Thursday, July 24, 2025

Esai Rofif Syuja’ Mu’tasyim | Menjalani Hidup Santai

Esai Rofif Syuja’ Mu’tasyim



Suatu hari, orang di sekitar saya berkata bahwa saya orangnya terlalu santai, selalu menunda pekerjaan, dan malas-malasan: tanpa gairah. Namun saya tidak mengiyakan semua perkataan mereka begitu saja. Biarkan saja mereka menilai bagaimana sikap dan perilaku saya, karena kita tidak bisa membatasi penilaian seseorang. Tapi kalau dipikir-pikir, apakah saya sesantai itu?

Bisa jadi, mereka melihat saya ketika memang saya sedang lelah atau memang saya selalu terlihat tanpa gairah di mata mereka. Sering kali saya diberikan sebuah tugas, dan pada akhirnya pun selesai juga. Lantas, sudut pandang mana yang mereka pakai hingga berkata kalau menunda itu sama dengan sebuah kemalasan atau tidak sat-set? Memang, ketika saya diberikan tugas atau pekerjaan, saya tidak langsung mengerjakannya hari itu juga, tapi bukan berarti saya mengabaikan tugas itu. Saya hanya mencoba mencari waktu yang pas sehingga saya bisa menuntaskan semuanya. Pada kenyataannya, ketika dikasih deadline pun, saya sudah menyelesaikannya sebelum waktunya. Koreksi dan kesalahan itu pasti ada, tapi setidaknya saya mampu menyelesaikan tugas itu, bukan?


Sebagai manusia biasa, rasa malas dan menunda itu pasti pernah ada dalam benak. Tinggal bagaimana diri ini melawan atau tertahan. Pada dasarnya, yang dilawan bukanlah orang lain, tapi rasa dalam diri sendiri. Malas dan menunda itu muncul ketika kita sedang asyik bermain HP, namun enggan mengerjakan tugas yang sudah tertunda beberapa hari. Tapi ketika dipaksakan saat itu juga, tinggal kondisi pikiran dan pandangan kita—sudah mampu atau belum?


Ada satu hal yang lucu. Beberapa waktu lalu, saya sedang makan bersama teman-teman. Dan ketika saya makan pun tergolong lama—entah karena kondisi nasi dan lauknya panas, atau memang sambil memainkan gawai. Namun ada orang yang nyeletuk, 


“Ah dia mah makannya lama, pantes aja kalau ngerjain sesuatu juga ikutan lama, alias nggak sat-set.”


Setelah mendengar ucapan itu, saya hanya mendengar tanpa komentar. Saya beri senyum tipis tanda ucapan terima kasih karena sudah berikan komentar kepada saya. Tapi, setelah saya selesai makan, saya mulai berpikir: apa saya semalas itu? Padahal semua tugas dari kepala sekolah pun saya selesaikan. Saya diberi tugas jadi panitia, selesai juga. Saya mengerjakan makalah dari dosen yang terkesan killer, pun saya tuntaskan. Tapi pertanyaan "apakah saya sesantai itu?" belum juga menemukan jawabannya. Saya pun sering bertanya kepada orang-orang yang punya pandangan lain dan yang punya pandangan sama terhadap sikap saya yang santai ini. Atau saya harus mengubah diri menjadi sosok yang sat-set di hadapan mereka? Tapi, apa jaminannya kalau saya bergegas menyelesaikan tugas saat itu, tidak ada tugas-tugas lain yang saya terima kemudian? Tapi, rasanya ingin sekali saya membalas perkataan mereka, “Sesantai-santainya saya, semua kerjaan akhirnya beres kan?” Supaya mereka tak lagi berucap demikian.


Selagi saya masih bisa beraktivitas, berpikir, dan bergerak, pandangan atau penilaian seseorang itu akan selalu ada dan tidak bisa kita tolak. Bahkan, ketika saya tak ada di depan mata mereka pun, mereka masih menganggap saya sedang bersantai-santai entah di mana tempatnya. Karena memang sesantai itu orangnya.


Santai di sini bukan berarti saya menganggap remeh atau menyepelekan setiap tugas atau pekerjaan yang diberikan kepada saya. Tapi, saya akan lebih bisa mengerjakannya secara tepat, bukan cepat. Ketika saya diberikan tugas oleh kepala sekolah, maka saya akan mencerna dulu dan membuat sketsa: bagaimana dan apa dulu yang harus dikerjakan. Karena prinsip saya: apa yang diberikan kepada saya, maka akan saya selesaikan sesuai target. Meskipun tidak ada target, pasti akan selesai, meskipun entah kapan.


Saya pernah baca tentang stoikisme. Tahu apa itu stoikisme? Yaitu aliran filsafat Yunani-Romawi yang menekankan pengendalian diri dan penerimaan terhadap hal-hal di luar kendali manusia. Intinya, stoikisme itu mengajarkan untuk fokus pada hal yang bisa kita kontrol (pikiran dan tindakan), dan menerima apa yang tidak bisa kita kontrol (peristiwa eksternal dan emosi yang ditimbulkan). Dengan begitu, stoikisme membantu setiap individu untuk mencapai ketenangan batin dan kebahagiaan sejati, terlepas dari kondisi eksternal.


Setelah saya merenung, inilah kenyataannya: kita tidak bisa mengontrol peristiwa eksternal, termasuk penilaian orang terhadap kita. Namun jangan pesimis. Kontrol tetap ada pada diri kita. Seperti saya kisahkan di atas, bagaimana ada seseorang menilai kinerja seseorang dari lamanya makan. Namun pada kenyataannya pun, semua tugas yang diberikan akhirnya tuntas tanpa bablas, alias tanpa lewat deadline. Nah, daripada stres mikirin perkataan orang yang negatif, mending fokus saja sama kerjaan kita yang menumpuk itu.


Oh iya, yang tak kalah hebat, tanamkan pada mindset kalian: harus tahan banting di tengah sebuah masalah. Masalah di sini bisa kerjaan, pasangan, kehidupan, dan masih banyak lagi. Yakinlah bahwa sesulit-sulitnya sebuah kerjaan, akan mudah kalau tidak dikerjakan. Haha, bercyanda!


Dalam Islam ada ayat yang sangat familiar: “Sesudah kesulitan pasti ada kemudahan,” di Surah Al-Insyirah ayat 5–6. Allah sampai menyebutkan dua kali di situ. Itu berarti Allah memperkuat kita bahwa apa pun yang kita hadapi saat ini—sesulit apa pun kerjaan dan masalahnya—pasti ada jalan penyelesaiannya.


Maka dari itu, saya sering sekali ketika dapat sebuah kerjaan yang sama, teman-teman hectic alias panik, khawatir tugasnya tidak selesai dan akan kena hukuman. Dan ada yang bertanya pada saya,


“Lu kok nggak buru-buru ngerjain, malah leha-leha?”


Dengan nada lembut saya jawab,


“Santai aja sih.”


Itulah mindset saya. Ketika mereka panik harus bagaimana, di situ saya dengan santai memulai mengerjakan tugas dengan “versi saya”—yakni: “Santai yang penting selesai.”


Pipitan, 22 Juli 2025


______

Penulis


Rofif Syuja’ Mu’tasyim, penulis yang memaksakan diri untuk kembali menulis setelah tulisan terakhir dimuat pada tahun 2022. Sebagai lulusan sastra, sangat tertampar karena sedikitnya karya tulis yang dibuat. Namun, penulis tetap bersantai menikmati kehidupannya.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com


This Is The Newest Post