Cerpen Arfiza Nabila
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba) |
Dari sudut mata, tampaklah sebuah perahu kecil melintasi hamparan luas air asin berwarna biru tua. Perahu itu bergerak perlahan namun mantap, meskipun mengangkut tiga orang di atasnya. Dua dari mereka terlihat begitu senang, sorot matanya memancarkan kebahagiaan, seolah-olah kembali ke pelukan rumah setelah lama terpenjara dalam rutinitas kota. Mereka tak henti-hentinya memanjatkan rasa syukur, karena akhirnya dapat menikmati alam yang luas tanpa sekat ini. Di kejauhan, lumba-lumba melompat bergantian, mempercantik pemandangan, sementara ombak kecil mengguncang perahu seolah ingin menantangnya untuk tetap seimbang. Di kala itu pula, langit yang mulai tersaput jingga dihiasi kicauan burung, menciptakan suasana yang nyaris sempurna.
Namun keindahan itu pudar perlahan ketika Ela, yang sedari tadi mengamati kakaknya Eli dengan ekspresi bingung, kini turut memperhatikan sesuatu yang mengganggu di permukaan laut. Pandangannya tertuju pada sederetan bambu tinggi bercelah, menyerupai pagar besar yang membatasi lautan. Kebingungan menguasai pikirannya. Batinya dipenuhi tanya—apakah perahu seperti milik kakeknya itu tak lagi bebas berlayar? Atau mungkinkah pagar itu dibuat untuk alasan tertentu seperti membatasi pergerakan ikan? Bingung dengan segala dugaan yang menumpuk di kepalanya, Ela memutuskan untuk bertanya langsung kepada sang kakek, yang terlihat santai mendayung sambil menyunggingkan senyum hangatnya.
“Kakek, apakah laut kita kini dibatasi?” tanyanya polos.
Kakeknya menjawab dengan tenang, “Tidak, Ela. Kita masih bisa berlayar ke sana.”
“Tapi bagaimana caranya, Kek? Bambu-bambu itu tinggi sekali dan tampaknya panjang,” sela Eli, yang juga penasaran dengan apa yang baru saja dibicarakan adiknya.
“Kakek hanya perlu memutar lebih jauh melewati jalur lain untuk menuju lokasi penangkapan ikan,” jelas sang kakek.
“Bukankah bakal melelahkan harus mendayung lebih lama? Lagipula, apa benar pagar itu begitu penting fungsinya?” Ela kembali bertanya, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu. Namun sebelum kakek sempat menjawab, seorang nelayan lain mendekati perahu mereka sambil mendayung. Meski terlihat sibuk, ia menangkap obrolan Ela barusan.
“Izinkan saya menjawab pertanyaan cucumu ini ya, Kang,” ujar nelayan tersebut dengan ramah. “Dek, pagar laut ini bermanfaat untuk mengurangi abrasi atau pengikisan tanah di pesisir. Itu sebabnya saya dan beberapa nelayan lain ikut serta dalam pembuatannya saat diminta membantu oleh pihak yang membawa ide ini.”
Mendengar penjelasan tersebut, Eli hanya diam sambil memeriksa layar ponselnya. Namun tiba-tiba ia mengangkat wajah dan bertanya tegas, “Apa ini legal?”
Pertanyaan mendadak itu membuat si nelayan terdiam sesaat. Ekspresinya sempat terguncang namun segera berubah menjadi senyuman lebar—meski terkesan agak canggung. “Waduh... kalau soal legal atau nggak, saya nggak tahu ya. Tapi rasanya sih legal. Mana mungkin program sebagus ini ilegal, Dek!”
“Belum tentu juga,” sela kakek Eli dan Ela dengan nada serius. “Menurut saya, Anton, kamu hanya tahu sisi baiknya saja tanpa mempertimbangkan dampak lain.”
“Sok tahu kamu, Kang,” sahut Anton ketus sambil mempercepat kayuhannya menjauh dari perahu mereka.
Pertanyaan-pertanyaan yang menyelubungi benak Ela dan Eli belum sepenuhnya terjawab. Namun suasana mendung mulai menyapu langit, disertai ombak yang semakin besar dan arus air yang kian kuat dan tak teratur. Dengan bijaksana, sang kakek memutuskan untuk kembali ke rumah mereka di pesisir demi keselamatan semua orang. Kakak-beradik itu memang tengah menginap di rumah sang kakek karena orang tua mereka sedang bepergian ke luar kota.
