Tuesday, December 7, 2021

Proses Kreatif | Algoritme Penulis Buku, Pedagang Buku, dan Makelar Tanah

 Oleh Encep Abdullah



Seorang penulis mengeluhkan bagaimana cara agar bukunya laris manis tanjung kimpul. Ia merasa sudah sekuat tenaga menulis, tapi hasilnya nol. Namun, banyak darinya tidak dulu berkaca: Siapa aku? Bagaimana karyaku? Okelah karyamu bagus, tapi kalau tak dikenal? Ini persis coretan Sunlie Thomas Alexander di akun FB-nya: “Nampaknya buku sama sekali tak laku bulan ini. Ketokohan memang penting bagi seorang penulis. Bukan hanya kualitas. Sangat penting.” Ini curhatan teman Sunlie dan ia sepakat dengan pendapat kawannya meskipun katanya ia bukan seorang pedagang buku.


Menjadi penulis perlu berkaca diri. Banyak yang merasa bangga diri, tapi sebenarnya itu belum apa-apa. Bahkan mungkin sebuah permulaan. Seperti yang diujarkan Eko Saputra, penulis novel Sialang dan Kubu Terakhir asal Palembang yang kemarin saya tarik sebagai pemantik di komunitas saya. Katanya, ia sangat bangga saat buku pertamanya laku dan banyak pembeli. Ia bereuforia. Merasa bahwa seperti sudah jadi penulis beken. Pada tahun berikutnya ia menulis buku lagi dan berharap minimal persis seperti yang terjadi pada tahun sebelumnya, bahkan yakin bisa jauh meledak karena namanya melambung sebelumnya. Tapi, kenyataannya bernegasi dengan apa yang di dalam kepalanya. Jauh, sangat jauh. Ternyata bukunya minim pembeli, tak ada euforia apa-apa. Dia menyadari ada kekeliruan dalam dirinya: capaian materialistis. Eko mengatakan bahwa ia sudah sangat jauh-jauh hari memikirkan keuntungan itu, namun nasib berkata lain. Tidak seperti buku pertamanya, tanpa memikirkan keuntungan, malah laris.


Nah, bagi saya ini hanya perkara “iman” seorang penulis. Berharap materi sebenarnya tidak ada yang salah. Itu manusiawi dan haknya sebagai penulis yang memang perlu didapat. Namun, keberharapan materi itu ternyata berlebihan. Mengesampingkan esensi utama kerja menulis itu sendiri, yaitu berbagi dan bersilaturahmi kepada pembaca. Ini memang sebuah risiko. Untung-rugi hanyalah gejala hidup yang nasibnya ditentukan oleh hak preogratif Tuhan. 


Saya pun pernah mengalami hal semacam itu. Sebenarnya sudah pernah saya bahas dalam buku proses kreatif saya. Dulu, saya pernah mati-matian menghitung keuntungan buku yang saya cetak sendiri. Sehari-semalam saya hitung sangat rinci. Kalau saya jual segini, untung segini. Buku ini dan itu di kasih ke anu dan anu. Segini buat ini dan itu. Pembelinya ini dan itu. Di kepala saya sudah terkonsep sebuah kamar bernama: keuntungan. Pada suatu hari, seseorang yang saya percaya untuk mencetak buku saya itu malah tak ada komunikasi. Nomornya susah dihubungi. Ia menghilang. Tak ada kabar. Buku saya pun tak jelas keberadaannya. Uang cetak buku saya dibawa kabur. Selang beberapa bulan, seseorang itu mengabari kembali dan memohon maaf. Katanya uang saya waktu itu dipakai buat menutupi kekurangan buku temannya yang dicetak melalui dirinya. Namun, saat itu kepala saya sudah mereda, saya sudah mengikhlaskan semuanya. Saya anggap itu bukan rezeki saya. Saya tidak meminta uang itu kembali, apalagi meminta bukunya jadi. Anggap saja uang itu miliknya.  


Pengalaman ini menjadi pengalaman yang sangat berharga bagi perenungan hidup saya terkait algoritme seorang penulis sekaligus sebagai penjual buku. Sebagai manusia normal, keuntungan materi tetap saya pikirkan, tapi bukan jadi prioritas utama dan segala-galanya (saya terbitkan sendiri loh ya, pakai penerbit sendiri, ber-ISBN). Yang menjadi segala-galanya bagi saya adalah buku itu sampai kepadanya, dibacanya, bahkan sampai diulas di media. Beberapa orang bahkan saya kasih gratis. Tapi, imbasnya lebih dari sekadar mendapatkan materi itu, yakni kepuasan diri, kesenangan diri. Saat ada yang minta dan ingin baca buku saya saja, rasanya sudah senang, apalagi kalau juga membelinya. 


