Tuesday, July 22, 2025

Proses Kreatif | Apakah AI Sebangsat Itu?

Oleh Encep Abdullah


Selama liburan sekolah kemarin—kurang lebih satu bulan penuh—saya memanfaatkan waktu dengan banyak baca buku dan ”bermain-main dengan AI”, lebih tepatnya sibuk nguprek banyak lagu ”mentah” yang saya punya. Lagu-lagu itu saya cover pakai AI. Saya pakai AI berbayar 200 ribu (dapat 5.000 kredit). Saya bisa mendapatkan sampel sebanyak 250 cover lagu—sekali cover muncul 2 sampel lagu dan begitu seterusnya. Satu lagu yang saya cover bisa langsung saya unduh. Kalau saya kurang suka, saya terus mencari cover-an yang menurut saya enak, bahkan saya bisa meng-cover 20 sampel untuk satu lagu. 


Bagi saya ini suatu kemudahan dan kenikmatan. Dulu, untuk menghasilkan satu lagu, saya harus meluangkan waktu minimal 6 jam di dapur rekaman, berbayar 350 s.d. 700 rb. Saya masih ingat, kalau tidak salah tahun 2009/2010, saya dan teman-teman band berangkat ke Jakarta untuk rekaman lagu. Di tempat kami memang belum ada studio rekaman yang bagus. Kami memilih berangkat ke Jakarta saja atas rekomendasi seorang teman. Saya punya dua band. Band pertama adalah Ghatick Band. Jujur, kami tidak punya uang. Salah satu dari teman kami punya kenalan ”pacar” yang kaya. Dia ngasih 700 rb.  Akhirnya kami berangkat dan rekaman satu lagu. Kami nginap di studio rekaman karena prosesnya cukup lama, semalaman. Lagu yang direkam adalah karya saya, tapi yang nyanyi bukan saya. Hasil musiknya jernih, tapi vokalnya ”hancur”.  


Setahun kemudian, saya kembali rekaman lagi dengan band yang berbeda, namanya Avira Band. Niat ingin jadi musisi terkenal memang sangat menggebu-gebu. Tapi, kami tidak punya label atau atau uang untuk naik daun. Akhirnya, band kedua ini pun sama, mencari dana buat rekaman. Namanya kami ”remaja gelandangan”, jadi tak punya uang. Mungkin karena kasihan melihat kami, orang tua salah satu personel kami memberikan uang 700 ribu. Kami berangkat lagi ke Jakarta dan rekaman dua lagu. Kali ini lagu yang direkam tidak di-mastering, hanya di-mixing. Hanya kena 350 rb per lagu. Hasilnya tidak sejernih yang 700 rb. Untuk rekaman satu lagu saja lumayan lama. Ini dua lagu, jadi dua kali lipat kami berlama-lama di studio yang dingin. Perut keroncongan karena tidak bawa uang banyak. Hasil lagunya, untuk vokal, lebih lumayan dari yang rekaman band pertama, cuma kualitas audionya yang kurang jernih.


Kalau ditanya, manakah yang lebih seru dan mengesankan? Tentu proses rekaman di studio langsung. Di sana ada proses berdarah-darah, pengalaman yang estetik, dan sejuta kenangan untuk diceritakan di masa depan. Sebelum rekaman itu, intensitas pertemuan band jadi lebih sering. Ini bukan sekadar pertemuan anak band, tapi pertemuan banyak ego yang harus manut pada satu keputusan bersama tentang sebuah lagu. Lagu siapa yang harus direkam, aransemennya seperti apa, dan seterusnya. Kami sedang belajar berdebat, menurunkan ego, menyelaraskan banyak pikiran yang berbeda. 


Dalam band, tentu tidak semua lagu ada yang suka. Maka, stok lagu saya banyak, tapi tidak masuk dalam daftar list band. Oleh sebab itu, saya memaksakan diri untuk solois. Namun, terkendala dengan suara yang ”hancur” ini. Ada niat rekaman, tapi bayangkan satu lagu dengan harga di atas, saya punya banyak lagu, saya perlu menyiapkan uang yang lumayan, sedangkan kebutuhan saya banyak. Ada niat dinyanyikan oleh orang lain yang bersuara merdu, tapi siapa. Saya benar-benar limbung. Uang, waktu, pikiran, tenaga, semua berkelindan. Akhirnya, saya paksakan saja bermain YouTube dan saya nyanyikan sendiri ala kadarnya. Saya kira, ini bukan soal suara, tapi soal karya. Dia tidak bisa ditahan-tahan. Tidak semua hal bisa saya tulis jadi puisi atau cerpen. Bermusik adalah salah satu bentuk ekspresi batin lainnya dari diri saya.


