Aku langsung bergegas membawamu ke rumah sakit terdekat menggunakan sepeda motorku yang bengkok setangnya karena menghantam trotoar jalan.


Kau duduk di antara aku dan salah satu anak jalanan itu. Aku memacu sepeda motorku sampai ujung batas kecepatan maksimal. Namun ternyata malam berkata lain, sebuah mobil truk berkecepatan tinggi keluar jalur dan menabrak motor yang kita tunggangi. Kau, aku, dan anak jalanan itu semuanya tidak sadarkan diri. Kau tahu Ensakolia? Aku selalu tertawa bila mengenang kejadian itu. Sebuah proses perkenalan yang sungguh mengerikan.


Kau dan anak jalanan itu hanya mengalami luka ringan, sedangkan aku mengalami pendarahan yang sangat hebat. Kakiku patah dan kepalaku harus menerima dua puluh jahitan yang menyakitkan. Aku harus menerima nasib terbaring di kamar selama dua bulan lamanya. Mungkin ini teguran dari Tuhan bila wajahmu itu keramat yang harus dijaga. 


Selama dua bulan itu kau selalu berkunjung menjengukku bersama empat anak jalanan yang penampilannya kumal dan bau. Kau selalu berusaha menghiburku yang terpenjara dalam sepi. Awalnya aku menolakmu, tapi lantaran ketulusan dan garis bibirmu yang menawan, akhirnya ego di dalam diriku runtuh seruntuh-runtuhnya.


Kau selalu datang di hari minggu dengan membawa aneka makanan yang enak-enak. Kau selalu memanjakanku, bahkan kau tidak sungkan untuk menyuapiku makan. Kau harus tahu, saat itu aku merasakan ada sebuah benih yang kau tembakan ke ulu hatiku, dan benih itu sangat kuat menancap sampai membuat degup jantungku selalu berdebar-debar tak beraturan. 


Kau dan aku ternyata mahasiswa di universitas yang sama bahkan di fakultas yang sama. Ruang kelas kita tidak terlalu jauh, tapi aku tidak mengenalimu sama sekali. Padahal kau adalah mahasiswa yang tenar karena prestasi dan aktivis organisasi. Barangkali aku terlalu sibuk dengan duniaku sendiri.  


Kau masih ingat? Saat itu, kita sama-sama menginjak semester ke-7. Setelah peristiwa kecelakaan itu hubungan kau dan aku menjadi semakin erat. Seusai perkuliahan, kau selalu mengajakku datang ke tempat anak jalanan itu. Kau mengajakku untuk membujuk mereka agar kembali bersekolah. Sebagai aktivis organisasi, kepandaianmu memikat hati bocah-bocah itu untuk kembali bersekolah tidak bisa diragukan. 


Kau mengerti bila di kota ini anak-anak jalanan selalu menjadi cibiran, tanpa ada upaya untuk membantu mereka yang telantar di kehidupan yang mengerikan. Suara merdu dawai anak jalanan itu memecah kebahagiaan yang beterbangan di bahu jalan di dekat perempatan yang penuh kendaraan. Aku hanya duduk memandangimu dan para anak jalanan itu, sembari sesekali memperhatikan senyum yang menggaris di pipimu yang mengisap seluruh pandanganku.  


Suatu hari kau meminta diantarkan ke pasar, aku menurut saja. Barangkali seluruh jiwa ragaku sudah takluk kepadamu. Setibanya di pasar kau berjalan menyisir barisan toko-toko barang bekas. Kau berhenti di salah satu toko dan langsung mengeluarkan barang-barang yang ada di dalam ransel besarmu. Ternyata kau hendak menjual semua barang-barang berhargamu. 


“Untuk apa kau menjual barang-barang ini?” kutanya kau dengan wajah bingung.


“Sudah, jangan banyak tanya, nanti kau juga akan tahu,” kau menjawab sembari menyeringai. 


Setelah kau menjual semua barang-barangmu itu, pertanyaan-pertanyaan mengitari pikiranku. Aku menerka-nerka, apakah saat itu keluargamu sedang mengalami masalah ekonomi atau … dan sebagainya berseliweran di pikiranku. Hatiku mulai berdetak kencang saat kau menghentikan langkahmu di salah satu toko baju sekolah. Kau membeli empat pasang seragam sekolah, lengkap dengan buku, pena, dan ransel. Setelah itu kau langsung berkata kepadaku.


