Cerpen Mufida Saediman
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
“Kamu mau kerjaan? Bayaran 300.000 per hari.”
Karim merinding. Tiga ratus ribu per hari, dalam sebulan dia bisa mengumpulkan sekitar sembilan juta. Pria yang menawarkannya pekerjaan mengeluarkan asap dari mulutnya. Gayanya biasa saja sebenarnya –berbaju kaos oblong, celana panjang, dan topi. Tidak seperti gaya orang kaya di pikiran Karim selama ini. Pria ini lebih cocok menjadi penipu.
“Kerjanya ngapain, pak?” Tapi, Karim masih percaya sedikit pada pria ini.
“Mau atau tidak?”
Karim menggigit gigi bawahnya. “Boleh, deh.”
“Sip. Ini kerja part time, ya. Kita mau lihat dulu kinerjamu bagaimana. Kalau bagus, lanjut. Kalau bagus banget, lebih baik lagi.”
“Kalau bagus banget, kenapa?”
Pria itu membuang puntung rokoknya ke laut. Dia tertawa kecil sambil menatap Karim. “Kalau bagus banget, bisa jadi orang kaya.”
Mata Karim berbinar. Teringat percakapannya dengan Pari, tetangganya yang baru lulus kuliah S1.
“Kuliah 4 tahun, ujung-ujungnya susah nyari kerja. Apa, ya istilahnya? Wasting time kalau kata anak gaul. Lagian, kenapa kau pulang? Bukannya di kota lebih enak?”
“Tujuan merantau itu adalah untuk pulang kampung, Rim.”
Karim mendekat. “Maksudnya?”
“Maksudnya, aku rindu keluargaku.”
Karim mengikuti kepala Pari yang memandang jauh ke kanan. Ada Pak Tahzan, bapaknya Pari yang baru pulang melaut Bersama nelayan lain. “Kapan ya, kita jadi orang kaya? Bagaimana pula rasanya punya… 271 triliun?” Karim bergumam.
Apakah impiannya akan segera terwujud? Apakah saat ini dia sedang mimpi? Bayangkan, ditawari pekerjaan dengan bayaran per hari yang kalau dikumpulkan sebulan, bisa untuk menghidupi keluarganya selama berbulan-bulan ke depan.
“Kerjanya ngapain, Pak?”
Pria itu mengambil kursi plastik yang ada di dekat mereka. Kursi plastik yang memang ada di dalam gubuk tempat beberapa nelayan menyimpan beberapa peralatan perkakas. Kursi itu dia letakkan di luar gubuk, menghadap ke arah laut.
“Kamu duduk di sini dari pukul 7 pagi sampai 5 sore. Tidak boleh kemana-mana sebelum jam kerja selesai, tidak boleh beritahu siapa-siapa kalau kamu lagi kerja. Apapun yang kamu lihat, harus kamu laporkan ke saya. Apapun yang kamu lihat, tidak boleh kamu pertanyakan dan beritahu pada orang lain. Bagaimana?”
Hah! Karim tertawa dalam hati. Pekerjaan macam apa ini? Kedengarannya seperti Mudah sekali, Karim langsung setuju.
“Bisa, Pak.”
Selanjutnya, pria itu meminta nomor telepon Karim. Sebelum pergi, pria itu bahkan sudah memberikannya tiga lembar uang berwarna merah. Karim terkesiap, dia bahkan belum mulai bekerja.
“Kamu duduk di sini. Statusmu masih kerja paruh waktu sampai satu bulan. Selamat bekerja.”
