Esai Nurhadi
Saya beruntung sekaligus segan ketika diminta—Sulaiman Djaya, salah satu penyair nasional di Banten yang terkenal—untuk mewawancarai Liem Oei Ping tentang isu-isu Sosial, Budaya, dan Ekonomi di Banten secara langsung di kediamannya, tepatnya di Toko Krakatau Royal Serang di lantai 4. Tentu, Saya merasa segan karena ini bukan tugas yang mudah sebagai penikmat sastra, lain halnya dengan Sulaiman Djaya yang telah mulung-malang-melintang dalam kesusastraan dan kebudayaan. Walau begitu saya merasa beruntung karena telah dipercaya untuk terlibat dalam kepentingan agendanya tersebut.
Liem Oei Ping atau biasa disapa Pak Wping adalah sosok pengusaha Tionghoa tangguh yang lahir pada 1941 di Buol, Sulawesi Tengah—Pak Wiping juga sangat menyukai seni, seperti puisi dan lukisan, hal itu terpampang di ruangan kerjanya di lantai 4, di mana karya-karya seni menghiasi kami saat proses wawancara. Beliau tiba di Serang sekitar era 1960-an dengan bekal prinsip hidup yang dipegangnya sampai hari ini, yaitu berusaha dengan tekun dan halal untuk keluarga. Prinsip itu dituangkan dalam puisinya, yang secara bersamaan karya tersebut dibacakan dengan syahdu oleh penyair kita, Sulaiman Djaya, judulnya ‘Hutang dan Aib’:
“Berusaha tekun dan halal
adalah ibadah
adalah pengabdian
pada kehidupan
pada kematian.
Di saat masih hidup
bisa sejahterakan keluarga
di saat sudah wafat
tidak meninggalkan hutang
dan aib keluarga.”
Puisi di atas menurut saya adalah silogisme Pak Wiping, sekaligus rumus hidup yang menegur kepada kita semua bahwa, kerja-kerja yang seharusnya dilakukan itu bukan saja mengenai soal kerja keras, melainkan juga kerja halal. Kerja halal yang dimaksud adalah kerja yang selaras dengan apa yang diajarkan oleh Tuhan. Terutama dalam ruang lingkup di kehidupan kita di Serang ini yang masih memegang teguh nilai dan moral kebudayaan dan agama. Setelah kerja halal terpenuhi maka keluarga akan bahagia, sejahtera, dan tidak akan menanggung malu di kemudian hari.
Serang dalam Memoar Liem Oei Ping
Percaturan waktu yang membentuk Liem Oei Ping atau Pak Wiping sampai saat ini bukanlah isapan jempol, melainkan perjuangan yang penuh perhitungan dan langkah strategis yang telah dibuktikan. Meski bisa dibilang beliau dari keluarga yang berkecukupan untuk makan sehari-hari pada saat itu, namun mental untuk terus tumbuh telah membawanya sampai saat ini. Dan bagaimana pergaulannya dengan masyarakat Serang saat itu adalah langkah yang tidak dapat diambil secara gegabah.
Hal yang dapat kita lihat dengan jelas bahwa beliau merupakan keturunan Tionghoa. Tentu memiliki paradigma atau cara pandang yang berbeda dengan masyarakat Serang pada umumnya. Di Serang mayoritas masyarakatnya adalah religius karena pengaruh para ulama dan kiai yang telah membentuk kebiasaan sosial. Maka Pak Wiping dengan kesederhanaannya secara terbuka untuk belajar dan beradaptasi dengan pendekatan dialog dengan para petani, pedagang, dan juga tokoh masyarakat.
Kemudian Pak Wiping juga membuka lahan pertanian yang dapat dikelola oleh masyarakat dengan sistem bagi hasil. Lahan tersebut juga beriringan dengan Rumah Hutan Cidampit miliknya di Kecamatan Taktakan, Kota Serang—yang dapat digunakan sebagai rekreasi masyarakat, agenda sosial maupun kebudayaan, atau tempat bercengkerama beliau di kala senggang. Selanjutnya, Pak Wiping menyukai seni dan sangat menghargainya. Salah satu seni yang bisa saya saksikan saat itu adalah seni lukis. Lukisan itu seolah berbicara mengenai Pak Wiping. Ia adalah almarhum Bukhari, seniman lukis yang menjadi andalan Pak Wiping pada saat itu.
Ekonomi dan Kesejahteraan Liem Oei Ping
Ada salah satu pertanyaan yang mengganjal di benak saya adalah bagaimana proses Liem Oei Ping atau Pak Wiping dalam perjalannya sebagai pengusaha dan apa ide yang ditawarkan dalam menyikapi perekonomian di Banten, utamanya di Serang agar lebih maju. Barangkali itu yang dapat saya ketahui secara umum bagaimana orang Tionghoa berbisnis, khususnya Pak Wiping untuk memberi ramuannya.
Tutur beliau bahwa Banten memiliki potensi alam yang sangat kaya untuk sebuah kesejahteraan bagi penduduknya. Namun prinsip hidup sering kali menjadi problematik dalam merealisasikan itu. Maka beliau mencoba menginterupsi kebiasaan masyarakat kita agar lebih proporsional antara beragama dan berbisnis. Beliau tidak menampik bahwa beragama adalah jalan untuk kebaikan, namun itu harus menjadi penghubung bagi kesejahteraan yang lebih kompleks. Dengan kata lain, bahwa kita harus memikirkan bagaimana hidup dan warisan untuk anak cucu kita kelak, yaitu dengan bekerja secara halal. Karena sesungguhnya dalam agama pun kita diwajibkan untuk bertanggung jawab kepada diri sendiri dan keluarga mengenai kebutuhan hidup.
Kemudian beliau menjelaskan lebih spesifik mengenai pemanfaatan sumber daya alam tadi, yaitu dengan membangun rumah atau tempat tinggal di kebun-kebun agar para petani lebih dekat dengan alamnya. Pak Wiping melihat banyak masyarakat yang memiliki potensi tersebut justru menjauh sehingga hasilnya kurang maksimal. Maka dia menyarankan untuk mereka yang memiliki pengetahuan dan potensi di wilayahnya agar menggarap lahan untuk diambil hasilnya dan untuk kebutuhan hidup serta mencapai kesejahteraan di Banten yang notabenenya adalah wilayah agraris. Lalu diikuti dengan program pemerintah yang memudahkan para petani untuk mengolah lahannya yang kompleks itu.
_______
Penulis
Nurhadi, tulisan-tulisannya pernah dimuat di koran harian Kabar Banten dan Majalah Sastra Kandaga Provinsi Banten.