Thursday, March 13, 2025

Cerpen Lomba | Arkanjela Sonia Wanwol | Keadilan Mati, Tersapu Ombak Ketamakan

Cerpen Arkanjela Sonia Wanwol 



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)  


Di negeri khatulistiwa yang kaya raya ini, hiduplah si Pak Aldo, seorang nelayan tua yang usianya sudah sepantun laut. Kulitnya keriput seperti kerang tua, rambutnya putih seperti busa ombak, dan matanya tajam memandang laut bak elang mencari mangsa. Pak Aldo adalah legenda di desanya, kisah-kisah petualangannya di laut bergema di telinga anak cucu selama berabad-abad.


Namun, seiring berjalannya waktu, lautan yang pernah menyayangi Pak Aldo kini berubah menjadi monster yang menakutkan. Laut yang pernah berlimpah ikan kini melambai kosong, seperti ibu yang kehilangan anak-anaknya. Yang terlihat hanya pagar bambu raksasa, menyerbu pantai seperti ular sagu yang merayap lahan subur.


"Hah! Pagar bambu? Ini apa lagi ini?" gerutu Pak Aldo, menunjuk pagar bambu yang membentang jauh di hadapannya. "Di mana lagi aku mau cari ikan kalau laut pun sudah dipagari?"


"Pak, itu pagar buat lindungin terumbu karang," jawab arkan, cucu Pak Cangkir, yang sedang mengerjakan PR-nya di teras rumah. "Katanya buat jaga-jaga supaya laut tetap indah dan ikan tetap banyak."


"Hah! Terumbu karang? Itu loh yang di balik pagar?" celoteh Pak Aldo. "Mana ada terumbu karang di sana. Yang ada cuma rumah mewah di tepi pantai dan kapal- kapal besar yang mau mencuri ikan kita."


Arkan tertawa kecil, "Kakek, jangan ngawur. Itu loh, program pemerintah buat jaga laut."


"Program pemerintah?" Pak Aldo menggelengkan kepala. "Program pemerintah yang nggak jelas itu. Dulu aku diajarin nenek buat nyari ikan di laut, sekarang diajarin buat nyari ikan di balik pagar."


Pak Aldo kemudian bercerita kepada Arkan tentang kejadian selama beberapa tahun terakhir di desa nelayan mereka. Kisah di mana nelayan lainnya semakin sulit mencari ikan karena pagar-pagar bambu yang menutupi pantai, dan kisah di mana para pejabat yang mengusung program "Laut Kita" justru meraup keuntungan dari penjualan ikan yang diambil dari balik pagar tersebut.


"Kakek, aku ngerti maksud kakek. Tapi, kan itu buat sejahteraan kita juga, kakek."


"Sejahtera?" Pak Aldo terkekeh. "Sejahtera buat siapa? Buat nelayan kayak aku yang harus ngeluarin uang buat beli ikan? Buat para pejabat yang nggak pernah ngerasain susahnya nyari ikan?"


"Kakek!" Arkan menahan tangan kakeknya. "Jangan ngomong gitu, kakek. Kan itu buat kebaikan kita juga. Kita harus percaya sama pemerintah."


Pak Aldo tertawa lemah. "Percaya? Percaya sama siapa, Arkan? Sama para pejabat yang nggak pernah menginjak pasir pantai, yang cuman ngerti nyari keuntungan dari program pemerintah?"


Pak Aldo terdiam sejenak, kemudian menatap pagar bambu yang membentang jauh di depan mata. "Keadilan mati, Arkan, tersapu ombak ketamakan. Laut yang seharusnya menjadi harapan kita, kini berubah menjadi monster yang menakutkan."


Arkan menangis terisak. Ia tak mengerti bagaimana bisa negaranya yang kaya raya ini menyerahkan laut yang merupakan sumber kehidupan kepada segelintir orang yang rakus. Ia tak mengerti bagaimana bisa keadilan mati tersapu ombak ketamakan.


Sore itu, Pak Aldo mengajak Arkan ke pantai untuk mencari ikan. Ia berharap bisa mengajarkan Arkan tentang kehidupan laut yang sesungguhnya, jauh dari pagar bambu yang menyeramkan itu. Namun, setibanya di pantai, mereka dibuat terkejut oleh suasana yang mengerikan.


"Ini apa lagi ini?" teriak Pak Aldo, menunjuk sekelompok orang yang sedang mengeroyok seorang nelayan tua.


"Mereka bilang nelayan itu masuk ke area terlarang yang dipagari!" jawab Arkan, menunjuk seorang petugas keamanan yang berbadan gempal dengan senyum sinis.


"Area terlarang? Ini kan laut! Ini kan harta benda kita semua!" Pak Aldo mengepalkan tangannya. "Keadilan mati, Arkan! Terbuang di sampah-sampah ketamakan."


"Kakek!" Arkan memeluk kakeknya. "Kita harus membantu nelayan itu!"

 

Pak Aldo menghela napas, "Tapi, bagaimana kita bisa melawan? Kita hanya nelayan kecil yang tak berdaya."


Arkan menarik tangan kakeknya. "Kakek, kita harus berjuang! Kita harus menunjukkan bahwa keadilan masih ada, bahwa laut ini milik kita semua!"


Dengan tekad yang kuat, Pak Aldo dan Arkan mencoba menolong nelayan tua itu. Mereka mencoba menarik nelayan tua itu dari kerumunan orang-orang yang mengeroyoknya. Namun, mereka terpaksa mundur ketika para petugas keamanan mengancam mereka dengan tongkat kayu.


"Kakek! Kita harus lapor ke polisi!" teriak Arkan.


"Lapor ke polisi?" Pak Aldo tertawa miris. "Nanti malah dibilang nelayan illegal yang nggak ngerti aturan."


Pak Aldo dan Arkan terpaksa menyerah. Mereka hanya bisa menyaksikan nelayan tua itu diseret oleh para petugas keamanan ke dalam mobil patroli.


"Keadilan mati, Arkan, tersapu ombak ketamakan!" ucap Pak Aldo, dengan nada yang mendalam. "Laut kita sudah dicuri oleh orang-orang yang serakah."


Arkan menangis terisak, hatinya hancur melihat keadilan mati tersapu ombak ketamakan. Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan terus berjuang untuk mencari keadilan, untuk melindungi laut yang merupakan warisan nenek moyangnya. Ia berharap suatu hari nanti, keadilan akan kembali menyeruak di antara ombak ketamakan. Ia berharap suatu hari nanti, laut akan kembali menjadi harapan bagi rakyat kecil, bukan monster yang menakutkan.


Namun, bagaimana caranya Arkan bisa mencari keadilan di tengah samudra ketamakan yang luas itu?