Kalau memang mau jadi penulis serius dan memang pendapatannya semua bersumber dari situ, ya fokus saja jadi penulis. Jadikan itu sebagai lahan materimu. Banyak kok yang semacam itu, senior saya misalnya di Banten, Golagong, ia berhenti kuliah dari Unpad dan memutuskan fokus jadi penulis. Ia tidak seperti saya, penulis yang juga disibukkan dengan kerjaan sekolah, RPP, nilai, dsb. Otak saya terbagi-bagi. Kalaupun saya memutuskan jadi penulis tok dan tidak mengajar, saya tidak sanggup. Justru di sekolah, selain mengajar, saya juga bisa mengembangkan hobi saya dan menyalurkannya kepada anak-anak. Dan itu sudah jadi skenario Tuhan. Dari sana saya ajak anak-anak untuk membaca, menulis, membuat buku, mengirimkannya ke media. Tetap saja larinya akan ke sana, menjadi diri saya sebagai penulis. Mengajar adalah bagian dari pengembangan passion saya itu. Kalau saya memutuskan hijrah profesi, siapa anak-anak (selain anak saya) yang harus saya ajak "bermain" baca dan tulis. Saya belum tentu bisa jadi duta baca nasional atau seseorang yang mungkin bisa memengaruhi banyak orang di luar sana. Kapasitas saya mungkin disuruh di ruang sekolah, mengembangkan kepenulisannya di sana. Adapun yang datang lewat jalan lain, itu plus-plusnya, misal diundang seminar atau jadi pembicara atau jadi juri, atau hal-hal lain yang bersingguhan dengan akibat dari kerja proses kreatif  menulis itu.


Belum lagi masalah penjualan buku. Bila kembali kepada pernyataan kawan Sunlie, kita kembalikan lagi kepada diri kita sebagai penulis. Seberapa jauh nama kita dikenal publik (ini di luar kapasitas karya apa yang dihasilkan ya), seberapa banyak teman di media sosial dan dunia nyata, seberapa sering kita diundang ke luar menjadi pembicara kepenulisan, seberapa banyak yang melirik postingan di media sosial kita, semenarik apa promosi buku kita kepada publik, sudah adakah tim khusus terkait itu. Nah, semua ini akan jadi acuan algoritme kerja penulis dan juga penjualan karyanya itu. Dan, setiap penulis punya cara kerja masing-masing. 


Poin-poin di atas itu bagian dari simpulan beberapa pendapat yang ada di sebuah grup sastra di WA yang mulanya dilemparkan oleh Aveus Har. Pada akhirnya beberapa penulis memberikan masukan dan solusi terkait algoritme itu. Terutama terkait promosi. Pringadi Abdi memberikan sebuah pendapat, seharusnya dalam sebuah grup penulis, ada elaborasi untuk saling bantu. Misal, ketika penulis menerbitkan buku dan diunggah di medsos, dalam 30 menit pertama, mengikuti algoritme, minimal bisa bantu like dan komentar biar jangkauannya meluas, soal beli/tidak itu belakangan. Saya sangat sepakat dengan ini. Seharusnya memang sebuah grup yang isinya penulis semua, bisa saling bantu semacam itu. Namun, perlu ada regulasi, bagaimana cara kerjanya, bahkan sanksinya. Bila satu orang kawan bikin buku, kalau keberatan membeli, ya bantu like dan menyebarkan ke media sosial saja kan tidak ada ruginya sama sekali. Namun, semua harus berlaku dari satu penulis ke penulis lain. Ini bisa memicu semangat lahirnya sebuah karena ada tim kerja penyebaran itu. 


Hal ini dikerjakan karena sebagian penerbit besar pun tak mau lelah mempromosikan buku. Mereka malah menyerahkan sepenuhnya kepada penulis masalah penjualan. Padahal, penulis inginnya ya menulis saja tidak mau direpotkan dengan urusan penjualan dan promosi macam itu. Itu juga terjadi dengan rekan saya, Niduparas Erlang, ia tidak mau pusing soal penjualan. Yang terpenting adalah pengaruh dari bukunya kepada setiap pembacanya. Bahkan ia nyari asisten khusus penjualan hingga teknis pemaketan pengiriman bukunya. Ia penulis hebat, tapi ia tidak kaya materi. Ia tinggal di sebuah kontrakan kecil yang hanya bisa buat tidur seorang diri. Berkaca darinya, menyoal materi mengikuti kualitas karyanya. Karya yang bagus akan punya jodohnya, setiap bukunya selalu mendapatkan penghargaan, terakhir Pemenang Kategori Prosa (Novel) Kusala Sastra Khatulistiwa 2020.