Sejak itu, saya selalu bermimpi ingin punya album sendiri. Bahkan saya sempat ”kursus” aplikasi musik digital dengan teman saya. Saya juga pengin belajar rekaman sendiri, punya studio mini sendiri. Tapi kenyataannya, waktu, kondisi, dan segala tetek bengek belum mendukung. Saya menyerah karena lelah sekali untuk sampai pada ”makom” mendukung itu. Saya punya banyak stok lagu, tapi kurang paham teknis rekaman, sedangkan teman saya sebaliknya, tapi tidak sebergairah saya dalam mencipta lagu. Fokus dia juga di bidang lain, bukan di bidang musik. Kenapa kemampuan dia tidak dilimpahkan kepada saya saja biar lebih memudahkan saya dalam berkarya. Ah, memang begitu, porsi kemampuan manusia itu memang unik-unik.


Ada satu lagu karya saya yang dengan suka rela dibuatkan instrumennya oleh teman saya itu. Dia mengambil sampel musiknya dari video di YouTube saya. Teman saya bilang, lagu saya bagus dan liriknya sangat mendalam. Lalu, dia meminta saya mengisi vokal dai aransemen yang sudah dibuatnya. Dan, alhasil suara saya memang tidak memuaskan. Tapi, saya berharap dia membuatkan semua instrumen lagu di YouTube saya—maksud saya biar gratis. Tapi, dia hanya tertarik pada satu lagu itu saja. Saya juga juga tidak memaksanya bikin instrumen itu dan saya juga tidak bisa membayarnya untuk membuat instrumen semua lagu saya. Akhirnya, lagu-lagu saya mengambang lagi.


AI datang, teman saya juga belajar ngulik. Setelah dia bisa, ilmunya ditularkan kepada saya bagaimana cara meng-cover lagu pakai AI. Nah, dari sinilah mimpi-mimpi saya terwujud. Semua lagu yang dulu saya idam-idamkan terekam dengan baik dan bisa jadi album. Kelar dengan berbagai warna vokal dan genre musik. Sebelum pakai yang berbayar, saya juga coba-coba pakai yang gratisan. Beberapa puisi saya, saya jadikan lagu, tapi saya merasa tidak puas karena nada lagu 100% AI yang buat. Saya tidak ikut andil. Kalau meng-cover, setidaknya nada-nadanya sama dengan nada yang saya buat. Tingkat kepuasannya berbeda. Namun, saya tetap merasa kurang kalau vokalnya bukan saya, atau minimal orang lain atau manusia yang menyanyikan. Oke, oleh AI enak sih enak. Tapi, selama itu robot, tingkat kepuasannya tidak klimaks. Dia juga tidak meninggalkan jejak kenangan estetik seperti halnya saya rekaman langsung di studio dengan band saya—walaupun hasil musiknya atau vokalnya kurang jernih, walaupun juga tenaga dan pikiran saya terkuras habis.


Sesosok manusia harus tetap hadir di sana agar menciptakan kenangan yang estetik itu. Setidaknya, vokalnya manusia, musiknya boleh pakai AI. Jadi, bila ditanya orang lain, siapa yang nanyi? Kita bisa menyebut nama vokalisnya. Ada manusianya. Kalau saya menjawab bahwa yang nyanyi adalah AI, orang yang bertanya itu mungkin hanya menjawab ”Oh ...”. Orang-orang jarang bertanya ”siapa yang main musik?” 


Mungkin makna lirik-lirik lagu yang saya buat itu punya kesan dan kenangan tersendiri buat saya. Saya senang dengan hasilnya yang bersih dan jernih, murah meriah pula. Tapi, di sini saya merasa tidak bertumbuh dengan dunia musik itu sendiri. Tidak menyelami tetek bengek dunia musik itu sendiri. Kenikmatan saya hanya pada hasil mencipta lagu, lalu meng-cover-nya dengan AI. Tidak ada proses ”berdarah-darah” di sana layaknya saya rekaman dengan band saya itu.


Begitu juga dengan kegelisan saya dalam menulis. AI ini sangat menggoda untuk dijadikan teman menulis. Saya punya novel, tidak kelar bertahun-tahun. Saya meminta AI untuk menyelesaikannya di bab terakhir. Akhirnya selesai juga novel saya. Walaupun saya tidak puas dengan hasilnya, tapi 90 persen cerita itu adalah hasil jerih payah saya. AI hanya menambal kebuntuan saya. Saya juga menggunakan AI untuk mengedit novel-novel anak didik saya. Saya tidak mungkin mengedit 10 novel anak murid saya dalam waktu singkat, dengan bahasa yang sangat hancur itu. AI membantu saya merapikannya tanpa mengubah alur ceritanya. Alhasil, karya mereka pun lahir tanpa typo, lebih rapi daripada aslinya. 


