Friday, September 23, 2022

Cerpen Mochamad Bayu Ari Sasmita | Pertolongan Pertama Bunuh Diri

Cerpen Mochamad Bayu Ari Sasmita



Jika tidak ada gravitasi atau setidaknya setiap orang memiliki kemampuan untuk terbang, melompat dari tempat yang cukup tinggi tidak akan pernah menjadi pilihan bagi seseorang yang hendak melakukan bunuh diri. Etgar Karet mungkin tidak akan pernah menulis cerpen berjudul “Fly Already” dan “Gravity”, salah seorang tetanggaku mungkin akan memilih cara lain untuk mengakhiri hidupnya, dan pria yang tidak kukenali itu tidak akan berdiri di atap sebuah pabrik tempatnya bekerja.


Orang-orang yang kebetulan lewat berhenti sejenak untuk melihat dan berteriak agar dia tidak melompat. Aku ikut berhenti, tapi tidak ikut berteriak. Sebenarnya, aku ingin sekali mencoba untuk berteriak, “Ayo, terbanglah!” Tapi itu rasanya tidak sopan. Sebagai salah satu umat manusia yang beradab, seseorang harus menghentikan tindakan bunuh diri sesamanya. Kita perlu menasihatinya, membawanya ke psikolog kalau perlu. Kita yakinkan kepadanya bahwa setiap hari manusia mati seperti lalat, kadang tanpa arti sama sekali seperti halnya dalam sebuah perang yang tidak lebih dari sekadar nafsu para penguasanya. Jika kematian adalah sesuatu yang mudah, tentu bunuh diri tidak perlu dilakukan. Orang mungkin tidak akan pernah memikirkannya sama sekali. Tapi, masalahnya, kematian selalu tampil seperti pengecut. Semakin seseorang mengharapkannya, semakin ia pergi menjauh.


“Jangan lakukan itu!”


“Berhenti di sana, Bung.”


“Jangan lakukan itu. Segalanya pasti akan baik-baik saja.”


“Kau akan masuk neraka untuk selama-lamanya jika melakukannya.”


“Pikirkan keluargamu, senyum anakmu!”


Setiap orang terus berteriak untuk menghentikannya. Petugas medis, pemadam kebakaran, dan polisi sudah berada di lokasi. Mereka membentangkan trampolin yang begitu lebar yang mungkin muat untuk setiap orang yang ada di halaman pabrik sekarang.


Sementara itu, pria yang hendak bunuh diri itu mulai duduk di tepian atap. Cara duduknya mengingatkanku pada sebuah patung yang sering dijadikan sebagai gambar kover buku filsafat. Apakah mungkin dia sedang merenungi tindakan yang akan dilakukannya? Itu kemungkinan yang cukup besar, probabilitasnya mencapai sembilan puluh lima persen. Tapi, bisa jadi, dia sedang memanipulasi para petugas yang hendak menyelamatkannya di bawah sini. Dia akan pura-pura merenung dan, dengan tiba-tiba, berlari ke sisi lain untuk melompat sehingga tubuhnya bisa menghantam halaman berpaving alih-alih memantul-mantul di atas trampolin seperti sebuah permainan di pasar malam. Aku tidak perlu mengingatkan para petugas yang profesional itu tentang kemungkinan ini. Mereka tentunya sudah bisa menyadarinya. Karena itulah mereka disebut profesional.


Seseorang yang baru saja datang bertanya kepadaku.


“Ada apa dengannya, Bung?”


“Aku tidak tahu.”


“Apa dia hendak melompat?”


“Mungkin dia bisa terbang?” akhirnya aku mengeluarkan lelucon itu, tentu secara tidak sengaja. Lidahku sepertinya tidak mau bekerja sama dengan otakku.


Orang yang bertanya kepadaku itu mengerutkan keningnya. Mungkin dia tidak senang dengan lelucon yang kulontarkan. Sekarang, mungkin, dia sedang memberikan penilaian atas diriku yang tidak berperikemanusiaan sama sekali. Tidak sepatutnya seseorang bercanda di situasi seperti ini, begitu kira-kira. Setelah mengalihkan pandangannya dariku, dia mengeluarkan ponselnya dari saku celana jinnya dan mulai merekam. Kukira itu juga tidak berperikemanusiaan. Dia pasti akan mengunggah video itu di media sosialnya, kemudian ratusan bahkan ribuan like akan membanjirinya. Telepon genggamnya akan berisik oleh nada notifikasi yang masuk. Sekian ribu akun akan memberikan komentar pada unggahan itu. Lalu, mungkin, dia akan tersenyum-senyum sendiri atas pencapaiannya itu.


Seorang polisi berbicara dengan pengeras suara. “Bung, kembalilah. Turunlah melalui tangga. Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya.” Tapi agaknya rayuan semacam itu terdengar seperti omong kosong di telinga si pria yang hendak melompat dari atap gedung. Jika kau pernah berpikir apalagi mencoba untuk bunuh diri, kau akan mengerti maksudku.


“Apa yang kalian tahu?” tanya si pria yang hendak melompat itu dengan nada jengkel. Suaranya serak, mungkin dia sedang menangis juga di atas sana. Tidak terlalu jelas dari bawah sini.