“Besok, Sobiq antar Ensakolia yah, ke Esde Ketuon Satu. Ensakolia mau mendaftarkan para anak jalanan itu sekolah. Mereka berhak menggapai masa depan yang cerah di negeri ini. Ensakolia yakin, mereka mampu memperjuangkan cita-citanya yang luar biasa mulia,” kau berkata dengan nada lembut dan raut wajah yang sulit aku jelaskan.


Mendengar perkataanmu membuat hatiku semakin tidak keruan. Seluruh tubuhku rasanya seperti sedang memanjatkan doa-doa—ingin memiliki perempuan yang cantik jelita dan berhati permata, yaitu kau Ensakolia. 


Semenjak aku mengenalmu, kau selalu mengajarkanku untuk menjadi manusia yang bijaksana, peduli terhadap lingkungan sekitar dan menghilangkan keraguan untuk menolong orang lain. Kau juga selalu mengajakku untuk rajin membaca buku, mengajariku menulis cerpen, puisi, esai, bahkan tulisan ilmiah. Sampai akhirnya mataku terbiasa membaca dan jari-jariku terbiasa menulis. 


Setiap hari aku menghabiskan berlembar-lembar kertas untuk menuliskan semua yang ada di kepalaku. Entah itu tentang masalah keluarga, biaya kuliah, politik, budaya, ekonomi bahkan tentang cintaku kepadamu, Ensakolia. Kau serupa bidadari yang membuatku terus berkaca diri. Aku menjadi lebih bersemangat menjalani hidup ini. Aku menjadi getol belajar, membantu abah berjualan di pasar, mencuci baju, semuanya aku kerjakan dengan penuh keikhlasan. 


Waktu memang berjalan begitu cepat sampai tidak terasa kau dan aku hendak di wisuda. Saat itu aku sudah menyiapkan sebuah cincin permata untuk melamarmu setelah acara wisuda selesai. Ternyata kau tidak datang di acara wisuda itu. Kau pergi ke Jerman untuk melanjutkan pendidikan di sana. Aku sangat terpukul sekaligus kecewa, sebab kau tak bercerita bila pengajuan beasiswamu ke Jerman diterima. Walaupun dalam rasa kekecewaan yang mendalam, aku tetap yakin, bila suatu hari nanti kau akan kembali dan menerima cincin permata ini, sebagai bukti bila kau bersedia dinikahi olehku kelak.


Setelah kau pergi, aku tetap bersemangat menjalani hari-hariku. Aku berusaha mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut kedatanganmu. Aku beranikan membuka usaha percetakan, ternyata hasilnya lumayan besar. Satu tahun saja aku sudah bisa membeli tanah sekaligus membangun rumah yang lokasinya berdekatan dengan rumah orang tuamu. Toko percetakanku tutup pukul tiga sore, sebab aku harus mengajarkan anak-anak membaca, menulis, melukis, bermain musik serupa apa yang kau lakukan kepadaku dan para anak jalanan itu, dulu.


Aku ingin mewujudkan mimpimu yang kini menjadi mimpiku. Aku juga menanam biji-biji bunga di halaman rumahku untuk menyambut kedatanganmu nanti. Sebab aku percaya, kau akan senang sekali melihat hamparan bunga yang indah ketika kau pulang dari Jerman. 


Dua tahun berlalu, aku masih setia menanti kedatanganmu, Ensakolia. Anak-anak yang belajar di rumahku semakin ramai. Wahana permainan pun semakin lengkap, bahkan buku-buku sudah tidak tertampung di rak-rak yang berjejer itu. Bunga-bunga mulai bermekaran menghiasi setiap sudut beranda rumahku. Aku sudah tidak sabar untuk memberikan semua ini untukmu. 


Sampai tiba waktunya di sebuah sore yang menampakkan senja di cakrawala. Aku melihat keluargamu bolak-balik memindahkan barang-barang dari dalam rumah ke mobil bak terbuka. Aku penasaran dengan apa yang terjadi di rumahmu. Aku mendatangi kedua orang tuamu yang sibuk mengangkati barang-barang itu. 


“Punten, Bapak, jelihatanya sibuk sekali. Memangnya mau dibawa ke mana barang-barang ini, Pak?” aku bertanya pada bapakmu. 


“Eh, Nak Sobiq. Kami sekeluarga mau pindahan, Nak Sobiq,” bapakmu menjawab sembari mengangkat sebuah kotak yang berisi bingkai-bingkai fotomu.


“Loh, memangnya sudah tidak betah tinggal di sini Pak?” kutanya dengan wajah penasaran. 


