Tuesday, July 1, 2025

Proses Kreatif | Beban Menulis dan Aku yang Tak Pernah Selesai

Oleh Encep Abdullah



Suatu hari, seorang rekan mengatakan bahwa tulisan saya terasa tanpa beban: mengalir begitu saja. Saya tidak langsung menyetujui atau menyangkal pernyataannya. Silakan saja menafsirkan seperti apa, itu hak pembaca. Namun, jika boleh jujur, frasa “tanpa beban” ini ternyata cukup multitafsir—setelah saya renungi ulang. Benarkah saya menulis tanpa beban?

Mungkin, dari sudut pandang pembaca, iya. Tapi bagi saya sebagai penulis, justru karena ada beban (pikiran dan kegelisahan) itulah saya menulis. Kadang saya menulis tanpa pertimbangan matang karena pikiran tengah berkecamuk. Selain itu, menulis juga makin terasa menjadi beban ketika saya menemui jalan buntu. 


Istilah “menulis tanpa beban” memang agak rancu. Beban-beban di luar aktivitas kepenulisan pun sangat berpengaruh. Misalnya, ketika sedang memikirkan ide untuk ditulis atau sedang menulis, tiba-tiba ada gangguan yang membuat saya berhenti. Seperti ocehan istri, tangisan anak, suara token listrik, atau gas dapur tiba-tiba habis. Semua itu bisa menjadi ancaman bagi proses kreatif. Namun, di sisi lain, justru bisa menjadi bahan kreatif itu sendiri. Itu beban eksternal. Ada pula beban internal yang lebih berat: soal eksistensi, pengakuan, bahkan penyakit-penyakit batin seperti iri terhadap teman sesama penulis yang lebih sukses—karyanya dimuat di mana-mana, menang ini dan itu, dapat penghargaan sana-sini. Apakah ini wajar? Mungkin.


Sebagai manusia, krisis eksistensi seperti itu pasti pernah hadir. Saya pribadi pun sering merasa lelah: lelah oleh kerja tubuh, kerja jiwa, dan kerja-kerja lain yang katanya “demi menulis”. Di satu sisi, saya menulis memang untuk urusan duniawi—butuh uang untuk makan. Di sisi lain, saya menemukan titik kehampaan dan kecemasan yang datang begitu saja. Mental seperti diserang dan dipaksa mempertanyakan kembali hal-hal yang sering saya tanyakan sendiri. Pertanyaan-pertanyaan itu sering membuat saya puyeng. Apalagi melihat teman-teman penulis yang melesat jauh, bahkan hampir meraih Nobel. Haha. Entah itu teman siapa. Mereka yang bersinar, tapi kadang saya yang stres. Mungkin ini juga terjadi kepada sebagian kita. Yang pada akhirnya, dari beban menulis ini, sampailah pada pertanyaan yang lebih besar: Siapa “aku” yang menulis?


Puluhan bahkan ratusan kali saya merenungi hal ini: mengapa saya menulis dan mengapa saya tetap menjadi penulis? Padahal saya telah menulis lebih dari 15 buku—empat di antaranya membahas proses kreatif menulis. Tapi pertanyaan “mengapa aku menulis” tak kunjung selesai dijawab. Sekalipun saya telah sedikit banyak belajar filsafat dan tasawuf, mencoba mengikis pengakuan—atau lebih tepatnya: mengubahnya menjadi pengakuan menuju "aku" yang sejati, menuju Tuhan—namun tetap saja, pengakuan duniawi tak bisa dihindari. Saya masih ingin diakui. Perasaan itu kadang muncul tiba-tiba: Ini loh aku. Ini loh jiwaku yang sejati. Padahal sebelumnya sudah diniatkan lillāhi ta‘ālā. Bahkan, saya sering tertipu dengan istilah ”inilah aku yang sejati”. 


Banyak penulis mengalami krisis eksistensi, krisis identitas, krisis batin, dan berbagai krisis lainnya. Kadang tak bisa dijelaskan, apalagi ditemukan jawabannya. Pada akhirnya kita berputar-putar dalam medan makna. Mungkin inilah yang disebut Albert Camus sebagai keabsurdan: kita seperti Sisyphus, terus mendorong batu ke atas hanya untuk menyaksikannya jatuh kembali. Kita tak pernah menemukan titik temu: mengapa kita menulis?


Selama manusia masih bernapas, berpikir, dan berkehendak, kecemasan eksistensial akan selalu ada. Bahkan ketika saya tidak melihat media sosial teman-teman penulis atau tidak bertemu mereka, kegelisahan itu tetap muncul. Saya pernah benar-benar berhenti menulis karena lelah dengan kecemasan-kecemasan yang tak kunjung usai. Tapi pada akhirnya, saya menulis lagi.


