Thursday, September 1, 2022

Esai Ade Novianto | Insting Orang Berdaulat

 Esai Ade Novianto




Bagi sebagian orang, uang adalah jalan. Bagi sebagian lagi, uang adalah tujuan. Ada lagi, orang yang mengombinasikan keduanya lantaran harus menyertakan perantara karena ketidak-sanggupannya. Mungkin, uang adalah tujuan yang jalannya harus dilalui oleh orang-orang pragmatis sehingga apa pun orientasinya, pihak ketigalah harus dilibatkan.


Semasa saya kuliah di prodi hubungan internasional, berita-berita politik global selalu manjadi perhatian bahkan menjadi menu sarapan menggantikan nasi uduk atau lontong sayur yang nikmat. Maklum itulah pesan yang disampaikan oleh para dosen di kelas. 


Dari berita-berita global yang konon penting bagi para mahasiswanya, saya tergelitik membaca kolom internasional yang selalu membuat repot kita orang Indonesia. Bagaimana tidak, semenjak pecah Perang Dunia kedua kali, kemudian didinginkan oleh dua blok, kita sebenarnya memiliki ancang-ancang yang bisa dilihat dari sikap kita yang tampil tenang. Lantas, entah bagaimana, kita seolah merepotkan diri sendiri tanpa tahu inti masalahnya.


Istilah "orang" sebenarnya lazim digunakan oleh mahasiswa hubungan internasional dalam membingkai politik antarnegara. Untuk mudah memahami, sering kali dosen di kelas menunjuk satu per satu dalam menjelaskan inti materi yang hendak disampaikan. Mungkin terlalu njelimet menggunakan bahasa e-book yang sering kali muter-muter. Gampangnya: gue Indonesia, elu China, si Rudi Amerika. Mereka melakukan interaksi dalam kehidupan yang riil. Apa yang riil? Setidaknya ada lima aspek: keamanan, ekonomi, politik, sosial dan budaya, dan lingkungan. Kadang-kadang ada juga hal percintaan.


Aspek-aspek tadi bermain dalam satu dunia yang kompleks, ditandai dengan paradigma-paradigma utama. Keutamaan filsafat dalam hal demikian sangat diperlukan, ada yang memandang "orang lain" sebagai musuh (filsafat Hobbes). Juga sebaliknya, ada yang beranggapan "orang lain" adalah teman yang sejati (filsafat Immanuel Kant). Hanya satu alasan yang keluar dari keduanya: ambisi. Sungguh dikemas dalam kehidupan sehari-hari untuk menangkap isi dari setiap materi perkuliahan. Ini yang dinamakan naluri manusia atau insting orang yang hendak berdaulat.


Kini, coba kita curahkan perhatiannya pada Indonesia, jika kita anggap "orang", sesungguhnya orang macam apa ia?


Suatu ketika perihal perekonomian Indonesia yang sempat dinyatakan bangkit oleh lembaga internasional membuat bibir kita melebar seperti membentuk senyuman lentik. Kita yang membuat kereta cepat, membangun apa-apa yang dianggap megah dan mewah seolah itu adalah indikator kebangkitan ekonomi. 


Memang, kemodernan adalah bentuk kemajuan manusia. Maju bukan berarti secara total. Dalam arti, fisiknya maju meskipun batinnya tertinggal. Ada saatnya insting bangsa ini dilanda trend global memang harus, tetapi insting untuk merasa-rasa atau meraba-raba apa yang terlanda bangsa ini sudah seharusnya dilakukan. 


Kadang ada saatnya orang merasa bingung dengan segala kemajuannya. Sama halnya ketika ada orang berambisi menjadi bos yang mendambakan modal yang kemudian ditawarkanlah modal, tetapi dengan cara menjual harga dirinya (baca: kekayaan alam). Tanpa berpikir lama ia yang sudah kadung tertinggal oleh orang lain selalu mengangguk tentang apa saja yang dinilainya menghasilkan (terutama uang). 


Saat ada orang yang keuangannya merosot secara bersamaan, genteng di dapurnya bocor, secara mendadak ada orang yang siap mendanai untuk merenovasi dapurnya lantaran dianggap kompornya sudah tidak layak digunakan masa kini, atau kurangnya syarat agar dapat disebut dapur seperti tetangga sebelah. Tentulah alat serta jasanya si "Orang lain" ini akan menyediakannya, bukan lantas karena persaudaraan, melainkan menaruh tabungan jangka panjang. Selain memandang baik, sah-sah saja menolong bisa saja kita anggap jahat, toh?


Setelah menikmati dapurnya yang --dibantu oleh "orang lain"-- layak, lantas menatap-natap di dalamnya tanpa perabotan yang bisa digunakan untuk bertahan hidup, datanglah kreditur menawarkan segala peranti rumah tangga. Tak mampu kontan, ya kredit. Urusan bunga, biar anaknya yang memikirkan. Segala hal yang tertinggal menurutnya harus dikejar dengan berlari cepat. Ibarat lomba, ambisinya selalu ingin yang terdepan meski dibantu suplemen berupa racun.


Saya tidak pesimis terhadap kereta cepat yang "didanai" itu dan juga tidak antipati terhadap tingginya emisi karbon di kota-kota besar yang mendesak Tesla harus melakukan pabrikasi di wilayah yang kaya nikel seperti Sulawesi Tenggara. Saya hanya khawatir jika saya terus-terusan sepanjang hidup saya didatangi, kreditur menagih-nagih jasa yang suatu saat nanti mungkin bisa saja mengklaim bahwa "ini punya saya, lho". Trend global membawa siklus bangsa ini berhenti pada tujuan bahwa yang cepat adalah sumber keberhasilan dan penggusuran adalah suatu kesucian.


Jadi, apa sebenarnya insting orang berdaulat menurut Indonesia? 


________

Penulis


Ade Novianto, alumnus Prodi Hubungan Internasional Universitas Satya Negara Indonesia.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com