Friday, September 9, 2022

Cerpen A. Djoyo Mulyono | Pangracutan

Cerpen A. Djoyo Mulyono



Kakek duduk menghadap ke arah timur. Dengan posisi tersender, dia meluruskan kakinya yang sedang berusaha menikmati angin segar, serta mencoba untuk keluar dari dalam rumah meskipun sejenak. Karena memang sebelumnya, Kakek telah banyak menghabiskan waktu di kamar atau di ruang tamunya dan susah untuk bisa keluar dengan kondisi tubuh yang tidak memungkinkan.


“Ya sudah, terima kasih Ling,” ucap Kakek setelah dibantunya jalan dari kamar ke halaman belakang rumah dan duduk.


“Iyah Kek, sama-sama,” ujar Aling sambil meletakkan gelas stainles besar di samping kursi rotannya. “Nanti kalau butuh sesuatu tinggal teriak saja yah Kek, aku gak jauh.”


“Baiklah Ling, terima kasih,” jawab Kakek sambil membetulkan posisi duduknya.


Mug besar berisi air hangat lengkap dengan peralatan lainnya yang biasa dibutuhkan pun sudah tersedia dekat di sampingnya. Disediakan oleh Aling.


***


Aling adalah seorang tamu yang sedang tinggal di rumah Kakek untuk sekadar mencari suasana baru dari tempat tinggalnya di rumah. Sudah terhitung tiga tahun Aling tinggal di rumah keluarga besar Kakek, sebagai muridnya dalam bimbingan agama. 


Dan tentu merasa tinggal di rumah orang, Aling bersikap sebagaimana harusnya seorang tamu. Membantu Kakek dan seluruh keluarganya di saat ada kerjaan apa pun. Dengan ringan tangan Aling sangat senang hati menjalankanny. Dengan pengabdian yang tulus serta dedikasi kepada Kakek yang harus dibantu di kala ia membutuhkan.


Kini Kakek sudah genap dua tahun sakit-sakitan. Apalagi setelah terdengar bahwa ia memiliki penyakit komplikasi dalam tubuhnya, seperti sakit paru-paru dan jantung yang bisa kapan pun kambuh bila tidak pandai-pandai mengontrolnya. 


Itulah Aling, dengan riwayatnya sebagai seorang pendatang di rumah keluarga besar Kakek yang sekarang mengidap penyakit komplikasi.


***


Masih dengan duduk santai di kursi rotannya, Kakek terkadang bisa sampai tertidur karena menikmati suasana luar untuk sejenak menghilangkan kejenuhan di dalam rumah. Namun dari pintu belakang rumah itu, Aeni seorang anak perempuan satu-satunya sang Kakek menyaksikan ayahnya yang sedang terbangun dan tidak menyenderkan tubuhnya. 


“Aneh sekali Ayah, sedang apakah dirinya melakukan hal itu?” tanyanya dalam hati sambil memicingkan matanya untuk meyakinkan.


Bibirnya terlihat mengucapkan sesuatu dengan  cukup lama. Mulutnya menganga sejenak dan terus melakukannya berulang-ulang. Sesekali juga divariasi seperti meniup-niupkan ke berbagai arah. Tentu hal itu menjadikan anaknya, Aeni, yang menyaksikan keheranan.


Ibu lima anak itu memperhatikannya dengan teliti dan hati-hati. Jangan sampai ayahnya mengetahui kehadirannya yang sedang ada di tempat. Sambil tetap berpura-pura mencuci piring di tempat cucian yang sengaja dibuatkan, Aeni memutar-mutar setiap piringnya untuk dioles dengan pembersih piring berwarna hijau dan terus berusaha curi-curi pandang memperhatikan ayahnya yang sedang duduk di kursi rotan itu.


Setelah melihat ayahnya yang aneh, entah kenapa dia jadi teringat ucapannya ketika selesai kambuh dari sakitnya dulu. Ia ingat jelas perkataan yang pernah diucapkan dengan nada berat itu, ayahnya mengatakan; “Jangan sering-sering ribut terus Nok, apalagi ributnya dilatarbelakangi karena kalian mulai membenci Ayah,” ucapnya di atas ranjang.


