Oleh Ust. Drs. Abu Bakar
Dalam kehidupan manusia, selalu ada momen di mana hati diliputi keraguan. Kadang, ketika hendak melakukan sesuatu, kita melihat tanda-tanda kecil yang dianggap membawa pertanda buruk: seekor burung melintas ke arah kiri, seseorang melontarkan kata tidak menyenangkan, atau sekadar angka yang tampak “tidak baik”. Dalam hati muncul rasa waswas: apakah ini pertanda sial? Di sinilah lahir keyakinan yang disebut tathoyyur (التَّطَيُّر) — suatu bentuk kepercayaan terhadap kesialan yang bersumber dari sesuatu selain Allah.
Akar Kata dan Makna Tathoyyur
Secara bahasa, tathoyyur berasal dari akar kata طَارَ - يَطِيرُ - طَيْرًا, yang berarti terbang. Kata ini lalu dibentuk dalam wazan تَفَعَّلَ, menjadi تَطَيَّرَ – يَتَطَيَّرُ – تَطَيُّرًا, yang berarti menganggap sial atau merasa celaka.
Makna ini lahir dari kebiasaan bangsa Arab kuno, yang gemar menafsirkan arah terbang burung sebagai tanda nasib. Bila burung itu terbang ke kanan, mereka menganggapnya keberuntungan. Jika ke kiri, mereka mengurungkan niat karena dianggap sial. Maka, “tathoyyur” berarti menyandarkan nasib kepada tanda-tanda selain Allah.
Para ulama tauhid, sebagaimana dijelaskan dalam Kitab Tahdzīb, menyebut tathoyyur sebagai anggapan sial terhadap sesuatu yang dilihat, didengar, atau dialami, yang disandarkan kepada makhluk, bukan kepada Sang Pencipta. Dalam pandangan ini, manusia telah menanggalkan keimanannya pada takdir. Ia mengganti ketundukan kepada Allah dengan keyakinan semu terhadap simbol-simbol dunia.
Tathoyyur dalam Kehidupan Manusia
Praktik tathoyyur ternyata tidak berhenti di zaman jahiliyah. Dalam bentuk yang berbeda, ia masih hidup di antara manusia modern.
Kita mengenal orang yang menolak bepergian di hari tertentu karena dianggap sial. Ada yang takut pada angka 13, hingga hotel-hotel besar di berbagai negara menghapus nomor itu dari daftar kamar mereka. Ada pula yang merasa perjalanan akan gagal hanya karena bertemu burung gagak, atau mendengar ucapan yang terdengar “tidak baik”.
Padahal, setiap bentuk keyakinan seperti itu bertentangan dengan tauhid. Rasulullah ﷺ menegaskan dalam sabdanya:
الطِّيَرَةُ شِرْكٌ
“At-thiyarah (tathoyyur), yakni anggapan sial yang disandarkan kepada makhluk, adalah syirik.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi)
Syirik di sini tergolong syirik ashghar (syirik kecil) — namun tetap merupakan dosa besar, karena merusak kemurnian tauhid. Orang yang meyakini adanya “sial” pada makhluk sesungguhnya telah memberi peran ketuhanan pada sesuatu selain Allah.
Dalil-dalil yang Menolak Anggapan Kesialan
Al-Qur’an telah menjelaskan dengan tegas bahwa segala kebaikan dan keburukan datang hanya dari Allah. Dalam Surah Al-A‘rāf ayat 131 disebutkan:
أَلَا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِندَ اللَّهِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
“Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.”
Ayat ini menjelaskan bahwa tak ada yang disebut “sial” kecuali apa yang telah Allah tetapkan. Bahkan, dalam Surah Yāsīn ayat 19, Allah menegur kaum yang menolak dakwah para rasul karena menganggapnya membawa kesialan:
قَالُوا طَائِرُكُمْ مَعَكُمْ...
“Kemalangan kalian itu karena kalian sendiri.”
Kesialan tidak datang dari luar diri, tetapi dari kedurhakaan dan sikap berpaling dari kebenaran.
