Thursday, October 9, 2025

Esai Sulaiman Djaya | Kearifan Lokal, Interaksi Intelektual, dan Ironi Modernitas

Esai Sulaiman Djaya



Buku Ali Akbar Navis yang berjudul ‘Alam Terkembang Jadi Guru’ yang dipengantari oleh Taufik Abdullah dan diterbitkan di era 1980-an itu, masih menarik untuk dibaca dan dikaji. Setidak-tidaknya, tulisan-tulisan di dalam buku itu memantik kita untuk bertanya: Apakah kearifan orang-orang di masa lalu bertentangan dengan kondisi dan perkembangan jaman saat ini? Bisa jadi, sebagai contoh salah-satu bahasan dalam buku itu, tulisan Ali Akbar Navis yang menerangkan dan menggambarkan aturan dan anjuran perkawinan yang ideal dalam masyarakat Minangkabau malah akan terdengar asing ketika dibaca orang-orang Minang di perantauan saat ini: “Menurut alam pikiran orang Minangkabau, perkawinan yang ideal ialah perkawinan antara keluarga dekat, seperti perkawinan anak dan kemenakan. Perkawinan demikian lazim disebut sebagai pulang ke mamak atau pulang ke bako. Pulang ke mamak berarti mengawini anak mamak,sedangkan pulang ke bako ialah mengawini kemenakan ayah. Tingkat perkawinan berikutnya ialah perkawinan ambil mengambil. Artinya kakak-beradik lelaki dan perempuan B. Urutan selanjutnya ialah perkawinan orang sekorong, sekampung, senagari, seluhak, dan akhirnya sesama Minangkabau. Perkawinan dengan orang luar kurang disukai, meskipun tidak dilarang.” (A.A. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru (Adat dan Kebudayaan Minangkabau), PT. Pustaka Grafitipers, Jakarta 1984, h. 194)    


Perkawinan seperti itu terbaca sebagai aturan etnik dan praktik kebudayaan yang bermaksud menjaga kemurnian darah dan ras, selain demi mengekalkan solidaritas ras dan etnis di kalangan mereka, seperti yang dipraktikkan kaum Ba’lawi di Indonesia yang ketersambungan nasabnya kepada Nabi Muhammad saw kini dipertanyakan dan diragukan banyak orang sejak terbitnya tesis dan bukunya Kyai Imaduddin Utsman Al-Bantani yang dari hari ke hari bukannya surut, tapi malah mendapatkan banyak dukungan. Hanya saja, untuk saat ini, sudah banyak orang Minangkabau yang menikah dengan yang bukan dari Minangkabau. Terlebih sudah sedemikian banyak orang Minangkabau yang merantau dan pada akhirnya berinteraksi secara langsung dan melebur dengan dan bersama etnis-etnis lain di seluruh wilayah Indonesia. Begitu pula, banyak mereka yang berasal dari etnik Minang sudah tidak ‘mengenal’ dan ‘mempraktikkan’ aturan atau pun anjuran adat mereka. 


Selain dikemukakan melalui esai-esainya, isu aturan adat (tradisi) dalam konteks dan keberhadapannya dengan kekinian (modernitas), juga hadir dalam sejumlah prosa Ali Akbar Navis. Acapkali Navis mengkritik aturan adat (dan kebiasaan yang dianggap lazim) masyarakat Minangkabau yang dirasanya ‘usang’ dan bertentangan dengan kemajuan serta kemaslahatan secara rasional. Secara historis dan politis, ‘serangan’ terhadap pandangan dan aturan adat, sebagaimana dikemukakan Taufik Abdullah dalam pengantar buku-nya Ali Akbar Navis itu, sudah lama terjadi, sebutlah sejak kritikan yang dilancarkan Syekh Achmad Khatib hingga para penggerak perang padri (yang juga disinggung secara tersirat oleh Ali Akbar Navis dalam salah satu sub bab bukunya itu yang memaparkan kronik dan ringkasan kesejarahan Minangkabau), yang menganggap sejumlah adat dan tradisi yang telah terkristalisasi menjadi kebiasaan sehari-hari di masyarakat Minangkabau, bertentangan dengan semangat dan nilai kemurnian Islam. Memang tidak sedikit yang membaca dan menilai gerakan padri di Sumatara Barat sangat mirip dengan gerakan puritan yang dilancarkan Muhammad bin Abdul Wahab di Saudi Arabia di era melemah dan runtuhnya kekuasaan Turki Utsmani di kawasan Asia Barat (Timur Tengah), meski apakah ideologi keagamaan para tokoh gerakan padri di sana adalah Wahabi atau bukan, masih diperdebatkan. 