Saya tidak bisa tidak gelisah. Tidak bisa diam. Di dalam diri saya seperti ada bank kata, struktur kalimat, tanda baca, dan ide yang saling berkelindan, bahkan suara-suara bising para tetangga. Karena itulah, otak saya seperti benang kusut. Saya perlu merapikannya agar tak bikin mumet. Besoknya, begitu lagi dan lagi. Terus begitu. Untung saya bisa menulis. Jadi, sampah pikiran saya bisa menjadi karya. Bagi Anda yang tak begitu fasih menulis, jangan minder, Anda pun bisa menuangkan pikiran dan gagasan Anda—walau bakal tertatih-tatih secara ejaan, tata bahasa, dan struktur kalimat. Jangan bandingkan Anda dengan saya atau bandingkan esai saya dengan Michel de Montaigne. Intinya, bila saya gelisah tak menentu, kata-kata dalam kepala benar-benar mendesak dan ingin lekas meledak, mau tak mau tulisan akan lahir. Setelah itu, lagi-lagi saya mencari makna. 


Pencarian makna ini bagi saya cukup melelahkan. Sebenarnya konsep tentang makna menulis sudah terhidangkan sebelum saya menjadi penulis—sudah ada esensi sebelum saya bereksistensi. Kadang saya tak pernah puas dengan konsep tentang makna itu. Tubuh saya harus mengalami-menulis dulu, barulah makna yang ada itu sama atau beda. Kadang saya lepaskan seluruh makna orang lain, saya alami dulu kemudian memberi makna—eksistensi mendahului esensi.  Seiring bertambahnya usia, bacaan, dan juga kondisi keuangan, saya menemukan makna lain. Akhirnya, saya selalu merumuskan ulang: Menulis adalah... lalu besoknya, Menulis adalah... dan lusa: Menulis adalah.... Sampai pada satu titik, seperti yang ditulis Maulidan Rahman Siregar di status Facebook-nya bahwa “Menulis adalah anjing!”—serius, saya ngakak. Puncak sebuah pengakuan ternyata cuma satu kata: "anjing!" Haha.


Banyak penulis berbicara tentang pengakuan. Anton Cekhov, misalnya, menulis buku cerita Pengakuan, yang menggambarkan kemunafikan, manipulasi, penjilatan, dan korupsi—cerminan masyarakat yang membusuk menjelang abad ke-20. Chairil Anwar menulis puisi “Aku”: Aku ini binatang jalang. Pengakuan paling jujur. Maulidan Rahman Siregar pun demikian. Bedanya, ia lebih spesifik menyebut jenis binatang: anjing! Puisi Chairil itu begitu mendarah daging dan menjadi identitas dirinya. Pengakuan yang dikenal luas di jagat sastra Indonesia. Siapa tahu kata “anjing”-nya Maulidan juga akan seikonik itu. Mungkin hanya beda nasib saja. Haha.

O, ya, delapan bulan setelah Chairil menulis puisi “Aku” tersebut, tepatnya pada November 1943, ia menulis puisi “Doa”: Tuhanku / Aku hilang bentuk / Remuk. Pengakuan Chairil menjelma sufi. Aku yang awalnya keras, liar, dan melawan dunia, pelan-pelan larut, lebur menuju Tuhan.

Pengakuan seperti ini juga hadir dalam syair Abu Nawas yang terkenal: "I‘tirāf".


Wahai Tuhanku, aku bukanlah ahli surga,

Namun aku tak sanggup masuk neraka Jahanam.

Maka berilah aku taubat dan ampunilah dosaku,

Sungguh, Engkau Maha Pengampun dosa-dosa besar.


Jika pengakuan semacam ini adalah bentuk penghambaan dari aku yang rendah menuju "Aku" Yang Maha Tinggi, maka level itu bisa sampai tingkatan makrifat. Dan tentu saja, prosesnya tidak akan ringan. Tidak santai. Penuh luka, jatuh-bangun, dan keruwetan batin. Sebaliknya, jika pengakuan masih terus berputar di ranah duniawi dan tidak naik level, dampaknya bisa sangat melelahkan. Kita akan terus terjebak dalam lingkaran yang sama. “Aku (Encep Abdullah) penulis” adalah pengakuan ego manusia. Tapi “aku” harus—seperti kata Chairil—hilang bentuk, remuk, agar dapat melebur bersama-Nya.

Chairil sudah tidak lagi menjadi “Aku Chairil”, melainkan “aku” yang larut dalam Tuhanku. Di titik itu, menulis bukan sekadar alat ekspresi, melainkan zikir.


Kiara, 1 Juli 2025


______

Penulis


Encep Abdullah
, penulis yang memaksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai dewan redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak—tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya.


Pengin tahu lebih jauh siapa si Encep, klik GUE KEPO!

This Is The Newest Post