Antara Kesialan dan Pertanda Baik
Menariknya, Rasulullah ﷺ melarang tathoyyur, tetapi beliau justru menganjurkan al-fa’l (الفأل), yaitu mencari pertanda baik. Dalam sebuah hadis beliau bersabda:
لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَيُعْجِبُنِي الْفَأْلُ الْحَسَنُ
Para sahabat bertanya: “Apakah al-fa’l itu, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab:
الْكَلِمَةُ الصَّالِحَةُ يَسْمَعُهَا أَحَدُكُمْ
“Kata-kata baik yang didengar oleh salah seorang di antara kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Perbedaan antara tathoyyur dan al-fa’l sangat halus, namun mendasar. Tathoyyur lahir dari pesimisme yang menghapus harapan kepada Allah, sementara al-fa’l tumbuh dari optimisme yang memperkuat keyakinan pada kasih sayang-Nya. Maka seorang mukmin tidak seharusnya takut pada simbol-simbol sial, tetapi justru mencari semangat dari kalimat dan peristiwa yang mengingatkannya kepada kebaikan.
Doa Penolak Kesialan dan Pelebur Syirik
Islam tidak hanya melarang tathoyyur, tetapi juga mengajarkan doa untuk menjaga hati agar tidak terjerumus padanya. Ketika melihat atau mendengar sesuatu yang tidak menyenangkan, Rasulullah ﷺ mengajarkan doa berikut:
اَللّٰهُمَّ لَا يَأْتِي بِالْحَسَنَاتِ إِلَّا أَنْتَ، وَلَا يَدْفَعُ السَّيِّئَاتِ إِلَّا أَنْتَ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِكَ
“Ya Allah, tidak ada yang dapat mendatangkan kebaikan kecuali Engkau, tidak ada yang dapat menolak keburukan kecuali Engkau, dan tidak ada daya serta kekuatan kecuali dengan pertolongan-Mu.” (HR. Abu Dawud)
Dan untuk melebur dosa syirik tathoyyur, Rasulullah ﷺ mengajarkan doa yang ringkas namun penuh makna:
اَللّٰهُمَّ لَا خَيْرَ إِلَّا خَيْرُكَ، وَلَا طَيْرَ إِلَّا طَيْرُكَ، وَلَا إِلٰهَ غَيْرُكَ
“Ya Allah, tidak ada kebaikan selain kebaikan dari-Mu, tidak ada kesialan selain (sesuai dengan takdir)-Mu, dan tidak ada Tuhan selain Engkau.” (HR. Ahmad)
Tathoyyur bukan sekadar kesalahan kecil dalam keyakinan, tetapi bentuk halus dari kemusyrikan yang menodai tauhid. Ia muncul ketika manusia lupa bahwa seluruh takdir—baik maupun buruk—bersumber dari Allah.
Kita diajarkan bukan untuk menolak tanda-tanda di sekitar kita, melainkan menempatkannya sebagai pengingat, bukan penentu.
Maka, ketika langkah kita diiringi oleh ketakutan terhadap angka, hari, atau burung yang melintas, ingatlah bahwa semua itu hanyalah makhluk. Kesialan dan keberuntungan hanyalah milik Allah. Dan hati yang bertawakal kepada-Nya tidak akan pernah gentar pada apa pun selain Dia.
Wallāhu a‘lam biṣ-ṣawāb.
Semoga Allah menjaga tauhid kita dari noda-noda kecil kesyirikan, dan menuntun hati untuk selalu husnuzan kepada takdir-Nya.
Sumber Bacaan:
1. Kitab Tahdzīb – ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Azīz al-Jabārīn, hlm. 158–160.
2. Syarah Kitab Tauhid: Fatḥul Majīd, hlm. 311–323.
3. ‘Aqīdah al-Mu’min – Abu Bakar al-Jazairī, dan lain-lain.
________
Penulis
Ust. Drs. Abu Bakar, Ketua MUI Kec. Pontang.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com