Resensi Khairul Anwar
Judul Buku: Suluh
Literasi
Penulis:
Ray Ammanda
Penerbit: #Komentar
Tahun Terbit: Januari 2022
Tebal:
107 halaman
Tempo lalu, tepatnya pada Jumat 24 Desember 2021, akhirnya saya dapat meminang buku Suluh Literasi, kumpulan esai karya Ray Ammanda—yang merupakan salah satu rekan SMA dulu. Pria yang merupakan kader PMII ini—menurut saya—termasuk penulis produktif di era digitalisasi kini. Meski terbilang pemula, namun tulisan-tulisannya sudah beredar di pelbagai media lokal maupun nasional. Ia yang saya kenal sangat cepat merespons berbagai isu yang sedang berkembang dengan perspektifnya. Pemahaman khazanah dan referensinya yang luas membuat tulisan-tulisannya selalu bernas dan menyegarkan intelektualitas.
Terus
terang, kesan pertama setelah membaca buku ini, menggelitik. Sangat memancing
saya untuk berkaca dengan kondisi real yang ada di sekitar kita. Bahkan, saya
hanya butuh waktu semalam untuk melahap bukunya.
Secara
substansi, buku ini terdiri dari sepuluh esai dengan tema yang sangat beragam.
Di antaranya tentang edukasi atau pendidikan, kebudayaan, lingkungan,
globalisasi, serta penulis menjabarkan pelajaran-pelajaran soal menulis dan
membaca. Tentu dikemas secara kritis, menggelitik dan satire.
Sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari karena di beberapa bagian saya
memperoleh banyak hal untuk direnungi, dipelajari.
Seperti
yang disampaikan Musahwi (Dosen Sosiologi IAIN Syekh Nurjati
Cirebon) dalam pengantar buku ini, bahwa kumpulan esai ini merupakan
bagian kecil dari usaha untuk menguatkan literasi generasi muda. Karena menurut
data yang ada—yang kita sering lihat—bahwa tingkat literasi atau minat baca
kita berada pada urutan 62 dari 70 negara. Maka melalui buku ini, kata
Mushali—Ray ingin berkontribusi menjadi subjek perubahan bagi generasi muda
melalui pengetahuan literasi, dipahami dalam ruang lingkup yang luas—mengajak
untuk menulis dan berpengetahuan literer.
Bagian
pertama: "Mengeja Abjad dan Membaca Kebudayaan". Pada bagian
ini, Ray menjelaskan bahwa seiring laju perubahan, kemudahan untuk mendapatkan
informasi sudah sedemikian mudah kita peroleh melalui genggaman tangan. Namun
ironisnya, cepatnya persebaran informasi sendiri malah menjadi gelegar petir
kekhawatiran.
Hujan
deras kata—hoaks, kebencian, dan permusuhan secara terang-terangan tersebar
dibalik layar. Karenanya, kita perlu memastikan media sosial senantiasa digunakan
ke arah manfaat dan bukannya kemudaratan. (Hlm. 2)
Saya
menangkap maksud tulisan pada bagian ini, bahwa media sosial tidak hanya
berfungsi sebagai sarana komunikasi, namun telah bertransformasi menjadi gaya
hidup yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia. Singkatnya, kita
harus menggunakan media sosial secara bijak.
Pada
bagian tertentu, Ray juga mengulas pengalaman tentang bagaimana pentingnya
mengakrabi dunia membaca. Karena sewaktu masa-masa sekolah dulu, ia cenderung
antipati terhadap membaca. Dunia membaca dianggap sebagai sesuatu yang
membosankan, bahkan tidak penting. Melalui kegelisahan itu pula, ia keluar dari
zona nyaman dan memutuskan untuk mau berkencan dan jatuh cinta dengan dengan
buku.
Puji
syukur setelah lulus SMA saya langsung berkesempatan merasakan gegap gempita
dunia kampus. Beragam persentuhan lintas pergaulan, pemikiran, dan
keorganisasian di kampus akhirnya mempengaruhi perkembangan belajar saya. Saya
merasa dibentuk menjadi pribadi yang terbuka, tidak gampang puas terhadap suatu
pencapaian, dan tidak gampang menyerah menghadapi suatu persoalan. Semangat
dalam belajar tidak boleh padam dan harus senantiasa ditumbuhkan. (halaman. 8)
Dalam
bab "Menumbuhkembangkan Spirit Menulis", Ray menyebut bahwa
tidak sedikit penulis pemula yang terjebak. Semacam dihadapkan kebingungan
bagaimana menentukan kepantasan dan sistematika dalam menulis.