Karim bahagia sekali. Dia duduk sambil menunggu matahari terbit. Tadinya, dia akan pulang ke rumah untuk tidur karena kelelahan setelah ambil shift malam di tempat kerja. Namun, rasa lelahnya langsung sirna begitu dihampiri pria tadi di perjalanan pulang. Karim bersyukur tidak perlu pulang ke rumah pagi ini. Bagi Karim, pulang ke rumah sama seperti pergi ke tempat penghakiman. Semua orang membandingkan dirinya dengan Pari, yang baru saja lulus kuliah. Karim tidak kuliah, dia langsung cari kerja setelah selesai dengan masa putih abu-abunya. Keinginannya untuk kuliah terhambat situasi ekonomi keluarga, memangnya seorang nelayan bisa apa? Dia pun tidak sepintar Pari yang mendapat beasiswa. Naasnya, Bapak malah menyuruhnya untuk ikut melaut bersamanya. Karim tentu menolak. Sejak dulu dia selalu berpikir bahwa menggantungkan nasib pada alam itu tidak berguna. Walaupun pagi ini, dan mungkin seterusnya dia harus memandang laut sampai sore.
Hari ke-5 Kerja Paruh Waktu
Karim mengklaim dirinya sebagai orang paling beruntung di dunia ini. Pekerjaannya lancer dan mulus. Sesuai jobdesc, dia selalu melaporkan apa yang terjadi dan tidak memberitahu siapapun apa yang sedang dia kerjakan. Beberapa orang yang dikenalnya mulai mempertanyakan kenapa dia hanya duduk seharian menatap laut.
Hari kelima bekerja, Karim sudah melihat hal-hal baru. Beberapa orang yang dikenalnya datang membawa bambu dan tanah di dalam karung. Tapi, lebih banyak orang yang tidak dia kenal –sepertinya orang yang berasal dari luar desa, mungkin dari desa sebelah atau kota.
Hari ke-9 Kerja Paruh Waktu
Rumor mulai tersebar bahwa Karim depresi karena kehilangan pekerjaan dan akhirnya jadi orang gila. Karim tidak peduli. Mereka tidak tahu apa-apa soal hidupnya.
Pari baru mendatanginya di hari kesembilan. Karim bingung harus berkata apa pada temannya itu. Pari tidak berkomentar mengenai alasan Karim duduk di kursi menatap laut seharian. Temannya itu malah bercerita hal tidak penting.
“Rim, laut kita ini sepertinya dicuri.”
Karim tidak menjawab.
“Lihat.” Tangan Pari menunjuk jauh ke tengah laut. “Ada kayu-kayu yang dipasang di tengah laut. Berbaris rapi seolah jadi pagar.” Karim menelan ludahnya.
“Hari ini kami mau coba mencabut kayu-kayu itu. Mau ikut?” Wah, harus lapor, nih.
Karim menggeleng. Pari menatapnya agak lama. “Wajahmu sudah gosong kecoklatan ya, seperti nelayan betulan. Okelah.” Pari meninggalkannya.
Hari ke-14 Kerja Paruh Waktu
Minggu kedua bekerja, Karim tambah bersemangat. Apalagi setelah dikabari bos bahwa kinerjanya bagus dan mulai hari ini dia dapat tugas tambahan yang bernilai seratus ribu. Jadi, total gajinya sehari adalah empat ratus ribu. Tugas tambahannya adalah memasang bambu di tengah laut.
Dia melakukannya pagi-pagi buta. Walaupun kesulitan karena bambu yang sangat panjang harus ditanam ke dasar laut, namun dia berhasil. Darah seorang nelayan tidak perlu diragukan lagi dalam dirinya, berenang dan menahan nafas di air bukan hal yang sulit. Dia berniat hanya akan memasang tiga bambu saja hari ini.
Kemarin, ada kekacauan. Nelayan-nelayan di desa saling menuduh mengenai siapa yang memasang bambu-bambu di tengah laut. Beberapa nelayan yang menentang bahkan mendapat ancaman dari panggilan misterius. Karim tidak peduli, dia bahkan tidak habis pikir kenapa nelayan-nelayan itu harus protes.
Pukul 12 siang, saat cuaca sedang panas-panasnya, Pari mendatangi Karim. Tanpa berbicara apa-apa, Pari langsung melayangkan tinju ke wajah Karim. Karim terlempar dari kursi plastik kesayangannya.
“Kau dibayar berapa, Karim?!”
