Cerpen Vironika Sri Wahyuningsih
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Kampung tua itu telah lahir sebelum negeri ini merdeka. Meski sekarang musim hujan, cuaca dirasa gerah oleh sebagian besar warga. Mereka terlihat cemas dan gelisah. Penyebabnya adalah konflik serius antara warga kampung dengan pihak asing yang entah dari mana asalnya. Penjajah tak dikenal itu mengacak-acak kedamaian dan ketentraman dengan pembangunan proyek fantastis. Ditambah adanya pagar laut yang sangat mengganggu aktivitas nelayan, membuat situasi makin memanas. Awalnya kehidupan warga kampung aman dan damai. Mereka adalah orang-orang sederhana. Sebagian besar dari mereka berprofesi sebagai nelayan tradisional. Mereka bukan orang-orang kaya. Ada beberapa yang cukup kaya, bisa dihitung dengan jari. Mereka telah terbiasa dengan kesederhanaan dan kedamaian.
“Mak, masuklah ke rumah, angin laut makin kencang. Mak bisa sakit nanti,” Jaya mengingatkan sang emak yang usai isya masih duduk di beranda rumah. Tak ada jawaban dari perempuan tua yang sangat dihormatinya itu. Bahkan pandangan emak terlihat kosong.
“Mak, daripada melamun, bagaimana kalau emak makan malam dengan sayur nangka buatan Denok?” Jaya menawari emak sayur masakan istrinya.
“Nanti saja, aku tahu pasti lezat masakan menantuku,” jawab emak penuh pujian tapi terdengar datar.
“Pasti Mak. Apa yang Emak pikirkan sekarang?” Lelaki berkulit coklat itu penasaran dengan emaknya yang terlihat penuh beban.
“Tanah leluhur kita. Orang-orang bengis dan tak jelas itu siap memorak-porandakan rumah kita, mushola, bahkan makam kampung tempat nenek moyang dan bapakmu istirahat tenang di sana,” jawaban emak terlihat sangat emosional.
“Benar Mak. Mereka orang-orang berduit. Apa pun keinginan mereka, semua sanggup mereka dapatkan,” Jaya sependapat dengan Emak, terlihat pasrah.
“Jadi kau akan menyerah begitu saja? Kau biarkan rumah kita satu-satunya digusur?” Pertanyaan emak seperti tantangan yang teramat berat.
“Apa yang Mak inginkan dariku?” Jaya penasaran.
“Bicaralah dengan Jali, ia yang harus bertanggung jawab,” perkataan emak seperti maklumat. Jali adalah kepala desa Kampung Tembikar, tempat mereka tinggal.
“Ya Mak,” Jaya berjanji kepada emak, seraya mengajaknya masuk ke dalam rumah bambu tempat mereka tinggal. Angin laut makin kencang, mampu menembus pohon-pohon bakau yang berdiri kokoh di sepanjang empang depan rumah, hingga menimbulkan suara derak di pintu reyot.
***
Pagi yang kacau di Kampung Tembikar. Orang-orang berteriak tak karuan, seolah tak lagi memiliki kesabaran. Kantor kepala desa masih terlihat sepi. Biasanya pukul 8.00 WIB, sudah terlihat aktivitas di tempat itu. Tapi hingga pukul 10.00 WIB, keadaan balai desa sepi. Emosi warga tak terkendali.
“Jali! Keluar kau! Dasar pecundang!” Kemarahan warga tak terbendung.
“Jelaskan kepada kami, mengapa kau jual laut, empang, bahkan rumah kami!” Yang lain berteriak.
“Bahkan pulau tempat kita berpijak, kau jual juga! Di mana otakmu?” Nada keras terdengar dari balik pagar balai desa yang terkunci.
“Jali, jelaskan siapa orang-orang yang kau datangkan hampir setiap hari untuk meneror kami?” Yang lain menimpali.
Keadaan makin riuh. Kampung Tembikar seperti kehilangan hening. Tak lagi kampung dengan desau angin laut yang tenang, atau canda anak nelayan kegirangan menyambut ayah mereka pulang dari laut dengan hasil lumayan. Sejak munculnya pagar-pagar laut di kawasan mereka tinggal, hidup sehari-hari menjadi bergolak. Kondisi kemiskinan terasa makin mendera. Dengan perahu tua yang sederhana, nelayan harus memutar lebih jauh jika ingin menjaring ikan di laut, karena keberadaan pagar laut yang berjajar seperti prajurit siap perang. Seperti beradu muka dengan penjajah di masa lampau. Hampir tiap malam mereka sulit tidur. Seringkali harus berjaga hingga dini hari. Karena lengah sedikit, empang-empang yang merupakan sumber penghasilan akan lenyap dari pandangan, karena alat berat yang dioperasikan oleh orang-orang proyek itu, leluasa menguruk semuanya tanpa ampun. Benar-benar gila. Mirip monster. Warga nyaris putus asa. Tanah dan rumah dihargai tak seberapa. Mengenaskan. Setelah itu dipaksa meninggalkan tempat mereka. Ke mana harus pergi? Jika orang kaya, mungkin masih lumayan jumlah uang pengganti yang diterima dan mereka dapat membeli rumah baru di tempat lain. Tapi bagaimana dengan orang-orang miskin, renta, sebatang kara? Kehilangan segalanya. Mata pencaharian dan rumah di masa tua. Sungguh miris. Telantar di negeri sendiri. Warga terpinggirkan itu ingin berteriak sekeras-kerasnya. Tapi semuanya sia-sia. Sepertinya tak ada yang tulus membela mereka. Karena yang mengelola negeri ini seolah juga telah kehilangan taring dan gigi. Yang jelas semua ini karena uang. Sangat mungkin, rakyat kecil akan terusir dari rumahnya, menjadi pengemis atau gelandangan di jalanan. Tak ada yang peduli. Setelah itu tanah tempat mereka dilahirkan dan tinggal, akan digantikan bangunan megah, di mana penghuninya sosok asing yang memiliki banyak uang. Sosok asing yang tak paham bahwa tanah yang mereka tempati hasil merampok harta orang miskin yang mulutnya dibungkam.
