Puisi Imam Khoironi
Adakah Sajak
Di kepak sayap capung
Merawat mendung, hujan dan sejuk
Adakah kau baca sajakku
Mengepung semesta yang gelap gulita?
Di sawah, nyiur bergoyang mendengar
Sajakku pada guratan sayap capung
Sajak itu berisi mantra
Supaya dunia gelap gulita
Dan hanya sajakku nanti bercahaya
Adakah kau lihat itu bekerja?
Apakah tiap penyair punya mantra
Sebagai jejaknya bersaksi pada intuisi?
Dan mengapa kau tak mau membacanya?
Adakah sajakku berkunang serupa rupamu di gelap gulita?
Adakah sajakku kau baca, dengan sengaja atau tidak sengaja?
Adakah kepak itu abadi merawat sajakku?
Adakah kau mau membacannya untukku?
Sebuah sajak berisi mantra supaya kita tak gelap gulita.
Lampung, Februari 2020
Atas Nama Sajak yang Kunyanyikan Bersama Sunyi
Di kamar berukuran tiga kali luas kotak nasi ini
Aku baringkan sajak-sajak
Yang aku tulis di waktu pagi menjemputmu
Dari kebisingingan mimpi yang menggambar masa lalu di kepalamu
Tak akan lagi kubiarkan detak
Mengguruimu dan pula detik
Memaksamu melangkah
Rebahkan segala kata
Yang ingin segera kau ungkap
Pada puisi kosongmu itu
Bagimu tiap kata itu sajak
Tiap sajak adalah puisi
Segala puisi tak akan mengkhianati
Kata-katanya sendiri
Tapi kau bukan puisi
Dan atas nama sajak yang kunyanyikan
Bersama sunyi di kamar ini
Izinkan aku menjadikanmu sebagai puisiku
Way Halim, Juli 2019
Di Kota Tua Aku Membaca Usia
“Kembalilah dan kenang aku sebisamu”
Bahkan di tempat ini aku bersimpuh
Maafkan aku yang sudah terlalu lapuk
Mengingatmu yang berbusa-busa mengingatkanku
Ratusan tahun engkau berdiri tegak
Menceritakan padaku: darah dan usia
Tembok warna cokelat dan eropais yang kentara
Dibubuhi satu per satu meriam dan serabut suara tembakan
Pergilah jauh-jauh dari kebisingan
Tenang dan hidupkan cinta kita
Pada rindu usia muda
Potret wajahmu sudah layu
Saat nyonya meneer berdiri dan mengenalmu
Aku bukan pencerita dan kau cerita agung
Bagiku tubuh usia tidak lain hanyalah
Daging dan darah bermuka seribu
Yang setiap tahun akan berganti
Hingga mencapai akar tubuhmu
Lampung, Juli 2019
Desember
Kuhitung-hitung
Kukira-kira, rintik hujan pagi itu
Desember masih belia
Kupilah-pilah
Rintik manakah yang paling tepat
Untuk kutitipi pesan
Kepada tahun depan
Sebelum desember menelan tahun
Dan hujan menyeberang ke permukaan januari
Kusampaikan salamku
Bagi para pencari suaka harapan-harapan
Desember 2019
Lembayung
di antara bukit di antara langit,
di batas petang serupa kembang,
mekar tegar mengitar suar,
bertahta tanpa cinta harta.
dari barat terlihat serat mirat,
tak bersumbu pun tak bertumpu,
menyambut surut surya di laut.
terindah, menggugah, merayah gundah,
terkurung dalam palung lembayung.
merekam, meredam pandang tajam.
suara camar berdera atas muara,
kicau bangau terdengar parau,
ketika senja bermanja, warna merona,
saat gelombang laut berurut menuju sudut.
Lampung Selatan, Juli 2022
________
Penulis
Imam Khoironi, lahir di desa Cintamulya 18 Februari 2000. Status sebagai mahasiswa S-1 Pendidikan Bahasa Inggris di UIN Raden Intan Lampung. Tidak terlalu suka seafood dan durian. Penggemar mi ayam dan bakso garis keras. Suka nulis puisi, cerpen, kadang-kadang juga esai.
Buku puisinya berjudul Denting Jam Dinding (ada di Tokopedia). Karya-karyanya pernah dimuat di berbagai online seperti simalaba.com, marewai.com, cerano.id, kawaca.com, scientia.id, milenialis.id, duniasantri.co, mbludus.com, suarakrajan.com dan media cetak seperti Malang Post, Riau Pos, Radar Mojokerto, Banjarmasin Pos, Bangka Pos, Denpasar Post, Pos Bali, Bhirawa, dan lainnya. Puisinya masuk dalam buku Negeri Rantau: Dari Negeri Poci 10 dan banyak antologi puisi lainnya.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com