Cerpen Finka Novitasari
Marni masih bersungut-sungut ketika menekan tuas pintu rumahnya yang tiba-tiba macet. Berkali-kali dipaksa, pintu tetap bergeming. Ia lupa bahwa anak kuncinya masih berada di dalam kantong daster. Marni mengumpat atas kealpaannya itu. Sebenarnya ia malu, namun berusaha ditutupi dengan membanting pintu ketika sudah berhasil dibuka.
Raut amarah di wajahnya makin membara tatkala mengetahui banyak pasang mata berkasak-kusuk di belakang. Roni, anaknya, yang hendak berangkat sekolah mesti merelakan tidak mendapat uang saku pada hari itu. Sebab, ia mafhum bila maknya sedang marah, tidak ada yang berani menyenggol.
Ia menaruh dengan kasar satu buah besekan di atas meja. Suara bising dari televisi yang belum sempat dimatikan Roni menambah gerah suasana hatinya. Ia mematikan televisi, lantas mengatur tempo napas pelan-pelan agar sedikit lebih tenang.
Ia tidak habis pikir dengan mulut Yati yang sedikit pun tidak ada remnya. Padahal, ketika Yati membawakan bakpia berjamur untuknya, ia tidak marah apalagi mempermalukan di depan umum. Namun, ketika gudeg pemberian Marni untuk Yati sudah basi, tetangga sebelah rumahnya itu langsung menuduh yang tidak-tidak padanya.
Marni menuang air putih, menandaskan isi gelasnya hingga tak tersisa. Belum lepas dari ingatannya bagaimana perlakuan Yati padanya beberapa saat lalu. Ia baru saja membagikan besek kepada tetangga dekat—termasuk Yati—usai menggelar selamatan kecil-kecilan untuk anaknya yang hendak berangkat mengikuti Sasahan.
Belum sempat Marni melewati pagar rumahnya sehabis membagikan besek, terdengar suara gaduh dari arah rumah Yati. Kegaduhan menyebar dan beranak pinak di telinga orang-orang. Mereka berkumpul penasaran. Ada yang hanya mengintip dari jendela, karena jarak rumah satu dengan yang lainnya saling berdekatan. Bapak-bapak yang hendak mengantar anaknya ke sekolah turut menghentikan sejenak perjalanannya.
Perempuan di depannya, Yati, sedang memperlihatkan besek di tangannya kepada orang-orang. Marni tidak bisa berbuat apa-apa selain mamandang polah tingkah Yati saat itu. Ia memegang dadanya yang bergemuruh—gemuruh yang masih dirasakan Marni hingga sekarang. Perempuan paruh baya itu mengatakan bahwa gudeg pemberian Marni sudah basi. Tidak cukup sampai di situ, Yati menuding Marni memiliki tujuan tidak baik.
Sebelumnya, hubungan Yati dan Marni memang terjalin kurang baik. Tidak jelas dari mana muasalnya, yang pasti keduanya sering terlibat adu mulut. Dari masalah sepele seperti rebutan kangkung di warung hingga persoalan pagar rumah Marni yang dianggap terlalu menjorok ke wilayah rumah Yati yang seolah tiada habisnya.
Rumah mereka berdekatan, hanya dibatasi oleh pagar rendah. Acapkali mereka berebut kekuasaan wilayah ketika sama-sama hendak menjemur pakaian. Namun, lama-kelamaan pagar pembatas tidak lagi menjadi sumber pertengkaran. Marni beralih menjemur pakaian menggunakan bilah bambu yang kedua ujungnya diikat pada pohon. Ia sudah muak setiap hendak menjemur pakaian harus mengeluarkan energi terlebih dahulu untuk beradu mulut.
Yati juga tidak mau kalah. Ketika pulang dari warung, sebelum masuk rumah, ia mengambil bak besar di belakang rumah. Ia mengangkat jemuran lipat di pojok rumah dan membentangkannya di halaman. Seluruh baju basah terhampar di atas jemuran lipat yang dibeli dari tukang kredit keliling.
“Katanya punya suami kerja di luar negeri. Masa beli jemuran lipat aja gak mampu. Malu, dong, sama suami saya yang cuma kerja di pabrik.”