“Yah memang kenyataanya seperti itu!” jawab Aeni ketus.


“Kau tahu, bila anak-anakku mulai membenci Ayah, kawan dan guru Ayah terus mendatangi Ayah untuk mengajaknya pulang.”


Itulah ucapan yang seketika menyadarkan Aeni setelah menyaksikan ayahnya yang berlaku aneh hari itu. Dia khawatir akan terjadi apa-apa dengan ayahnya. Dia beranggapan bahwa ayahnya sedang berkomunikasi dengan gurunya yang tidak terlihat. Tapi, mungkinkah begitu? Sedangkan batinnya sangat yakin, bahwa hal gaib bukan lagi perkara tabu di keluarganya.


***


Langit sore mulai nampak melukiskan warna jingganya. Semburat panas yang tak merata itu memancar ke berbagai arah sehingga pohon-pohon yang tinggi menciptakan siluetnya bila terkena cahaya langit pukul empat sore.


Bakda asar setelah tadi pagi Kakek duduk di belakang rumah menikmati alam sekitar dengan dibantu jalan oleh Aling, kini dia sudah berada di ruang tamunya dengan keadaan yang berbeda, berbaring dan kambuh lagi. 


Orang-orang juga mulai berdatangan melihat apa yang telah terjadi di rumah Kakek. Sesekali anggota keluarganya hilir mudik mengambil keperluan Kakek, ada juga yang sibuk menghubungi keluarga lainnya untuk segera ke rumah karena ayahnya sedang kambuh lagi.


Banyak tetangga yang berdatangan untuk turut membantunya. Ada juga yang hanya sekadar menyaksikan lantaran memang tidak tahu harus berbuat apa untuk membantunya.


Selain anak dan cucunya, orang yang dekat di samping Kakek pada saat itu hanyalah Aling. Sampai terkadang untuk membantunya buang air kecil dengan menggunakan urinal mini pun Kakek tidak mau bilamana tau kalau ternyata yang membantunya itu anaknya, dia menolak dan lebih memilih Aling untuk membantunya.


Kemudian kedua tangan Kakek ditaruhkan di atas dadanya, persis seperti waktu salat. Menutup ke semua lubang, kaki diluruskan, dan tumit dirapatkan beserta ibu jari kakinya, dan diam sambil bibir terus mengucapkan rapalan-rapalan khusus yang tidak bisa didengar orang lain. dan itu semua bukan karena bantuan dari Aling, apalagi anaknya. tapi kuasa Kakek sendiri yang melakukan. 


Untuk beberapa saat kemudian kakek pergi dengan tidak sampai hanya tiga tarikan napas terakhir, untuk mangkat melanjutkan perjalanan ke alam selanjutnya. Pada saat itu Mudin, anak bungsunya yang banyak mewarisi sifat dan perlakuan ayahnya menyadari kalau perlakuan ayahnya itu merupakan laku pangracutan yang pernah dijelaskan oleh ayahnya. 


Mudin seperti sudah mengetahui bahwa ayahnya telah melakukan itu di saat keadan parah seperti ini untuk memudahkannya kembali. Karena dia ingat betul saat usianya masih muda dan menerima didikan dari ayahnya, bahwasanya elmu itu milik penguasa tanah Jawa pada masanya.


Kakiyasaning Pangracutan merupakan kitab karangan milik Sultan Agung Mataram (1613--1645) yang menerangkan macam-macam dan proses tentang kematian seorang manusia pada waktunya. Bila seseorang menjalankan elmu tersebut, dia akan memahami sejatinya mati dan melakukan laku tapa untuk merasakan mati sebelum mati. Yang artinya dengan cara meninggalkan sifat dan perlakuan keduniawian yang fana serta memudahkan proses kematian di saat pada waktunya, lantaran sudah membiasakan diri pada saat mengamalkannya.