Dalam perjalanan pulang, Ela duduk diam menikmati ketenangan laut meski cuaca makin suram. Ia mendengarkan irama ombak yang bertemu dengan rintik hujan—menciptakan harmoni damai yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Sebaliknya, Eli terus berkutat dengan ponselnya, berusaha
Eli dan Ela mencoba menggali informasi mengenai pagar yang sejak tadi membuat mereka bingung sekaligus penasaran, terutama setelah mendengar ucapan Kakek Anton, teman sang kakek. Mereka bertanya-tanya mengapa Kakek Anton begitu yakin dengan proyek pembuatan pagar tersebut, meski kenyataan mengharuskan mereka menempuh jalan memutar untuk sampai ke tempat penangkapan ikan. Siapa sebenarnya penggagas program ini? Pikiran Eli dipenuhi tanda tanya. Ia menopang dagunya sambil memandang ke sisi kanan, alisnya berkerut menunjukkan rasa ingin tahunya yang mendalam. Sementara itu, Ela hanya tertawa kecil melihat sikap serius kakaknya. Ia tahu betul, kalau sudah penasaran, Eli akan fokus sepenuhnya, hingga mungkin tak sadar jika ada serangga terbang mendekat.
Waktu terus berjalan. Malam yang awalnya pekat kini telah berganti dengan pagi yang cerah. Suara burung-burung menyambut mentari seolah berbincang dalam irama ceria, sementara angin berhembus kencang, menggoyangkan dahan-dahan pohon yang menari ke kanan dan kiri. Namun, kedamaian pagi itu segera terusik. Keramaian mendadak melanda sekitar rumah mereka. Suara perdebatan terdengar nyaring, saling bersahut dan bertabrakan. Banyak orang bersuara, saling memotong pembicaraan, tak ingin pendapat mereka diabaikan. Situasi yang semula tenang berubah jadi gaduh dan penuh ketegangan. Tak sedikit kata yang meluncur dari mulut orang-orang, penuh amarah dan saling tuduh hingga konflik tak kunjung usai.
Kakek akhirnya memutuskan keluar rumah dengan langkah berat untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi. "Apa sebenarnya yang kalian ributkan?" tanyanya kepada para lelaki yang berkumpul di sana, nada suaranya penuh keheranan. Begitu pertanyaan itu terlontar, Kakek Anton menjawab sambil meluapkan kekesalannya. "Lelah sekali, Kang! Sudah harus memutar jauh untuk sampai ke tempat menangkap ikan, sekarang malah sulit dapat ikan pula!" Sahutannya diikuti oleh nelayan lain. "Betul, Kang! Saya menunggu berjam-jam tapi tetap tak berhasil menangkap ikan," keluh salah seorang tetangga kakek. "Dan kalau dapat pun, ikannya kecil-kecil," sela nelayan lain dengan nada kesal.
Ela dan Eli yang sejak tadi diam-diam mendengarkan akhirnya memberanikan diri untuk menyela diskusi tersebut. "Maaf sebelumnya, Bapak-Bapak," ujar Eli hati-hati, "tapi saya ingin tahu, apakah kalian sudah benar-benar memahami penyebab masalah ini?" Warga yang ditanyai tampak tergagap sebelum akhirnya memberi jawaban penuh dugaan. "Belum sih, tapi saya yakin ini ulah kelompok nelayan dari pemukiman sebelah. Mereka pasti mengambil banyak ikan tanpa memikirkan nasib kami," ucap seorang lelaki yang tampak seperti pemimpin kelompok nelayan di sana. Namun, pihak lain segera membantahnya dengan nada tinggi. "Jangan asal bicara! Justru kalian yang sudah merampas bagian kami!" Tuduhan saling dilempar, membuat suasana semakin panas.
Melihat percakapan yang makin memanas, Eli hanya bisa menggeleng kebingungan, sementara Ela memandang kakek dengan penuh keprihatinan. Wajah kakek terlihat lelah menanggung situasi ini—senyumnya sirna, matanya redup, dan ia kerap menghela napas berat. Kekhawatirannya semakin bertambah jika konflik ini terus berlanjut hingga mengancam penghasilan nelayan. Belum lagi masalah baru yang muncul saat musim angin barat tiba: jalan memutar menjadi mustahil dilalui karena jaring harus ditebar di area yang kini terhalang oleh pagar laut. Bahkan risiko kerusakan perahu akibat terkena tiang bambu runcing juga menjadi ancaman nyata.