Demikianlah suara sumbang dari mulut Yati beberapa hari lalu. Marni hanya bisa melipat kening, menebalkan kuping sembari terus memeras cucian. Permasalahan yang ada terus-menerus melahirkan permasalahan baru yang seolah tidak ada habisnya.
Sesungguhnya, tidak salah apa yang dikatakan Yati. Bertahun-tahun suami Marni menjadi TKI di Taiwan, namun sudah tiga kali lebaran ia menghilang tanpa kabar. Entah berkeluarga lagi atau mati di perantauan, Marni tidak pernah tahu. Tetapi yang pasti ia selalu katakan pada anak dan tetangga bahwa suaminya belum pulang karena sibuk bekerja.
Marni mengambil besek—besek yang diambilnya kembali dari tangan Yati sebelum tetangga ramai berdatangan—di hadapannya ketika amarah sedikit demi sedikit mereda. Ia menuang air dari teko untuk kedua kalinya. Ingatan itu membuat gemuruh dada Marni makin berkobar-kobar. Tangannya beralih menjangkau pisau, mengupas bawang, memotongnya.
***
Ia berdiri di halaman rumah, mendongak sembari menyipitkan mata. Tidak ada yang terlihat kecuali gugusan awan putih terhampar beralaskan tirai berwarna biru cerah. Marni beralih menatap pegunungan di ujung jalan. Hutan itu berjarak satu kilo meter dari pemukiman. Terhubung dengan seutas jalan tanah yang becek saat penghujan dan keras berdebu di hari panas.
Tidak ada pertanda hendak hujan. Cuaca hari itu benar-benar terik. Marni bersiap menghampar terpal di halaman. Ia hendak menjemur gabah, hasil dari derep sawah milik tetangga. Ia memang tidak pernah melewatkan setiap panen padi di desanya. Saat itulah yang ditunggu-tunggu, karena dengan derep, itu artinya dapur Marni masih bisa mengepul.
“Mak, Roni berangkat dulu,” celetuknya sembari meraih tangan maknya yang masih kotor, lalu mencium takzim.
Anak semata wayang Marni itu menyampirkan sabuk putih di atas lengan kiri. Di bahu satunya lagi terdapat tas cangklong lusuh. Roni berjalan telanjang dada melewati jalan setapak depan rumahnya. Legam tubuhnya tampak perkasa, ditambah bulir keringat disepuh cahaya terik. Anak yang sebentar lagi hendak mengikuti ritual Sasahan itu makin bersemangat berlatih di pedepokan.
Marni kembali menghampar gabah, diratakan dengan garu padi agar mengering secara merata. Ia tahu, menggantungkan hidup dari suaminya sama halnya hendak mati konyol karena kelaparan. Tidak ada lagi sepeser pun uang yang dikirimkan kepadanya. Maka, Marni pun hendak tak hendak mesti berdiri dengan kakinya sendiri untuk menghidupi anaknya.
“Kok masih jemur gabah? Gak mampu beli beras, ya?” ujar Yati dengan gaya bicara yang penuh kuasa mencebik sambil membuang muka. Dalam hatinya, sebenarnya ia pun tidak hidup berkecukupan sebagaimana digembar-gemborkan kepada orang-orang. Utang-utang di warung bertumpuk-tumpuk belum lunas. Pun ia masih memiliki angsuran dengan bank plecit seminggu sekali.
Siang itu, rasa letih dan dongkol mendera, Marni masuk ke dalam rumahnya tanpa mengucap sepatah kata pun. Pertengkaran seperti apa lagi yang bakal terjadi jika ia meladeni omongan Yati. Mengerikan kalau sampai kejadian tadi pagi terulang kembali.
Ia merapatkan pintu, juga menutup gorden hingga tidak tersisa sedikit pun celah. Ia berbaring di atas dipan sambil mengibas-ngibaskan kalender bekas. Kantuk perlahan menyergap, gerakan tangannya melambat. Marni tertidur.