Bagaikan meraga sukma, seseorang yang memiliki elmu pangracutan itu mengeluarkan ruhnya dengan mudah tanpa susah-susah untuk kembali kepada Sang Pencipta.


Dan benar saja apa yang telah dilihat oleh Mudin. Tidak salah lagi kalau ayahnya tadi telah mengamalkan elmu pangracutan di saat-saat terakhirnya. Kini Kakek telah meninggalkan dunia, dan kembali pada yang Maha Kuasa.


***


Pada hari berikutnya, Aeni semakin memahami makna kehilangan yang sesungguhnya, kalau ketidakpercayaan atas kenyataan selalu menghantuinya sebagai bentuk penyesalan diri dalam hati.


Sesal, duka, seakan berawal dari dirinya yang menjadi penyebab ayahnya meninggal dunia pada sore kemarin. Dan satu hal yang membuat dirinya menyesal hingga saat ini adalah ucapan yang pernah mengingatkannya, namun tidak pernah didengar.


Peringatan untuk tidak saling bertengkar sesama saudara serta tidak membenci ayahnya, malah terus dilakukan seperti menghiraukan ucapan yang tidak mungkin terjadi. Namun hari ini, apa yang dikhawatirkannya dari ucapan itu ternyata benar-benar terjadi. Aeni pun sadar tidak hanya sepenuhnya karena ucapan itu, semuanya pasti juga kehendak Yang Maha Kuasa untuk memanggil ayahnya. Tapi kenapa tidak menuruti apa yang sudah dipesankan padanya untuk tidak saling bermusuhan dengan saudara serta membenci orang tuanya. Padahal jika dibedah, sejatinya tidak hanya kalimat yang aneh dan tidak mungkin terjadi, tapi juga sebuah anjuran untuk hidup rukun dengan saudara.


Walupun pada dasarnya dia memiliki keyakinan sendiri kalau ayahnya memang juga benar-benar banyak yang mengajak untuk cepat-cepat pulang seperti guru dan kawannya. Lantaran untuk seorang ayahnya yang memiliki elmu kebatinan yang cukup tinggi pasti hal itu bukan merupakan karangan dalam berkata, tapi juga benar apa yang tejadi. Gurunya tidak terima bila ayahnya hidup di dunia hanya untuk dibenci oleh anak-anaknya, serta kawannya pun tidak terima bila hidup seseorang yang ber-elmu tidak dihargai oleh orang-orang di luar sana.


Lebih baik pulang tanpa sakit, tanpa beban dan tenang, di alam sana. Kakek lebih dibutuhkan pada golongannya. Akan lebih baik dibandingkan hidup di dunia yang penuh dengan angkara.


Dengan tangis dalam ingatannya, ucapan untuk menghentikan pertengkaran dengan saudaranya, berhenti untuk membenci ayahnya, serta ingatan ayah untuk menyuruhnya membukakan pintu padahal tidak ada siapa-siapa. Ternyata itu semua benar terjadi, kalau kawan dan gurunya sering untuk mengajak pulang saat seorang anak mulai membenci ayahnya lagi, dan ucapan salam tanpa rupa itu juga merupakan bentuk dari penjemputan kawan dan gurunya yang bersifat gaib.


Dan telah tersadar pula, kejadian pagi hari ayahnya di saat duduk di kursi rotan dan merapalkan sesuatu untuk kemudian membuka mulutnya atau seperti orang yang menuip-niupkan keberbagai arah itu, ternyata sedang melepaskan elmu-nya satu per satu sebelum ruhnya lepas dari sang jasad.


Keterangan:

- Nok: panggilan orang tua kepada anak perempuannya/orang yang yang lebih muda.

- Mangkat: meninggal.

- Pangracutan: kitab yang menjelaskan tentang jenis dan proses kematian.

- Elmu: penyebutan ilmu bagian orang Jawa dan biasanya berjenis ilmu kebatinan.


________

Penulis


A. Djoyo Mulyono, penulis dan jurnalis wilayah III Cirebon. 



Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com