Karya anak-anak saya ini sebelum diedit, benar-benar original, hasil berpikir sendiri tanpa bantuan AI. Proses awalnya, mereka mencicil menulis di buku tulis. Saya bilang, satu minggu kalau bisa selesai satu bab. Mereka menulis selama satu semester. Semester dua, mereka mengetik ulang karya tersebut di laptop milik sekolah. Anda pasti tahu sendiri ketikan anak-anak sekolah bagaimana. Ejaan dan tanda bacanya sekarep dewek. Nah, AI sangat membantu saya dalam hal ini. Apakah karena saya tidak bisa mengedit? Bukan, saya bisa. Tapi kondisi, keadaan, tidak bisa memaksa saya untuk mengedit dalam waktu cepat. Kalaupun tidak ada AI, saya akan tetap mengedit. Tapi, mungkin akan jadi lebih lama, mungkin tahun depannya lagi buku itu jadi. Toh, saya juga tidak dibayar mereka, sukarela. Kalaupun dibayar, saya akan serahkan kepada editor, agar rezeki mengalir kepada orang lain. Pertanyaannya, apakah mengedit tulisan ke AI tidak pusing? Sama saja pusing. Kudu sabar. Apalagi kalau novelnya panjang. Tetap harus diperhatikan. Bisa jadi ada bagian terpotong kalau kita tidak jeli dan membaca ulang.


Saya tidak pernah mengajarkan kepada anak-anak didik saya untuk menulis instan dari AI. Ketiplek dari AI tanpa mikir. Sebisa mungkin mereka harus tahu dasar dan teknik menulis terlebih dahulu. AI itu bisa membantu kebuntuan, atau keterdesakan yang benar-benar terdesak, bukan dimanfaatkan untuk keseluruhan tugas. Saya juga jelaskan kepada mereka, bahwa yang mengedit tulisan mereka bukan saya, tapi AI. Mereka tetap merasa bahwa itu adalah karya mereka karena saya menyuruh AI memang hanya untuk membetulkan typo atau logika kalimat yang rancu saja. Anak-anak juga tampak senang saat bukunya jadi. Saya juga ikut senang. 


Selain itu, saya juga mengajarkan mereka untuk belajar dari AI. Bagaimana AI menyusun kalimat dengan baik. Misal mereka menulis cerita, lalu suruh AI untuk memperbaiknya. Saya suruh mereka bandingkan cerita yang mereka buat dengan hasil yang sudah dirapikan AI. Dia geleng-geleng. ”Kok, lebih bagus,” katanya. Saya bilang, ”Tapi, kamu jangan memanfaatkan AI seluruhnya. Kerja menulis harus tetap kamu lakukan. Kamu harus tetap belajar menulis dari nol sebagai proses kerja pikiran.” 


Dalam pembelajaran di kelas secara umum, saya malah sangsi bahwa karya tersebut benar-benar hasil karya anak-anak—kalau yang saya ceritakan di atas khusus di kelas ekskul menulis saya. Sering kali saya kecolongan. Mereka hanya plek-ketiplek nyuruh AI menulis dan mengerjakan tugas. Habis itu mereka rebahan lagi, main game lagi, tiktokan lagi. Bahkan, ada beberapa buku karya anak sekolah (di sekolah lain) yang saya terbitkan, hampir keselurannya pakai AI. Saya yakin gurunya tidak tahu, tidak paham. Yang penting tugas selesai. Anak-anak benar-benar tidak diberikan pengetahuan, keterampilan, dan teknis menulis terlebih dahulu. Ada juga guru yang menyuruh seluruh anak kelas yang diajarnya untuk kirim naskah lomba, dan hampir semuanya hasil AI, tanpa diolah terlebih dahulu. Si guru saya yakin tidak mengecek karya anak-anaknya. Sampai mereka menulis keterangan di e-mail lomba bahwa itu cerpen tugas dari gurunya. Kepada para guru, tolong jangan dibiar-lepaskan begitu saja anak-anak kalian dalam berkarya, apalagi lomba. Arahkan ke jalan yang benar! Kalau mau memanfaatkan AI, manfaatkan dengan benar. Kalau mau nol AI, kerahkan seluruh tenaga secara total.


