Thursday, March 13, 2025

Cerpen Lomba | Irma Ummiyatul Hasanah | Nyanyian Laut yang Dibungkam

Cerpen Irma Ummiyatul Hasanah



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)  


Di sebuah desa pesisir yang tenang, kehidupan para nelayan bergantung pada laut yang telah menjadi bagian dari mereka selama bertahun-tahun. Laut bukan sekadar tempat mencari nafkah, tetapi juga saksi bisu atas sejarah dan kehidupan mereka. Di sini, setiap embusan angin membawa cerita, setiap ombak yang pecah di karang adalah nyanyian bagi mereka yang hidup dari lautan. Namun, ketenangan itu mulai terusik ketika sebuah proyek besar datang tanpa permisi.


Pemerintah dan perusahaan swasta menggembar-gemborkan proyek reklamasi sebagai wujud pembangunan dan modernisasi. Janji tentang lapangan pekerjaan dan kemajuan ekonomi terdengar indah di atas kertas. Tetapi bagi nelayan dan warga desa, itu berarti kehilangan laut yang menjadi sumber kehidupan mereka. Bentangan beton mulai didirikan, memagari akses nelayan ke perairan yang selama ini menjadi rumah mereka. Pagar laut itu bukan hanya batas fisik, tetapi juga simbol dari keterasingan dan ketidakadilan.


Debur ombak menyapu pesisir, membawa serta aroma garam yang pekat. Langit jingga mulai meredup saat Surya berjalan di atas pasir yang mulai dingin. Ia menatap ke arah laut, ke batas yang kini dipagari oleh beton-beton kokoh yang berdiri tanpa kompromi. Sejauh mata memandang, bentangan pagar laut itu seperti garis batas yang memisahkan laut dari nelayan, tanah dari pemilik aslinya, hidup dari keberlanjutan.


"Kita sudah tidak punya ruang, Nak," suara Pak Tamin, ayahnya, terdengar lirih di sampingnya.


Surya mengangguk pelan. Sudah berbulan-bulan mereka mencoba melawan pembangunan yang merampas laut mereka. Para nelayan di desa ini hidup dari hasil tangkapan di perairan yang kini dipagari. Pembangunan reklamasi, kata pemerintah. Demi ekonomi, demi kemajuan, demi wisata.


"Tapi tanpa laut, kita makan apa?" tanya Surya suatu kali kepada petugas yang datang ke desa mereka.

 

Jawaban yang ia dapat hanya janji kosong tentang lapangan pekerjaan, ganti rugi, dan masa depan yang lebih cerah. Namun, yang terjadi adalah nelayan kehilangan tempat mencari ikan, warga desa tak lagi bisa menjemur hasil panen rumput lautnya, dan tambak yang dulu menjadi sumber nafkah mulai berubah menjadi kolam buatan untuk hotel mewah.


Malam itu, di rumah panggung kecil mereka, para nelayan berkumpul. Ada yang marah, ada yang putus asa, ada pula yang masih menyimpan harapan.


"Kalau kita diam saja, besok bukan cuma laut yang dipagari, tapi rumah-rumah kita juga!" seru Pak Tamin.


Surya mengepalkan tangannya. Ia tahu, perjuangan ini tak akan mudah. Namun, mereka tak bisa menyerah. Laut bukan sekadar hamparan air asin. Ia adalah kehidupan. Dan hidup mereka tak boleh dipagari.


Pagi itu, saat matahari mulai menanjak, Surya dan para nelayan lainnya berjalan menuju pagar beton yang membatasi mereka dari laut. Mereka membawa cat, spanduk, dan suara. Di atas beton yang dingin, mereka menuliskan satu kalimat besar: Laut Ini Rumah Kami, Bukan Milik Mereka!


Angin laut berhembus kencang. Dan perjuangan baru saja dimulai.


***


Malam setelah aksi itu, suara motor-motor besar meraung di jalan sempit desa. Sejumlah pria berjaket hitam turun, menyusuri gang-gang dengan wajah penuh intimidasi. Warga yang melihat mereka segera masuk ke dalam rumah, menutup pintu rapat-rapat. Suasana mencekam.


Surya dan ayahnya masih berada di rumah panggung mereka, duduk di ruang tengah, membahas langkah berikutnya.


"Mereka pasti akan menekan kita," kata Pak Tamin. "Tapi kita harus tetap berdiri, Nak."

 

Tak lama, ketukan keras terdengar di pintu rumah mereka. Surya berdiri, menatap ayahnya, lalu membuka pintu dengan hati-hati. Tiga pria berjaket hitam berdiri di sana.


"Hentikan aksi kalian. Ini bukan urusan kalian," kata salah satu dari mereka, matanya tajam menusuk.