Dalam
bab ini, pembaca bakal memperoleh tips dan trik untuk
menjawab persoalan di atas. Tapi, Ray tak tampak seperti menggurui atau
orang tua yang merasa setiap perkataannya mesti dipatuhi. Sebagaimana seorang
penunjuk, ia cuma memberikan petunjuk-petunjuk (memberikan Suluh literasi).
Urusan mengamalkan atau tidak berada di tangan pembaca. Karena pada dasarnya,
penulis hebat juga manusia biasa seperti kita. Mereka menulis bagus bukan
tersebab wangsit atau mukjizat. Yang membedakan hanya ketekunan dan kerja keras
dalam belajar.
Sebelum
seseorang mengenal Medan juang dunia literasi, dia harus diprasyarati warak
keteguhan melawan malas. Sebisa mungkin meluangkan waktunya, maksimal merenung
dan menjernihkan pandangannya. Yang paling elementer adalah dia bisa
menjatuhkan kemesraan dan cintanya. (Hlm. 16)
Kemudian,
jika ditanya satu esai favorit dalam buku ini saya sematkan pada bagian bab "Suluh
Literasi dari Serang Utara". Pada bagian ini, Ray mengekspresikan
stigma buruk yang masih melekat tentang daerah Pontang yang dijuluki daerah
"kali asin" dan "toilet ngapung" yang berjejer di pinggir
kali.
Padahal,
kata Ray—dalam buku ini—Pontang yang tak jauh dari Tirtayasa yang merupakan
tempat Syekh Nawawi al-Bantani belajar menulis. Maka dengan segala upaya atau
sebuah tawaran ide dari penulis—yang merupakan penduduk asli Pontang—untuk
menjawab stereotipe persoalan daerahnya yang dianggap skeptis oleh
masyarakat kota.
Dengan
wadah yang bernama #Komentar (Komunitas Menulis Pontang-Tirtayasa) yang
dinakhodai oleh Encep Abdullah, Ray beserta koleganya bersemboyan untuk
membangun paradigma secara optimis bahwa benih-benih yang ditanam melalui
literasi dengan semangat pembaharuan. Artinya sederhana bahwa dengan kehadiran #Komentar mampu berkontribusi terhadap tantangan zaman.
Perlu
diketahui, pada esai bagian ini juga pernah ia perlombakan dan mendapat juara 3
dalam perlombaan esai yang diadakan oleh Perpustakaan Daerah dan Kearsipan (DPK) Banten. Tak heran jika tulisan ini sangat bagus dengan nuansa
menggelitik yang penuh dengan formulasi yang bermakna.
Dalam buku ini, Ray juga memberi penghormatan pada Encep Abdullah, sosok penulis, mentor, sekaligus pendiri #Komentar—yang telah memberi banyak pengaruh pada karyanya. Bermodal iman terhadap ucapan Encep "membaca itu tak harus berkomunitas dan tak harus disuruh, idealnya ia ada di lubuk hati setiap manusia", Ray mengajak dirinya sendiri dan pembaca untuk terus mempelajari, memahami, kemudian menekuni keterampilan budaya literasi.
Kemudian,
masih banyak bab-bab esai lain yang tak kalah menariknya untuk
kalian baca dari buku ini. Saya menggambarkan bahwa Ray tengah menumpahkan
kegelisahan hatinya, Suluh Literasi ini seolah menjadi sebuah narasi zaman yang
dapat kekal disaksikan.
Sedikit
cela soal buku ini adalah susunannya yang berdasar waktu sehingga membuat tema
tulisan seperti loncat-loncat. Memang itu bisa dipahami karena buku ini
hanyalah kumpulan esai, bukan buku utuh yang membahas satu tema khusus. Pembaca
yang mengharapkan keruntunan pembahasan barangkali akan sedikit terganggu.
Overall, buku ini benar-benar sebuah bacaan
yang sangat saya rekomendasikan untuk kamu yang mencari bacaan ringan tentang
kondisi sosial masyarakat. Tiap tulisan mempunyai pesan tersirat dan tersurat. Selain
harganya pas di kantong pembaca, buku ini juga sangat cocok khususnya bagi
kalian yang gemar membaca. Sehingga tidak salah jika kita ikut andil dalam
jihad di dunia global ini. Tentu bukan untuk berperang melainkan untuk
memperkaya dengan khazanah keilmuan dan melek teknologi.
Selamat
menikmati buku karya Ray Ammanda dengan penuh kegembiraan dan keceriaan. Bila
perlu sambil seruput kopi jahe dan hidangan pisang goreng supaya lebih
paripurna.
O, iya,
jika ingin meminang karyanya, silakan hubungi penulis atau penerbit dengan
mahar 40k.
Penulis
Khairul Anwar, penulis dan mahasiswa Universitas Serang Raya (Unsera).
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com