Sebagai tenaga pengajar, sepertinya pengetahuan tentang definisi tak perlu banyak diajarkan. Anak-anak bisa mencari tahu sendiri. Juga bertanya sendiri. Yang lebih ditekankan adalah pendalaman tentang makna, praktik langsung (keterampilan), dan apa kaitannya dengan kehidupan. Mungkin sudah tidak relevan lagi menulis ”Puisi adalah ...” di papan tulis. Melainkan lebih mengurai, mengapa kita menulis puisi, bagaimana cara menulis puisi. Sudahi ice breaking-ice breaking yang tidak jelas itu. Belajar kok dikit-dikit ice breaking. Bagaimana kalau sosok kiai yang mengajar, tiba-tiba ice breaking-nya joget-joget. Kan lucu! Penekanan dalam proses belajar adalah karakter siswa. Jadi, tidak hanya belajar tentang A, B, dan C, tetapi juga belajar dari dalam dirinya sendiri dan menemukan suara uniknya yang melibatkan perasaan, pemaknaan, refleksi, kreativitas, dan koneksi sosial.


Kembali ke AI. Selama liburan, saya juga banyak bertanya kepada AI tentang hidup. Juga memintanya untuk menjelaskan poin-poin yang ada di buku (PDF). Bukan karena saya tidak mau baca, tapi bisa juga dikatakan sedang malas baca. Saya pengin tahu saja garis besar isinya apa. Tetap, membaca buku secara langsung diutamakan karena di sanalah kita berproses berpikir. Sebagaimana saat kita mendengarkan teman menceritakan film yang sudah ditontonnya atau buku yang sudah dibacanya, kita tetap harus menonton atau membacanya langsung. Kecuali tadi, malas atau sedang malas, atau memang malas. Sedang malas dan memang malas tentu tidak sama artinya. 


Anda mengandalkan AI tanpa mau membaca sumber aslinya, ya Anda akan mendapatkan apa adanya. Kalau yang tidak biasa membaca buku, repot. Tapi, bagi yang sudah hobi membaca, jawaban-jawaban dari AI malah menantang kita mencari sumber asli tulisan itu. Jadi, bukan sumber bukan final. Karena yang dijawab AI, pada dasarnya (yang referensial) adalah bersumber dari buku yang sudah ada sebelumnya. Apakah dengan belajar pada AI kita bisa jadi pintar? Bisa jadi. Tidak menutup kemungkinan. Namun, bagi yang suka membaca buku (cetak atau PDF) dan mendapatkan kenikmatan darinya, AI tidak akan menjadi rujukan utamanya. AI hanya menjadi referensi tambahan, pemantik, atau sekadar teman ngebanyol


Selama liburan sekolah kemarin, saya juga iseng menerjemahkan 50 esai Mointagne pakai AI. Saya kesulitan mencari buku versi bahasa Indonesia-nya. Saya lemah dalam bahasa Inggris. Jadi, saya coba cari versi Inggris-nya lalu saya terjemahkan semua. Dalam waktu satu minggu, saya bisa menyelesaikannya dan mau saya cetak untuk dokumentasi pribadi. Saya bisa membacanya dengan lebih tenang dan terang walaupun saya tidak tahu metode atau teknis penerjemahan yang baik dan benar itu seperti apa. Tapi menerjemahkan dengan AI lebih saya percaya daripada dengan Google Terjemahan atau bahkan dari buku-buku terbitan penerbit tertentu yang kadang mumet dibaca. Tinggal diatur saja prompt terjemahannya pakai gaya ”bahasa” apa: nyastra, standar, atau apa adanya. Jujur, dengan AI ini, saya jadi banyak "mainan". Banyak hal yang bisa saya lakukan dan dapatkan. Tak bisa dijelaskan lebih detail. Mungkin harus Anda alami sendiri.


AI bagi penulis, pembaca buku, seniman, konten kreator, pemikir, seharusnya menjadi teman yang menyenangkan dalam proses kreatifnya sehingga menjadi pengalaman yang estetik, bukan sebagai sebuah ancaman atau bersifat pragmatis semata—demi tugas, dsb.  Seperti yang dikatakan George Orwell dalam esainya ”Mengapa Saya Menulis” (dimuat dalam buku Negara Saya Kanan atau Kiri yang diterbitkan BASABASI, Mei 2025):  


… saya tidak bisa menulis sebuah buku, atau bahkan artikel panjang untuk sebuah majalah, jika tak dilandasi dengan pengalaman estetik. (Hlm. 108)


Mari berkarya!


_____

Penulis



Encep Abdullah, penulis yang memaksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai dewan redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak—tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya.



redaksingewiyak@gmail.com 

This Is The Newest Post