Menambahi itu, sedikit saya uraikan paparan Mas Eko Rudi di grup WA: Kekurangan sastra Indonesia adalah tidak punya (sedikit) agensi seperti yang terjadi di Barat. Industri sastra di Indonesia hanya berhenti pada penerbitan. Setelah itu, maaf, pemasaran hanya formalitas. Ironisnya penulis merangkap penjual buku. Beda dengan Barat, mereka punya agensi sastra. Misalnya, terlepas dari genre dan kualitas. Ada JK Rowling, Stephen King, JRR Tolkien, James Joyce, Samuel Beckett, Gabril Garcia Marquez, Murakami (Jepang saya anggap Barat), dll. Penulis-penulis ini punya pasar dan ekosistem yang jelas karena peran agensi. Jadi, penulis hanya bertugas menulis karya: tidak terbebani urusan jual-beli buku. Sebab urusan jual-beli buku dll. sudah dikendalikan oleh agensi, ya semacam manajer grup band. Di Indonesia pernah ada (semacam) agensi sastra, ketika Joesoef Isak “menjual” karya Pramoedya Ananta Toer di era Hasta Mitra. Selain itu, agensi sastra di Barat juga berpotensi “mengendalikan” lalu lintas wacana dalam kritik sastra. Ini poin pentingnya, sebab tanpa kritik dan ulasan, karya sastra cuma sekadar bungkus nasi kucing.


Kembali menyoal materi, saya kembali lagi kepada Pringadi: memanfaatkan promosi di media sosial perlu membuat resensi yang menarik agar orang lain tertarik. Ini butuh keahlian marketing juga sebenarnya. Penulis yang juga sibuk menjadi penjual sebenarnya sedang belajar dagang layaknya pedagang produk makanan. Semakin menarik kemasan, orang tidak akan melihat isi dulu (meski isi harus juga dipertimbangkan penulis), tapi melihat bentuk, pakaian, bungkus. Namanya marketing, tentu kerjanya harus begini.


Selain pintar promosi, kemampuan mengelola website juga perlu diperhatikan. Seperti yang disampaikan Dedy Tri Riyadi, karya-karya yang sudah habis kontrak di penerbit misalnya, dialihwahanakan jadi cerbung di website tertentu misalnya website “Sastra Lintas Kota” macam begitu. Bisa juga dipublikasikan ke website Kumparan atau Kompasiana. Dedy Triadi juga bilang bahwa ia sedang mengupayakan satu website supaya menjadi mitra dari agensi semacam itu. Kalau berhasil, nanti dikasih tahu caranya. Info dari 60 penulis di jaringan itu, paling sedikit bisa mendapatkan 15 juta sebulan. Wow, fantastis!


Penulis tidak melulu mikirin tulisannya jadi buku. Tapi, juga harus mengikuti perkembangannya dalam dunia digital. Melek digital. Pundi-pundi uang di sana menanti. Kerja semacam ini wajib dilakukan bagi yang mau mencari finansial. Terutama para penulis yang jarang mendapat kesempatan menjadi pembicara karena tidak pandai bicara dalam forum. Tidak dapat kesempatan jadi juri karena tidak punya relasi. Karena sebagian besar penulis, mereka mendapatkan materi selain dari menulis ya dengan undangan-undangan di luar itu. Bahkan ada kawan saya dari Riau, Asqalani eNeSTe, yang sempat vakum menulis karena terlena menjadi tutor menulis yang membuat dompetnya nyaman. Lama-lama ia bosan. Ia menjadikan orang lain hebat, tapi dirinya berhenti menjadi hebat dan selesai pada titik itu. Ia pun sadar, ia bisa sampai pada titik itu justru karena karyanya. Kalau ia berhenti berkarya, apa guna semua itu. Nah, sampai di sini saya limbung lagi. Asqalani sudah diberikan kesejahteraan loh, banyak uang loh. Tapi, kok masih tertekan juga karena alasan ia jadi vakum menulis karena kesibukannya itu. Baginya, justru dengan berkarya itulah ia terus hidup dengan dirinya, jiwanya.


Mengakhiri tulisan ini, saya kembalikan lagi kepada Anda sebagai penulis. Untuk apa Anda menulis? Apa yang mau Anda capai dari menulis? Tentu capaian itu perlu diiringi dengan algoritme yang sesuai dengannya, bahkan harus dipaksa membuat sendiri algoritme itu. Terutama terkait penjualan buku dan kesejahteraan di dalamnya. Meskipun saya sadari setiap penulis punya jalan masing-masing, nasib masing-masing. 


Di akhir sebuah diskusi dalam grup WA itu, Wina Bojonegoro menulis: Btw mau cerita. Bicara duit ternyata penghasilan di luar sastra menggiurkan. Saya tinggal di Omah Padma, Dusun Semambung Purwodadi Pasuruan. Banyak tetangga titip jual tanah ke teman-teman saya. Walhasil saya dikenal sebagai makelar tanah. Hahaha. Honor nulis satu cerpen belum tentu sebulan ada kan? Jual tanah saja. Hahaha. Emang sastra nggak bisa jadi tempat cari uang, tapi jadikan idealisme di pikiran kita. 


Hidup makelar tanah! Gokil.



Pipitan, 7 Des 2021




___


Penulis

Encep Abdullah, penulis yang maksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai Dewan Redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak, tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya. Tak menutup kemungkinan, ia juga menerima curhatan penulis yang batinnya tersiksa untuk dimuat di kolom ini.









Kirim naskahmu ke

redaksingewiyak@gmail.com

1 comments