***
Sayup-sayup suara kokok ayam menelusup telinga Marni. Ia berusaha menajamkan pendengaran di saat kelopak matanya masih terasa lengket. Di antara mata yang separuh terbuka dan pikiran setengah sadar, ia gegas bangkit dari pembaringan. Matanya seketika terbelalak tatkala mendapati seekor ayam jago tengah melahap habis gabahnya yang tak seberapa itu.
“Ayam keparat!” umpatnya.
Marni mengambil sapu lidi, lalu dihantamkannya pada tubuh sang ayam. Ia berusaha menyelamatkan sisa gabah yang masih ada. Kecurigaannya tentu dialamatkan kepada Yati. Karena sebelum ia masuk, hanya Yati yang berada di sana. Marni tidak kehabisan akal bagaimana membuat tetangganya itu berhenti berulah.
Ia berusaha menangkap ayam jago yang berlari masuk ke dalam rumahnya usai dihantam sapu lidi. Ayam itu membuang kotoran di dalam rumah. Marni menahan amarah. Ketika tertangkap ia gegas mengasah pisau, tanpa berpikir panjang Marni langsung menyembelihnya.
Di dapur, Marni masih mengomel. Ia meluapkan amarah pada daging ayam yang dicincangnya. Ia membanting, meremas-remas, sebelum akhirnya ditenggelamkan dalam kuah bersantan.
Menjelang Magrib, demi menunjukkan bahwa semuanya baik-baik saja, Marni bersikap manis dengan mengantar beberapa potong ayam yang baru selesai dimasaknya untuk Yati. Batinnya bergelora setelah berhasil menjadikan ayam keparat itu menjadi opor nan gurih. Kali ini ia bermain cantik untuk membalaskan dendam. Ia tidak bernafsu membuat keributan lagi.
Marni mengucap salam, lalu disambut dengan wajah masam dan datar.
“Ini sebagai bentuk permintaan maaf saya atas gudeg basi tadi pagi,” ujar Marni tersenyum, meski hati berdusta. Ucapan Marni sesaat membuat hati Yati sedikit tersentuh.
“Tadi habis motong ayam. Kalau cuma dimakan saya sama Roni gak akan habis. Semoga suka, ya, Bu,” ucap Marni masih dengan senyum manisnya. Tetiba suara Roni merebak petang itu, menjerit memanggil-manggil maknya. Yati segera menerima rantang itu. Melunaklah hatinya melihat sikap Marni. Lekas-lekas ia ke dapur, meraih piring dan menuang nasi hangat, gegas melahap opor ayam pemberian Marni. Yati begitu menikmati santapannya malam itu. Jarang sekali ia makan opor ayam kampung. Sebab, ia tidak pernah memotong ayam sendiri. Ia juga masih tidak menyangka Marni bisa sebaik itu.
Sementara Marni gegas mencari anaknya. Tangisan Roni timbul-tenggelam karena bersamaan dengan kumandang azan. Ia memeriksa tiap sudut ruangan, tetapi rupanya Roni berada di belakang rumah.
“Kamu kalah tanding? Atau habis dihajar pelatihmu?”
Tidak ada jawaban. Bocah dua belas tahun itu terus menangis sambil bercangkung berpeluk lutut mengelus dongdang. Tidak terdengar jelas racauan yang keluar dari mulut Roni.
Tetiba kaki Marni lemas, wajahnya lesu, pikirannya berkabut—setengah tidak percaya. Di antara kebingungan petang itu, ia enggan bertanya lagi. Suara Roni terdengar getir dan perih. Diam-diam Marni masuk ke dalam rumah lagi sambil menahan air mata. Tahun ini anaknya harus gagal mengikuti Sasahan.
Catatan:
-Sasahan adalah pengesahan warga baru perguruan pencak silat. Beberapa perguruan mensyaratkan ayam jago sebagai salah satu syarat ritual.
-Bank plecit merupakan sebutan bagi lembaga bukan bank atau perorangan yang meminjamkan uang. Biasanya berkeliling untuk mencari nasabah.
Pacitan, September 2024
_________
Penulis
Finka Novitasari, alumnus Universitas Alma Ata, Yogyakarta. Menulis cerpen, esai, dan opini. Aktif dalam Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK).
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com