"Ini tanah kami. Ini laut kami," jawab Pak Tamin dengan tenang. "Kami hanya menuntut hak kami."


Pria itu mencibir. "Hak? Semua ini demi kemajuan. Kalian hanya menghambat pembangunan."


"Pembangunan untuk siapa? Kalau kami mati kelaparan, siapa yang kalian bangun?"


Tanpa menjawab, pria itu mundur selangkah, lalu menatap tajam sebelum berbalik pergi. Surya mengepalkan tangannya. Ia tahu, ancaman itu bukan sekadar kata-kata kosong.


***


Hari-hari berikutnya penuh ketegangan. Nelayan yang pergi melaut sering menemukan jaring mereka dirusak. Sejumlah orang mulai menerima ancaman agar menghentikan perlawanan. Beberapa tetangga bahkan mulai menyerah dan menerima tawaran pindah dengan ganti rugi yang tak sebanding.


Puncaknya terjadi ketika salah satu perahu nelayan ditemukan terbakar di tepi pantai. Tak ada saksi mata, tapi semua tahu siapa dalangnya. Kejadian itu menjadi pukulan telak bagi warga desa. Beberapa mulai ketakutan dan menarik diri dari perlawanan. Namun, bagi Surya, itu adalah sinyal bahwa mereka tak boleh menyerah.


Suatu malam, Surya sedang duduk di dermaga kecil, menatap laut yang gelap. Suara langkah kaki terdengar mendekat. Ia menoleh dan melihat tiga pria berjaket hitam yang dulu datang ke rumahnya.


"Kau terlalu banyak bicara," kata salah satu dari mereka.

 

Surya merasakan bahaya. Ia berdiri, bersiap berlari, tapi salah satu pria mencengkeram lengannya.


"Kami sudah memberi peringatan."


Dorongan kuat membuat Surya terhuyung ke belakang. Sebelum ia sempat bertahan, tubuhnya didorong ke laut. Air asin menerjang wajahnya, dan dalam gelap, ia berusaha berenang ke atas.


Namun, suara teriakan dari atas dermaga membuat pria-pria itu melarikan diri. Pak Tamin dan beberapa warga datang, menarik Surya ke daratan. Nafasnya tersengal, tubuhnya gemetar.


"Mereka tidak akan berhenti, Nak," kata Pak Tamin, suaranya penuh kekhawatiran.


Surya menatap ayahnya, lalu ke arah laut yang terus bergelora. Dalam hatinya, ia tahu—ini baru permulaan.


Situasi yang semakin mencekam membuat Surya dan warga desa sadar bahwa perlawanan tak cukup hanya dengan aksi protes. Mereka mulai mencari jalur hukum, menggandeng lembaga bantuan hukum dan aktivis lingkungan. Berbagai media juga mulai menyoroti konflik ini, memberikan tekanan yang semakin besar kepada pemerintah.


Dalam sebuah aksi besar yang dihadiri ribuan orang, warga desa, mahasiswa, dan aktivis bersatu untuk menolak reklamasi. Tekanan publik semakin meningkat hingga akhirnya pemerintah setempat mengeluarkan kebijakan untuk meninjau ulang proyek tersebut.


Meski kemenangan itu belum sepenuhnya berpihak pada mereka, setidaknya langkah besar telah dimulai. Pagar laut masih berdiri, tetapi suara mereka tidak lagi dibungkam. Surya berdiri di tepi pantai, memandang laut yang tetap bergelora, membawa harapan baru.


"Ini belum selesai," katanya kepada ayahnya.


Pak Tamin tersenyum dan menepuk bahu putranya. "Tapi kita sudah membuktikan bahwa kita bisa melawan."

 

Nyanyian laut yang sempat dibungkam kini menggema kembali, membawa semangat perjuangan yang tak akan pernah padam.


Di kejauhan, pagar laut tetap berdiri kokoh. Tapi perjuangan mereka tidak akan dibungkam.


Hari berikutnya, dukungan semakin besar. Mahasiswa datang ke desa mereka, membawa poster-poster berisi tuntutan penghentian reklamasi. Para aktivis mulai menggelar aksi di kota-kota besar, memaksa pemerintah untuk mendengar.


Di tengah gelombang protes itu, Surya berdiri di hadapan warga desanya, suaranya lantang meski tubuhnya masih lelah.


"Laut bukan hanya air, ia adalah darah yang mengalir di nadi kita. Ia memberi kita makan, tempat bernaung, dan kehidupan. Jika mereka mengambil laut, mereka mengambil jiwa kita. Apakah kita akan diam saja?"


Angin laut berhembus, membawa semangat baru. Perjuangan mereka masih panjang, tapi satu hal pasti—nyanyian laut yang dibungkam tidak akan selamanya diam.