Karim tidak menjawab, dia hanya mengusap sudut bibirnya yang berdarah. Pari menarik kerah bajunya. “Dasar penghianat! Almarhumah ibumu pasti malu sama kamu!”
“Jangan bawa-bawa orang tua!” Karim akhirnya bicara. Dia melepaskan genggaman kuat Pari.
“Gila, Rim. Ternyata kamu. Kamu akan menyesal nanti.”
Pari berlari meninggalkan Karim. Karim tertawa meremehkan kalimat terakhir Pari. “Menyesal? Untuk apa? Tabunganku sekarang sudah banyak!! Aku bahkan bisa memberikan bapak lebih dari yang selama ini dia dapatkan dari laut!”
Hari ke-25 Kerja Paruh Waktu
Semua mata selalu memandangnya dengan sinis sejak rahasianya terbongkar. Bapak tidak berkata apa-apa, namun tatapannya pagi ini seolah berbisik, kamu menjijikkan. Karim semakin tidak peduli. Setelah satu bulan, dia akan menghadap bosnya dan meminta pekerjaan lain, asal bukan di desa ini. Bahkan setelah menghasilkan banyak uang, bapak tidak mendukungnya sedikit pun.
“Karim, gara-gara kamu, kita jadi sulit menangkap ikan!”
“Kamu tidak menghormati bapakmu? Bapakmu itu juga nelayan! Dia kesulitan melaut gara-gara pagar laut yang kau pasang! Gara-gara bawahanmu!”
“Pergi saja kamu dari sini!”
“Laut itu milik rakyat, bukan korporat!”
Sepanjang perjalanan menuju singgasana kursi plastiknya, Karim mendapat beragam teriakan. Awas saja, kalian semua akan kulaporkan pada bos. Hari itu, Karim melaporkan banyak hal pada bosnya; mulai dari nelayan yang kesulitan melaut karena wilayah tangkap yang mengecil, alat tangkap yang rusak, jumlah tangkapan nelayan menurun drastis, hingga keluhan resmi dari persatuan nelayan sudah dibawa ke kota.
“Awas kamu, Karim! Kalau sampai ada korban nyawa, kamu akan menyesal!”
Karim menggelengkan kepala mendengar itu. Kenapa pagar laut bisa menyebabkan korban nyawa? Ratusan bambu itu hanya berdiri diam di tengah laut, tidak membunuh siapa-siapa. Orang miskin memang suka menghayal berlebihan.
Sampai hari ini, Karim tidak pernah sekali pun menanyakan pada bos mengenai pagar laut ini. Begitu banyak pasukan dikerahkan untuk menanam pagar laut, pasti membutuhkan banyak uang. Siapa pun orang di balik ini semua, pastilah sangat kaya raya. Karim siap mengabdi untuk orang kaya.
Karim duduk di kursinya. Hari ini langit mendung. Musim hujan sudah tiba.
Hari ke-30 Kerja Paruh Waktu
“Bapakmu meninggal, Rim.”
Gerimis turun saat Karim mendengar itu dari Pari. Keterlaluan, Pari sampai bohong supaya aku berdiri dari kursi ini. Pari semakin frustasi melihat Karim tak juga bangkit dari kursi itu. Jangankan bangkit, kaget dan panik pun tidak.
“Dia ada di rumah sakit. Baling-baling perahunya rusak karena pagar laut. Dia mencoba memperbaikinya, tangannya malah terluka kena baling-baling. Dia bertahan semalaman karena di atas perahunya, kehilangan banyak darah.”
Kaki Karim gemetaran. Dia menatap pagar laut yang sudah berbaris panjang setelah satu bulan pengerjaan. Pari meraih tangan Karim, “Ayo, aku antar.”
Bahkan di saat terburuk, Karim berdiri dengan bimbang –harus meninggalkan kursi itu atau tidak. Ah, bolos satu kali tidak masalah. Lagipula, ini sudah hari ketiga puluh, kontrak paruh waktunya sudah selesai.