Dua bersaudara itu lantas berusaha memahami lebih dalam akar masalah tersebut. Mereka berdiri di tepi pantai, menatap luasnya lautan biru berkilauan yang tersentuh sinar matahari pagi. Hingga tiba-tiba Ela menepuk pundak kakaknya dengan semangat. "Aku tahu, Kak! Aku tahu apa penyebab semua ini!" Wajah Eli seketika berubah ceria dan penasaran mendengar pernyataan adiknya. "Coba ceritakan! Apa yang kamu temukan?" Ela menunjuk ke arah pagar di kejauhan sambil berkata "Kak, sejak tadi aku terus memperhatikan laut itu, tapi pagar pembatas di sana menghalangi pandanganku. Aku baru saja mencari informasi di ponsel, dan ternyata pagar itu punya banyak kekurangan. Bahkan, efeknya bisa sangat berbahaya untuk makhluk yang hidup di dalam laut," ujarnya antusias.
Eli tersenyum bangga mendengar penjelasan Ela. "Wah, itu informasi yang sangat bagus, Ela. Aku bangga punya adik secerdas kamu. Ayo, kita sampaikan ini kepada para nelayan tadi!"
Tanpa ragu, mereka berdua kembali ke tempat para nelayan berkumpul sebelumnya. Namun, area itu kini sunyi. Para nelayan tampaknya sudah kelelahan setelah beradu argumen, dan hanya terduduk di atas pasir sambil merenungi nasib mereka.
Ela ragu ingin berbicara, tetapi saat matanya bertemu tatapan kakek, keyakinannya semakin kuat bahwa informasi ini harus diketahui oleh para nelayan. Ia pun memberanikan diri untuk berbicara.
"Maaf mengganggu waktu istirahat bapak-bapak, namun menurut saya, penting untuk mengetahui bahwa masalah ini bukan semata-mata karena salah satu kelompok nelayan mengambil ikan terlalu banyak. Bukankah kedua pihak sama-sama mengalami kesulitan dalam mencari ikan? Jika bapak-bapak memperhatikan ke arah laut, dapat terlihat adanya bambu tinggi seperti pagar yang membatasi lautan. Memang benar, pagar ini memiliki banyak manfaat yang pasti sudah bapak-bapak ketahui. Namun, apakah bapak-bapak menyadari bahwa setiap kelebihan selalu ada kekurangan? Terlebih lagi, jika kekurangan tersebut sampai membatasi kebebasan bapak-bapak untuk melaut atau bahkan mengganggu ekosistem laut. Struktur bambu dan pemberat pasir yang digunakan untuk membangun pagar tersebut bisa merusak habitat alami ikan, udang, dan kerang. Karena itu, saya berharap permasalahan ini bisa diselesaikan dengan baik. Terima kasih banyak karena sudah bersedia mendengarkan," jelas Ela sambil tersenyum.
Wajah para nelayan kini terlihat lebih cerah. Mereka mulai mengangguk sebagai tanda setuju dengan penjelasan Ela. Beberapa bahkan berkata bahwa mereka baru saja memahami sesuatu yang selama ini tak mereka ketahui, membuat Ela merasa seperti seorang guru yang gembira saat murid-muridnya berhasil memahami pelajaran baru. Salah seorang nelayan kemudian bertanya, "Jadi, kita harus melaporkan pagar laut yang tiba-tiba muncul dan merugikan kami?" Serempak, para nelayan berteriak, "Tentu!"
Keputusan pun dibuat. Mereka melaporkan masalah tersebut kepada Dinas Kelautan dan Perikanan, berharap ada solusi yang memihak mereka. Namun, setelah menunggu cukup lama, harapan itu berubah menjadi kekecewaan. Tak ada penyelesaian yang diberikan. Oleh karena itu, para nelayan memilih untuk mengambil tindakan sendiri. Mereka bersepakat membongkar pagar laut tersebut bersama-sama sambil menyelidiki siapa pihak di balik pemasangan pagar ilegal itu. Bila hal ini tidak diusut dan tersebar ke khalayak luas, mereka khawatir semua akan bersikap seolah-olah tak bersalah dan enggan untuk membantu.