Esai Najullah
Pelayanan kesehatan di Indonesia, khususnya bagi peserta BPJS Kesehatan, kerap menjadi sorotan. Sudah bukan rahasia lagi jika banyak keluhan muncul terkait buruknya pelayanan, terutama jika dibandingkan dengan pasien umum atau pasien berbayar. Antrean panjang, kelelahan, hingga gesekan emosi antara pasien dan petugas seolah menjadi pemandangan lumrah yang perlu segera dicarikan jalan keluarnya.
Stigma yang menyebut "jika ingin pelayanan baik, pakai umum saja" bukanlah isapan jempol belaka. Pasien umum memang terkesan mendapatkan prioritas, setidaknya dari sisi waktu tunggu yang lebih singkat. Di sisi lain, jumlah pengguna BPJS Kesehatan yang masif sering dijadikan alasan utama di balik lamanya antrean. Kondisi ini tentu sangat membebani pasien yang sedang dalam kondisi sakit. Kelelahan fisik dan mental akibat menunggu lama bisa memperburuk kondisi kesehatan mereka.
Saya pribadi pernah merasakan langsung bagaimana pengalaman antrean yang buruk ini. Suatu kali, saya mengantar orang tua berobat. Kami sudah menunggu berjam-jam, hanya disuruh menunggu tanpa ada penjelasan perkiraan waktu yang jelas. Setelah penantian panjang yang melelahkan, barulah kami diberi tahu bahwa jadwal dokter sudah penuh. Mau tak mau, kami harus pulang lagi dan kembali ke keesokan harinya. Untungnya, tempat tinggal kami tidak jauh. Saya tak bisa membayangkan betapa repotnya jika kami datang dari daerah yang jauh. Pengalaman seperti ini, di mana waktu pasien tidak dihargai dan informasi tidak transparan, sungguh memicu frustrasi dan kelelahan.
Bukan hanya soal antrean, interaksi langsung pun kadang terasa hambar. Saya pernah mencoba ramah pada seorang petugas kesehatan. "Teh, punten, saya mau ikut timbang badan," ucap saya sopan. Petugas itu diam saja. Saya mengulanginya sampai tiga kali, baru ia merespon dengan kata-kata "silakan," namun tanpa senyuman. Rasanya sangat tidak nyaman. Setelah selesai menimbang, saya berusaha mengucapkan terima kasih dengan sopan, "Teh, terima kasih." Lagi-lagi, dia tidak merespons. Saya paham, mungkin dia sedang lelah. Pengalaman semacam ini menunjukkan bahwa sentuhan personal dan ramah seringkali luput, padahal dampaknya besar pada pengalaman pasien.
Memang tidak semua petugas kesehatan mempunyai attitude yang tidak baik, namun kondisi lelah bisa mengubah emosi seseorang menjadi tidak stabil. Beban kerja yang tinggi dan jam layanan yang panjang pada akhirnya bisa memicu kelelahan fisik dan emosional, yang tak jarang berujung pada penurunan kualitas pelayanan. Gesekan kecil akibat protes dari keluarga pasien pun bisa terjadi, dan lingkaran setan pun terbentuk: ketidakpuasan pasien memicu emosi petugas, yang kemudian memperburuk pelayanan, dan seterusnya.
Meski begitu, bukan berarti semua pengalaman buruk. Saya juga pernah mendapatkan pelayanan yang sangat baik dari seorang petugas, masih di rumah sakit yang sama. Kala itu, saya ingin menjenguk tetangga yang dirawat karena kecelakaan kerja. Dengan sopan saya bertanya arah ruangan, dan dia tidak hanya menjawab dengan ramah, tapi bahkan mengantar saya sampai ke depan ruangan, padahal jaraknya lumayan jauh. Pengalaman positif ini menunjukkan bahwa kebaikan dan keramahan dalam pelayanan itu ada, dan sangat membekas di hati pasien atau pengunjung.
Namun, apakah kondisi ini memang tak terhindarkan? Sebenarnya tidak. Perbaikan pelayanan kesehatan membutuhkan tanggung jawab dari semua pihak yang terlibat.
Bagi pasien dan keluarga pasien, sangat penting untuk bisa menahan diri dan bersabar dalam panjangnya antrean. Kita patut bersyukur bisa mendapatkan akses berobat gratis sebagai peserta BPJS. Maka, marilah kita menjaga ketertiban dan memahami bahwa petugas di lapangan juga menghadapi tantangan besar. Kesabaran dan kepatuhan terhadap prosedur akan sangat membantu kelancaran pelayanan bagi semua.
Untuk petugas kesehatan, ingatlah bahwa yang kalian hadapi adalah manusia yang sedang membutuhkan pertolongan dan pelayanan terbaik. Berusahalah untuk tetap ramah dan empatik meskipun dalam kondisi lelah. Ini adalah tugas dan tanggung jawab mulia kalian. Sentuhan kemanusiaan dalam pelayanan, meskipun sesederhana senyuman atau respons verbal yang hangat, dapat membuat perbedaan besar bagi pasien yang sedang rentan.
Kuncinya terletak pada komunikasi yang baik dan manajemen yang efektif. Pasien, pada dasarnya, bisa bersabar asalkan mereka diberikan penjelasan yang transparan dan jelas. Jika harus mengantre, petugas bisa memberikan informasi perkiraan waktu tunggu secara jujur, baik itu dalam hitungan menit maupun jam. Pengalaman pribadi saya membuktikan, penjelasan yang lugas ini bisa sangat mengurangi kecemasan dan frustrasi pasien, membuat mereka merasa dihargai dan dimanusiakan. Transparansi informasi jadwal dan estimasi waktu tunggu adalah hak pasien dan kewajiban penyedia layanan.
Di sisi lain, pihak rumah sakit atau pusat layanan kesehatan memiliki tanggung jawab besar untuk mengatur durasi kerja petugas agar mereka dapat tampil prima dalam memberikan pelayanan. Jadwal yang seimbang akan membantu petugas menjaga stamina dan kestabilan emosi dalam menghadapi volume pasien yang tinggi. Petugas kesehatan yang prima dan tidak tertekan cenderung lebih sabar dan empatik, yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas pelayanan secara keseluruhan.
Membangun sistem pelayanan kesehatan yang ideal memang tidak mudah, namun fokus pada peningkatan kualitas komunikasi, manajemen SDM yang lebih baik, dan mengedepankan sentuhan humanisme adalah langkah krusial. Pasien, terlepas dari status pembayarannya, berhak mendapatkan pelayanan yang bermartabat dan manusiawi. Dan ketika itu terwujud, bukan hanya pasien yang untung, tetapi juga citra dan efektivitas sistem kesehatan kita secara keseluruhan.
Graha Rinjani, Walantaka, 3 Juli 2025
______
Penulis
Najullah, pengamat sosial.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com