“Sebulan lalu, Ensakolia mengirim surat dan di dalam surat itu Ensakolia berpesan kalau dia sudah pulang ke Indonesia sekaligus sudah bekerja di perusahaan besar di kota. Ensakolia juga sudah membeli rumah di sana untuk tempat tinggal kami yang baru,” bapakmu menjawab dengan seringai bahagia sekali.


“Nama daerahnya apa yah Pak, kalau boleh tahu?” aku kembali melempar tanya. 


“Yang jelas sih di luar provinsi, Bapak lupa nama tempatnya. Oh iya, Bapak sampai lupa kalau Ensakolia juga berpesan jika pemilik perusahaan itu telah melamarnya dan Ensakolia sudah menerima lamaran itu. 


Mendengar perkataan orang tuamu, aku tidak bisa berkata-kata, rasanya dadaku terasa sesak, sesesak-sesaknya. Dengan gontai aku berjalan berjalan menuju kamarku.  Semua gelembung-gelembung harapanku seketika pecah. Air mata meronta-ronta, mengiris dua bola mataku sampai mengeluarkan air mata darah. Tapi tidak apa-apa, sebab aku masih yakin bila itu adalah jalan yang terbaik yang diberikan oleh Tuhan.


Dua bulan kemudian aku keluar dari rumah sakit karena tiga hari tiga malam, aku tidak makan dan minum. Saat terbaring di rumah sakit, datang sesosok perempuan menjengukku. Awalnya aku mengira bawa perempuan itu kau, Ensakolia. Namun ternyata perempuan itu adalah Zahra. Ya, dia adalah Zahra, sahabat lamamu. 


Zahra menemaniku selama aku di rumah sakit. Setiap hari Zahra selalu datang untuk menghibur dan menghancurkan segenap luka di hatiku. Zahra melakukan hal serupa apa yang dilakukan kau saat aku patah tulang dulu. Setelah aku pulih dan keluar dari rumah sakit yang menyeramkan itu, aku memberikan cicin permata yang dulu aku simpan untukmu kepada Zahra. Aku melamar Zahra detik itu juga dan kemudian aku dan Zahra menikah.


Kau tahu Ensakolia? Kemarin Zahra mengandung anak pertamaku. Anakku dengan Zahra, bukan denganmu Ensakolia. Istriku dirawat di rumah sakit sebab tidak makan selama tiga hari dua malam. Calon bayi di dalam perutnya terancam keguguran. Kau mau tahu apa penyebabnya? Istriku ingin aku menikah denganmu. Istriku tidak sengaja melihat kunci kamar rahasiaku tergeletak di lantai. Zahra membuka kamar rahasia itu dan melihat tumpukan-tumpukan kertas yang rapi. Istriku membacanya dan terus membacanya selama tiga hari tanpa jeda. Melumat habis seluruh perasaanku terhadapmu, Ensakolia. 


Istriku mengunci dirinya di dalam ruangan itu.  Saat itu aku sungguh kebingungan bukan kepalang. Aku rusak pintu kamar itu dan mendapati istriku pingsan. 


Ensakolia, andai saja dulu aku tidak mengenalmu, tidak belajar menulis seperti ini, mungkin tidak akan ada selembar pun tulisan tentangmu di istana yang dulu pernah aku impikan sebagai tempat memadu kasih denganmu. Mungkin perasaanku terhadapmu hanya menjadi bayangan dalam ingatanku, dalam kepalaku, dan Tuhan. 


Ensakolia, aku ingin memberi tahu, jika empat anak jalanan itu sekarang sangat gemar belajar, mereka lulus dengan nilai terbaik dan mendapatkan beasiswa. Mereka sangat bersemangat menggapai cita-cita. Mereka sekarang bersekolah di SMP di dekat Taman Kota. Bila suatu hari kau pulang, datanglah ke sana, mereka pasti merindukanmu serupa kerinduanku kepadamu.  


Aku juga ingin memberi tahu, bila pagi tadi Zahra dan anakku sudah di makamkan di TPU Kota di dekat pohon kamboja. Ensakolia, selama ini aku tidak pernah mengungkapkan perasaanku terhadapmu melalui lisanku. Aku tidak pernah tahu apakah kau merasakan apa yang aku rasa. Namun, yang terpenting lewat kertas terakhir ini aku ingin mengatakan jika aku sangat mencintaimu. Terima kasih Ensakolia sudah memberi warna-warna dalam hidupku. Bila suatu hari kau ingin bertemu denganku, aku ada di samping anak dan istriku di dekat pohon kamboja di TPU Kota. 


Pontang, 20 Agustus 2019




___

Penulis

Ma’rifat Bayhaki, Tukang ngacak-ngacak tanduran tetangge.