Menjelang petang kekacauan di Kampung Tembikar belum ada tanda-tanda berakhir. Jali sang kepala desa tak menunjukkan batang hidungnya. Warga akhirnya mengalah dan pulang. Tak mudah meredam kemarahan, tapi masih sanggup menyimpan kesabaran untuk esok hari, karena mereka yakin masih ada harapan.
***
Pagi sedikit mendung di Kampung Tembikar. Hujan yang turun semalam, menyebabkan kampung tergenang. Ini terjadi sejak ada pembangunan besar-besaran di sekitar kampung. Air hujan yang biasanya mengalir lewat sungai kampung, tersumbat karena kegiatan proyek yang tidak manusiawi itu. Proyek yang pasti menguntungkan pemerintah, tapi sangat menyakiti warga kampung.
“Denok, di mana suamimu?” Tanya Emak kepada menantunya.
“Di empang Mak, setelah itu langsung ke balai desa. Warga berkumpul di sana sekarang. Mereka berniat mencari tahu segala hal tentang proyek dan pagar laut yang sangat merugikan warga,” jawab istri Jaya.
“Jadi yang kemarin belum selesai urusannya?”
“Belum Mak. Kemarin Pak Jali tidak di tempat,”
“Lha, terus kapan Jaya pergi mencari ikan?”
“Paling nanti mancing beberapa ekor saja di empang. Kalau harus menjaring pakai perahu, harus memutar Mak, melewati pagar laut, jauh, boros bahan bakar,” Denok menegaskan.
“Nok, jangan lupa ya, bilang ke Jaya, jangan sampai kita dipaksa meninggalkan Kampung Tembikar. Kita harus berani menghadapi orang-orang asing itu.” Pesan emak kepada menantunya.
“Warga kampung sedang memperjuangkan itu Mak. Tenang saja, apapun yang terjadi aku akan selalu ada untuk Emak,” kata Denok kepada ibu mertuanya, sangat mengharukan.
“Benar ya Nok, Jaya anakku semata wayang, kau menantu yang sangat baik. Aku tak bisa membayangkan jika kita terusir dari tanah ini, ke mana harus pergi?” Ada kekhawatiran mendalam di wajah emak.
“Jangan khawatir Mak. Semua akan baik-baik saja,” Denok menenangkan sambil memeluk perempuan yang rambutnya telah memutih itu.
Keduanya terlihat lebih tenang. Mereka berharap ada kabar membahagiakan dari balai desa.
***
Warga Kampung Tembikar berkerumun lagi di balai desa. Terdengar sorakan di barisan depan. Jaya terlihat di tempat itu, tapi ia masih terlihat bingung dengan apa yang terjadi.
“Jali! Jali! Rasakan akibatnya!” Teriak seseorang yang berdiri dekat pintu pagar. Terlihat Jali dan beberapa perangkat desa dibawa petugas polisi.
“Apa yang terjadi dengan Jali?” Tanya Jaya kepada temannya yang juga seorang nelayan.
“Ia dan orang-orang itu mungkin terlibat dalam kasus pagar laut,” jawab Rusli sahabatnya.
“Kasihan. Semoga semuanya dilancarkan. Terus bagaimana dengan keberadaan pagar laut?” Jaya terlihat masih penasaran.
“Tadi ada petugas yang mengumumkan bahwa pagar laut secepatnya dibongkar. Apakah kamu datang terlambat sehingga ketinggalan informasi?” Berita yang diterima dari Rusli benar-benar membuat Jaya ingin melonjak.
“Maaf, tadi aku mampir dulu ke empang. Wah, benar-benar berita bagus. Berarti kita bisa leluasa melaut lagi. Bukankah begitu kawan?” Tanya Jaya ke Rusli.
Jaya dan Rusli menyatukan tangan mereka. Ada kegembiraan di sana, walau mungkin hanya sesaat. Jaya masih ingat pesan emak. Jangan sampai mereka terusir dari tanah leluhur. Segera ia bergegas pulang, mengabarkan sesuatu yang cukup membuatnya bahagia, mungkin juga untuk emak. Tak lama lagi ia akan kembali menjaring ikan lebih leluasa, jika pagar laut telah dibongkar. Keberadaan pagar laut benar-benar membuat nelayan pusing kepala. Bahkan beberapa kali lambung perahunya sobek karena beradu fisik dengan pagar laut jahanam itu.
“Jaya, berarti sebentar lagi kamu bisa melaut?” Tanya emak terlihat sumringah, setelah mendengar banyak cerita dari anaknya. Jaya hanya tersenyum mengangguk.
“Apakah kita akan tinggal di sini selamanya? Menjaga tanah leluhur kita?” Pertanyaan emak sulit dijawab, bahkan mampu membuat istrinya, berlinang air mata.
“Semoga Mak. Tetap berusaha keras dan memohon kepada Yang Kuasa. Yang penting masih ada jalan ke laut untuk warga Kampung Tembikar,” Jaya berkata sambil memeluk emak dan istrinya. Mereka saling menguatkan. Mereka masih memiliki harapan dalam ketidakpastian.
Tangerang, 26 Februari 2025