Cerpen Siti Fatimah
Pagi itu, suara gemericik air hujan membuat Sofi terperanjat dari tempat tidurnya, berlari mendekat ke jendela. Tangan mungilnya menengadah ke luar jendela.
“Wah… senangnya.”
Suasana dingin pagi itu membuat Sofi melebarkan senyum dari bibir tipisnya. Tak henti ia bersyukur karena turun hujan. Ya.. hujan, Sofi sangat suka hujan.
Tiba-tiba terdengar suara wanita separuh baya dengan baju daster yang selalu melekat di tubuhnya itu mengetuk pintu kamar Sofi. Wanita yang menjadi role model Sofi.
“Sofi, sudah siang, bangun dan sarapan sebelum ke sekolah.”
Wanita yang selalu menenteramkan hati Sofi dengan kelembutannya. Sofi pun bergegas untuk siap-siap berangkat ke sekolah.
Hujan semakin deras, Sofi pun semakin senang. Seperti biasa, ayah selalu mengantar Sofi berangkat ke sekolah. Sofi selalu merasa bahagia karena memiliki orang tua yang sangat sayang dan selalu ada untuknya. Sofi adalah anak tunggal dari pasangan ayah-ibu yang harmonis. Sungguh beruntungnya Sofi memiliki keluarga yang bahagia. Selama ini, Sofi selalu menjadi kebanggaan orang tuanya. Selain pintar, Sofi juga memiliki bakat menulis cerita. Ibunya selalu menceritakan dongeng sebelum tidur dan memiliki koleksi buku cerita di ruang kerja ayahnya.
Sofi memasuki gerbang sekolah dengan payung berwarna pink yang selalu dibawa. Rok biru, baju putih, dan kerudung putih yang membuat wajahnya semakin mungil. Seolah sengaja terkena air hujan kepalanya, sesekali payungnya ditutup-buka. Walaupun kerudungnya sedikit basah, tapi Sofi senang. Buat Sofi, hujan selalu menenteramkan hatinya. Di kelas, Sofi adalah siswa yang pintar dan selalu mendapat rangking 1. Namun, ia tak luput dari cemoohan temannya karena Sofi termasuk anak yang speech delay. Ketika Sofi berbicara terkadang kurang jelas dan cadel. Hal ini membuat teman-temannya sering mengatakan hal-hal yang menyakiti hati Sofi. Tapi hujan selalu meneduhkan hatinya di saat kecewa dengan orang-orang sekitar.
Sofi selalu menganggap keadaannya adalah anugerah dari Allah yang akan membuatnya sukses nanti. Karena orang tuanya selalu mengajarkan hal-hal yang baik dan berpikir positif. Di balik kekurangan, pasti terdapat kelebihan yang harus disyukuri. Speech delay bukan ah penghambat Sofi untuk meraih mimpi-mimpinya. Bersama hujan, Sofi selalu menitipkan sebuah pesan.
“Hujan akan menutupi semua kesedihanku. Selalu tutupi air mataku, ya.”
Tanpa disadari, seorang anak laki-laki selalu memerhatikan Sofi yang sedang berdiri di teras kelas. Paras tampannya menjadi idola diantara siswa perempuan di sekolah, tinggi tegak semakin membuatnya tampak gagah seperti pemain drama Korea.
Wahyu, itulah nama anak laki-laki yang diam-diam memperhatikan Sofi. Ia adalah ketua OSIS yang menjadi kebanggaan sekolah. Seorang kakak kelas yang tidak pernah Sofi duga kemunculannya.
“Maaf, nama kamu Sofi, bukan? Perkenalkan, saya Wahyu, siswa kelas 8A.”
Sofi pun terkejut ada yang menyapanya, lebih terkejut lagi ketika melihat siapa yang menyapanya. Bibir tipisnya seolah berat untuk mengatakan sebuah kata. Mata bulat itu tak berhenti memandang paras ganteng Wahyu.
“Oh Iya, saya Sofi. Ada apa ya, Kak?”
Sofi sebetulnya sudah lama mengidolakan sang ketua OSIS itu. Namun, Sofi sadar diri karena banyak teman-temannya yang berlomba untuk mendekati laki-laki berpostur tinggi itu.
Kesedihan itu seolah hilang karena hujan dan Wahyu.
“Aku lihat kamu selalu duduk di teras kelas ketika hujan. Ada apa dengan hujan?”
“Hujan selalu menenangkan hatiku. Bahkan setelah hujan akan muncul pelangi. Indah kan, Kak?” Sambil tersenyum hangat, Sofi berbicara sesekali memandang wajah Wahyu.
Mendengar Sofi berbicara tentang hujan, Wahyu semakin menyukai Sofi. Mereka pun berbincang akrab di teras kelas bersama hujan. Mereka berdua satu frekuensi dalam obrolan. Seperti sudah lama sekali mereka berteman dan becanda.
Wahyu adalah siswa pindahan dari luar kota. Karena ia adalah siswa pintar dan sangat aktif dalam organisasi, maka terpilih menjadi ketua OSIS. Wahyu selalu berpindah sekolah karena mengikuti kedua orang tuanya. Bapaknya seorang polisi yang siap ditugaskan di mana saja. Kini, ia kembali ke kota kelahirannya, Malang. Kota yang memiliki banyak cerita dan kenangan di masa kecil.