Dalam kondisi semacam itu, pastilah dia melihat segalanya buntu belaka. Tidak ada celah, bahkan sekecil lubang tikus sekali pun, yang bisa digunakan untuk melalui permasalahan yang sedang dia hadapi.


Setelah mendengar jeritan si pria yang hendak melompat itu, si polisi terdiam. Dia terlihat tiba-tiba tertekan. Mungkin dia menyadari bahwa dia tidak tahu apa pun dan terus berbicara hanya akan menumbuhkan semangat si pria yang tengah berdiri di atas sana untuk melompat. Jadi, diam, sebagaimana yang sering dituturkan oleh orang-orang bijak di masa lalu, adalah pilihan terbaik yang tersedia dalam situasi ini. Dia kemudian terlihat berdiskusi dengan petugas lainnya.


Ketika sedang asyik melihat peristiwa yang terjadi, baru kusadari bahwa ponselku berdering sebanyak empat kali. Ini panggilan masuk dari Marina, kami sudah berjanji untuk berkencan sore ini setelah dia pulang dari kantornya. Sebenarnya, aku ingin bertahan lebih lama lagi di sini untuk melihat yang terjadi sampai tuntas: apakah pria itu memutuskan untuk melompat atau kembali menjalani hidupnya yang mungkin begitu terjal dan penuh duri. Tapi aku tidak bisa membuat Marina menunggu.


Aku pun segera pergi dari sana sementara orang-orang terus berdatangan atau sekadar memperlambat laju kendaraannya untuk melihat selama mungkin peristiwa yang sedang terjadi. Aku menyibak kerumunan yang makin padat agar bisa keluar dari halaman pabrik. Sesampainya di tepi jalan, aku menghentikan sebuah mikrolet dan masuk ke sana. Kusebutkan alamat tujuan dan si sopir berhenti tidak jauh dari tempat tujuan.


Setibanya di kafe, Marina terlihat cemberut. Dia mengaduk-aduk gelasnya yang sudah tersisa separuh. Begitu melihatku, dia membuang muka. Selalu seperti ini jika aku terlambat, bahkan jika keterlambatan itu hanya lima menit. Bagi Marina, terlambat adalah terlambat, tidak peduli berada menit keterlambatan itu. Dia tidak ingin seperti kebanyakan penduduk di negeri ini yang suka tidak menepati jam perjanjian.


Untuk mengalihkan kekesalannya, kuceritakan kepadanya bahwa aku berhenti untuk melihat seorang pria yang hendak melompat dari atap gedung sebuah pabrik.


“Apa dia sudah melompat?”


“Belum.”


“Apa maksudmu dengan belum?” Keningnya berkerut-kerut.


“Dia memang belum melompat. Polisi dan petugas pemadam kebakaran terus menasihatinya agar tidak melakukan itu, para pengunjung juga meneriakkan sesuatu semacam neraka dan lainnya.”


“Apa yang kauteriakkan?”


“Aku tidak meneriakkan apa pun. Sebenarnya,” aku teringat lagi kepada Etgar Karet, “aku ingin mengatakan ‘terbanglah!’, tapi aku mengurungkan diri demi perikemanusiaan.”


Dia tidak menanggapi lagi.


Tiba-tiba saja hening muncul di antara kami.


Hening.


Hening.


Hening yang begitu aneh.


Konon, situasi semacam ini terjadi karena ada malaikat yang kebetulan sedang melintas. Tidak disebutkan secara spesifik apakah Jibril atau Mikail yang sedang melintas. Tapi, berdasarkan peristiwa yang baru saja kulihat sebelum sampai ke tempat ini, kemungkinan yang melintas adalah Izrail. Dia pasti sedang terburu-buru untuk pergi ke area pabrik itu setelah menyelesaikan tugasnya di arah yang berlawanan.


Sepiring spageti diantar ke meja kami. Rupanya itu pesanan Marina. Sebelum pelayan itu menjauh dari meja kami, Marina mengeluarkan sebuah botol saus—dia selalu membawa botol saus sendiri ke mana-mana untuk situasi seperti ini—dan menambahkan saus merah terang itu ke atas spageti. Si pelayan yang melihat hal itu terlihat terganggu. Dia sepertinya ingin menegur Marina, tapi segera mengurungkan niatnya. Permukaan spageti Marina sekarang terlihat seperti genangan darah. Mungkin saja tumpahnya saus di atas spageti itu beriringan dengan muncratnya darah pria yang berada di atas bangunan pabrik itu setelah dia memutuskan untuk melompat dan tubuhnya membentur pelataran semen yang keras diiringi teriakan para penontonnya. Mungkin.


16 Agustus—17 September 2022



________________

Penulis


Mochamad Bayu Ari Sasmita, lahir di Mojokerto pada HUT RI ke-53. Cerpen-cerpennya pernah tayang di sejumlah media daring dan luring. Sekarang tinggal di Mojokerto, Jawa Timur. Dapat dihubungi di akun Instagram @sasmita.maruta.



Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com