Esai Ita Puspita Sari
Melihat perkembangan sastra Arab di era modern ini, tentu tidak lepas dari tumbuh mekarnya sejarah penyair Arab terdahulu. Seperti puisi-puisi Nizar Qabbani dan Khalil Gibran, yang karyanya masih populer dan banyak diminati oleh pembaca hingga sekarang. Mempelajari sastra Arab sendiri menjadi kegiatan menarik dan menantang. Akan tetapi, puisi Arab dilihat dari segi perspektifnya memang tidak jauh berbeda dengan puisi bahasa Indonesia umumnya, tidak lain untuk mengolah bahasa yang indah sehingga dapat memberi makna serta kepuasan terhadap penulis dan pembaca itu sendiri.
Namun, dalam mempelajari sastra Arab, berbagai macam mufradat perlu untuk dikuasai, terutama kita juga harus belajar nahwu sharaf agar bisa menyusun kalimat dengan baik. Jika kalimat yang disusun tidak sempurna, maka akan merusak pencapaian keindahan bahasanya.
Selain itu, penting juga untuk mempelajari Ilmu balaghah guna untuk merangkai keindahan bahasa sehingga dapat melahirkan makna yang agung dan jelas. Sebagaimana halnya menulis puisi bahasa Indonesia, tentu tidak menyimpang dari keindahan bahasa dan pengimajinasian yang kuat. Di dalam puisi Arab, hal itu dikenal dengan ilmu balaghah. Dalam buku Terjemahan Al-Balaaghatul Waadhihah karangan Ali Al-Jarim & Musthafa Amin, dijelaskan bahwa perbedaan antara ahli balaghah dan ahli lukis terletak pada bidang garapannya saja. Ahli balaghah mengolah kalimat dan pembicaraan untuk diperdengarkan, sedangkan ahli lukis mengolah warna dan bentuk untuk diperlihatkan.
Selanjutnya ada ilmu ‘arudh wal qawafiy. Hal ini juga sangat penting dikuasai untuk tahap penulisan puisi Arab. Bagi saya, belajar ilmu ‘arudh termasuk asyik, karena ada banyak skema untuk menganilisis proses penyusunan syi’ir Arab. Seperti halnya mengetahui macam-macam bahar, lalu macam-macam zihaf atau illah. Dan masih ada banyak lagi pembagian-pembagian lainnya dalam ilmu ‘arudh untuk mengenali bentuk syi’ir tersebut. Dr. Fadlil Munawwar Manshur, M.S. dalam bukunya, Perkembangan Sastra Arab dan Teori Sastra Islam menyatakan, formula dalam puisi Arab dapat dilihat pada penggunaan satu metrum dan satu rima. Hal ini menjadi bukti yang jelas betapa penting pola bunyi dalam puisi Arab. Ini termasuk pada ilmu ‘arudh.
Perlu diketahui, bahwa pada masa Nabi Muhammad saw., para penyair mengolah puisinya untuk membela agama Islam. Beberapa tokoh di antaranya ialah Hasan bin Tsabit, Ka’ab bin Malik, Abdullah bin Rawahah dan Ka’ab bin Zuhair. Bahkan Rasulullah sempat berkata kepada Hasan bin Tsabit, “Wahai Hasan, sungguh Jibril akan senantiasa mendukung engkau selama engkau meruntuhkan semangat kaum musyrikin itu dengan puisi-puisimu dalam membela Allah dan Rasul-Nya.” Hal ini juga sebagai bentuk dorongan Rasulullah terhadap kita sebagai umat-Nya untuk mengembangkan satra Arab, sehingga dari puisi yang kita tulis dapat menebarkan kebaikan terhadap orang lain dan sebagai penguat agama Islam. Bahkan perlawanan terhadap kaum musyrikin tidak hanya dilakukan dengan peperangan fisik semata, melainkan juga dengan bahasa.
Setelah berdirinya agama Islam, penyair-penyair terdahulu tentu tidak hanya menciptakan puisi tentang perlawanan, melainkan sastra Arab memiliki perkembangan bagus dengan Al-Qur'an sebagai fondasi utamanya. Akhirnya banyak bermunculan puisi-puisi baru, seperti puisi cinta. Ini merupakan tema puisi yang banyak diminati bagi pemuda utamanya hingga saat ini. Karena kepekaan terhadap jiwa perasaan menjadi mudah dalam merangkai bahasa yang indah, dan bagi pemuda utamanya, hal ini menjadi sensitivitas yang tinggi dan liar bagi pengimajinasiannya.
Kita ambil salah satu contoh terjemahan dari puisi Arab karya Nizar Qabbani berikut:
Aku tidak suka bercinta dan menulis puisi
seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang
aku ingin mulutku menjadi gereja
dan kata-kataku menjadi loncengnya.
Empat larik puisi tersebut, menurut saya, memiliki makna yang sangat mendalam, juga memiliki diksi yang sangat bagus. Tentunya, ada banyak sudut pandang dari pembaca dalam memaknai puisi di atas. Dalam hal ini, penulis begitu mengagungkan bahasanya sehingga menggunakan metafora yang begitu dahsyat di larik ketiga–keempat.
Setelah mengetahui keunikan-keunikan belajar puisi Arab, semoga minat baca tulis yang minim terutama di dalam lingkungan pemuda pelajar semakin meningkat. Karena siapa lagi yang akan mengembangkan sastra Arab jika bukan kita? Di mana kita sudah mengetahui bahwa itu adalah bahasa Al-Qur’an, bahasa Allah swt. Maka hiaslah dunia dan agama dengan keindahan bahasanya, yaitu dengan menanam benih-benih sastra Arab sebagai ilmu pengetahuan di lingkungan kita.
_____
Penulis
Ita Puspita Sari, lahir di Sumenep, 1 Januari 2002. Saat ini, ia berstatus sebagai seorang mahasiswi Bahasa dan Sastra Arab di IAIN Jember. Selain itu, ia juga bergiat aktif sebagai petani KALENTENG (Kompolan Kesenian Lenteng).
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com