Ketika melihat Sofi yang menyukai hujan, ia pun teringat teman masa kecilnya. Teman satu kompleks yang sangat cengeng dan selalu mendekati hujan ketika menangis. Sambil senyum melihat Sofi, Wahyu pun tak menceritakan kisahnya.
“Kak Wahyu, kok bengong sih? Ayo sedang memikirkan apa?”
Wahyu terperanjat dari lamunannya.
“Oh iya, kamu nanti pulang sekolah dijemput orang tua?”
“Iya Kak, aku selalu dijemput. Tapi hari ini Ayah sedang sibuk. Jadi, aku pulang sendiri.”
Mata Wahyu langsung menunjukkan kegembiraan karena kesempatan emas untuk lebih dekat dengan Sofi.
“Yes, yes, yes… asyik… yuhuuuuu…!” hati meluap penuh harap.
“Sofi, bagaimana kalau kita pulang bersama. Mau?”
Sambil tersenyum malu, Sofi mengangguk dan memberikan tanda dari kedua mata indahnya bahwa ia menyetujui.
Alangkah terkejutnya Wahyu melihat rumah Sofi. Jalan itu, kompleks itu, dan rumah itu. Semua adalah kenangan yang ia simpan dan tak akan dilupakan. Cinta pertama yang membuat Wahyu tak ingin melihat perempuan lain. Sahabat dan teman kecil yang selalu menjadi cerita indah untuk Wahyu. Lebih terkejut lagi ketika Wahyu bertanya nama panggilan ketika kecil.
“Sofi, nama panggilan ketika kecil kamu siapa?” Rasa penasaran itu semakin bergejolak di hati Wahyu.
“Kok, tiba-tiba bertanya nama kecil? Wah, ada yang aneh nih. Memang kenapa, Kak?”
“Aneh ya, maaf ya bukan maksud apa-apa, kok.”
“Oke, waktu kecil aku biasa dipanggil Nifa. Karena nama lengkapku adalah Hanifa Sofi Fahimah.”
Nama yang selalu Wahyu sematkan di hati, pertemanan singkat yang sangat berkesan, pertemuan yang menjadikan akrab karena satu kompleks. Ya, Nifa, nama perempuan yang menjadi cinta pertama Wahyu. Waktu itu mereka masih kecil sehingga Wahyu dan Sofi ketika bertemu kembali tidak mengingat wajah masing-masing. Komunikasi antarmereka pun putus semenjak Wahyu meninggalkan kota Malang untuk ikut kedua orang tuanya ke Kalimantan. Tak sabar Wahyu ingin mengungkapkan bahwa ia adalah teman kecil Sofi. Namun, niat itu ia urungkan karena khawatir Sofi memiliki pacar.
Wahyu hanya mengantar Sofi sampai depan kompleks. Ia pun pulang dengan perasaan senang campur gelisah.
“Aduh… kenapa tadi aku tidak minta nomor HP Sofi, ya. Ah, bodohnya aku,” ujar Wahyu.
Seminggu berlalu. Karena kesibukan Wahyu sebagai ketua OSIS, mereka pun tidak bertemu. Rasa kangen itu timbul dan melihat kesempatan untuk mengatakan kepada Sofi jika ia adalah teman kecil.
Hari itu hujan deras di sekolah. Wahyu mencari Sofi, seperti biasa Sofi berada di teras kelas dengan memandang hujan.
“Sofi… bisa bicara sebentar?”
“Kak Wahyu. Wah kebetulan sekali, Kak. Aku sebenarnya sedang menunggu Kakak. Tapi Kak Wahyu seminggu ini sepertinya sedang sibuk.”
Sofi sebetulnya mengetahui jika Wahyu adalah teman kecilnya. Sofi pernah melihat foto kecil Wahyu di ruang OSIS. Ketika itu Sofi sedang mengantar temannya yang ingin membaca info di mading sekolah. Mading tersebut tidak jauh dari ruang OSIS, Sofi pun mampir ke ruang OSIS karena penasaran ingin melihat ketua OSIS yang baru. Betapa terkejutnya Sofi ketika melihat di profil ketua OSIS ada foto masa kecil Wahyu. Wajah anak laki-laki yang menolongnya ketika jatuh dari sepeda.
“Sofi, apakah kamu waktu kecil punya teman? Seorang anak laki-laki yang menolongmu ketika jatuh dari sepeda, lalu berteman, setiap libur bermain di taman kompleks?”
Sofi tersenyum dan tertawa. Namun, Wahyu semakin bingung dengan respons Sofi.
“Hai, Wahyu Anugerah Saptawijaya atau Yuyu. Huftt… lama sekali Kakak tidak memberikan kabar kepadaku.”
Mereka pun akhirnya saling bertukar cerita selama 8 tahun terpisah. Hujan menjadi cerita indah untuk mereka berdua.
_______
Penulis
Siti Fatimah, biasa dipanggil Ifat. Seorang pengajar di SMP Negeri 1 Kosambi, Kab. Tangerang, lahir di Kota Serang. Namun, sekarang tinggal di Kab. Tangerang untuk menggapai asa dan cita. Karya pertamanya cerpen dalam bahasa daerah (Jawa Banten) yang diunggah di NGEWIYAK.com.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com