Tuesday, March 21, 2023

Proses Kreatif | Isi Kepala Penulis Tidak Melulu Menyoal Jualan Buku

Oleh Encep Abdullah



Dalam sebuah pertemuan para penulis cerita anak dwibahasa di Hotel Puri Kayana Serang, Mbak Anita (panitia dari Kantor Bahasa Prov. Banten) nyeletuk di hadapan saya.


"Di sini yang hadir para penulis. Tapi kenapa nggak ada yang jualan bukunya sih?" 


Pertanyaan ini mendadak bikin saya kaget dan sadar. Loh, iya juga ya. Lalu, saya jawab saja kepadanya bahwa stok buku (pribadi) sedikit. Begitu juga dengan Ade Ubaidil serta kawan lain.


Jujur, saya tidak kepikiran. Harusnya saya cetak lagi beberapa buku untuk kepentingan dagang dalam acara ini. Saya kepikiran selepas Mbak Anita ngomong begitu. Saya bilang kepada Sul Ikhsan, rekan penulis yang terpilih juga dalam acara di hotel itu, "Sul, kenapa kita nggak bawa buku-buku terbitan #Komentar ya? Kita bazarin di depan. Tapi, siapa yang nunggu juga ya." Saya bertanya sendiri dan malah menjawab sendiri.


Sebelum kegiatan ini, saya juga diundang menjadi narasumber di kampus FKIP Untirta Ciwaru. Saya diminta membahas tentang copywriting. Beberapa jam sebelum kegiatan, saya kepikiran bawa banyak buku buat dibazarkan. Tapi, siapa yang jaga bazar? Itu yang saya pikirkan juga.


Saya termasuk orang yang malas menjual buku saat saya diundang menjadi narasumber. Malah saya bagi-bagi buku gratis. Setiap saya jadi narasumber, minimal 5 buku saya siapkan untuk dorpress para peserta atau sebagai hadiah para rekan narasumber lain dalam kegiatan tsb. Bagi saya itu ruang kebahagian tersendiri buat saya. Kadang saya anggap bahwa honor menjadi pembicara adalah hasil saya bagi-bagi buku gratis itu. Jadi, anggap saja saya tidak dibayar sebagai pembicara. Saya tidak perhitungan honor yang diterima dengan harga buku yang saya bagikan.


Harusnya saya meniru para penulis lain, mungkin Tere Liye, Golagong, A. Fuadi, dst. Setiap perjalanan mengisi acara pelatihan atau menjadi narasumber, saya lihat mereka menjadikan tempat itu kesempatan untuk berjualan buku. Bahkan, penerbit mengintili ke mana pun penulis pergi. Oh, iya, dalam acara ini juga ada Mbak Achi TM, penulis kondang novel Insyaallah Sah! Kenapa tidak bawa buku-bukunya dan jualan juga ya?


Untuk kegiatan pelatihan atau menjadi narasumber, rasanya berat sekali saya untuk berjualan buku. Makom saya kenapa tidak sampai ke sana, ya. Saya tidak tahu. 


Sekali dua kali saya pernah bikin bazar buku di sekolah. Memang diniatkan hanya untuk bazar, bukan sebagai narasumber atau mengisi pelatihan menulis. Saya fokus jualan. Dan, alhamdulillah dapat lebih dari cukup. Ternyata, bakat dagang buku itu sudah saya lakukan sejak mahasiswa. Dulu saya gelar lapak buku di kelas. Bolak-balik rumah kampus, nenteng-nenteng buku sekarung di angkot jurusan Pontang-Serang. 


Malu? Tidak ada sedikit pun rasa malu. Buku-buku itu digondol dari Rumah Dunia. Terima kasih Mas Golagong, Abdul Salam, dkk. Alhamdulillah laris manis. Saya dapat 700 rb dari jualan buku itu selama sepekan-dua pekan di kampus. Itu capaian yang luar biasa bagi saya sebagai penjual amatir yang kali pertama berbisnis buku. Hingga kini, saya mendirikan sebuah komunitas dan penerbitan buku. Semua itu adalah proses dan perjalanan. Tidak semena-mena lahir dan jadi.


Kembali kepada pertanyaan Mbak Anita di awal. 


" ... kenapa (para penulis) nggak ada yang jualan bukunya (di lokasi kegiatan kepenulisan)?"


Kalau Anda penulis? Mohon berbagi jawaban.


Kiara, 21 Maret 2022


_________

Penulis


Encep Abdullah, penulis yang memaksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai Dewan Redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak, tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya. Buku proses kreatif terbarunya berjudul Diet Membaca, Ketiban Inspirasi (Maret 2023). Bisa dipesan via WA penulis, 087771480255.