Konflik dengan Eropa dan Politik Etis

Yang tidak boleh dilupakan, selain konflik dengan Eropa (Barat), masyarakat Minangkabau, setidak-tidaknya sejak awal abad 20 (sekira sejak tahun 1900-an), mengadopsi nilai-nilai ‘Barat’ yang dirasa relevan bagi kemajuan, terutama dimulai oleh kalangan elite dan kelas menengah yang kemudian juga dikenal sebagai para bapak bangsa Indonesia, semisal Mohammad Hatta, Agus Salim, Tan Malaka, Sutan Syahrir dan yang lainnya hingga tidak ketinggalan kaum perempuannya seperti Ruhanah Kudus. Adopsi dan adaptasi tidak diragukan lagi terjadi sejak diberlakukan politik etis di Hindia-Belanda yang melahirkan kaum cendekia di Indonesia termasuk di Minangkabau. Kaum cendekia dan elite Minangkabau itu selain berpakaian ala Eropa, juga kemudian merombak dan memperbaharui bentuk dan metode pendidikan di Sumatera Barat. Konflik sekaligus adaptasi Minangkabau dan Barat (Eropa), dalam khazanah sastra sebagai contohnya digambarkan oleh Marah Rusli lewat novel Siti Nurbaya yang mempertentangkan dua tokoh: Syamsul Bahri (yang ter-Eropa-kan atau kaum pembaharu) dan Datuk Maringgih (sebagai wakil adat-lokal Sumatera Barat yang menentang Eropa atau Barat). Hanya saja, novel itu menyisakan akhir ironis dan ambigu di mana baik Syamsul Bahri atau pun Datuk Maringgih sama-sama berakhir tragis, seakan-akan mereka berdua (Syamsul Bahri yang ter-Eropa-kan dan Datuk Maringgih yang kukuh dengan adatnya) sama-sama kalah atau tidak menang.   


Setidak-tidaknya, dari peristiwa Perang Padri di Sumatera Barat di abad ke-19 yang berlangsung cukup lama itu, konflik dan ketegangan antara adat dan kepercayaan keagamaan tertentu juga diaktori oleh ‘orang dalam’ suatu masyarakat atau bangsa yang telah menerima pandangan dan ideologi tertentu yang lahir dan muncul di luar wilayah tempat tinggal mereka. Dalam hal ini, orang-orang Minangkabau bukannya ‘menyebarkan’ atau pun ‘mempertahankan’ pandangan kearifan lokal mereka, melainkan justru membawa pandangan asing untuk diberlakukan di tempat dan wilayah Minangkabau. Para aktor Perang Padri itu mendapatkan pemahaman dan ideologi ‘baru’ yang diserapnya selama beberapa tahun dan kemudian diterima oleh mereka secara mantap justru terjadi di perantauan, di Saudi Arabia di masa-masa gerakan yang dipelopori Muhammad bin Abdul Wahab sedang gencar-gencarnya. 

Seperti dinarasikan oleh Ali Akbar Navis dalam bukunya berjudul Alam Terkembang Jadi Guru itu, sebagian para penggerak dan pemimpin Perang Padri itu bahkan tak segan-segan menghabisi nyawa sesama orang Minangkabau hingga kerabat mereka sendiri. Konflik waawasan dan pandangan ideologis yang kemudian menjadi konflik fisik itu kemudian, seperti dinyatakan Taufik Abdullah dalam pengantar buku tersebut, telah mengubah order dan pandangan masyarakat Minangkabau terkait adat dan agama, yang kemudian terkristalkan dalam rekonsiliasi: Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Peristiwa dan fenomena itu membuktikan bahwa order dan pandangan yang baru dan berbeda dari order dan pandangan sebelumnya acapkali terjadi dari interaksi dengan yang diluar dan dari konflik atau ketegangan. Dan ternyata pula, aturan etnik masyarakat terbukti pula, dalam contoh kasus masyarakat Minangkabau, itu mendapatkan pengaruh dari pandangan dan wawasan ideologis yang lahir dan berkembang di tempat lain yang jauh, yang kemudian diterapkan di Minangkabau.  


Ketegangan hingga pertarungan (konflik) ideologis dan praktis antara wawasan dan praktik yang satu dengan yang lainya, justru lebih cair dan lebih massif di era perkembangan teknologi informasi saat ini, di era industri kebudayaan dan perkembangan teknologi informasi, ketika keunikan pandangan dan praktik banyak masyarakat dan bangsa menghadapi gempuran homogenisasi kapitalisme teknologi informasi dan industri budaya. Dalam kasus Ali Akbar Navis, kritiknya atas adat dan kebiasaan masyarakat Indonesia sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan kritiknya Achdiat Karta Miharja dan Sutan Takdir Alisyahbana dalam peristiwa Polemik Kebudayaan. Diantara contoh kritik yang dilancarkan Sutan Takdir Alisyahbana dan Achdiat Karta Miharjda adalah ‘budaya’ dan ‘praktik’ feodalisme yang membunuh banyak masyarakat di Indonesia, sehingga bahkan seakan-akan ‘membenarkan’ ketidak-adilan yang justru menimpa rakyat banyak. Selain itu, Sutan Takdir Alisyahbana dan Achdiat Karta Mihardja juga mengkritik takhayul atau hal-hal yang bertentangan dengan nalar dan hukum alam, yang juga sama-sama mematikan rasionalitas masyarakat, hingga masyarakat kita terbelakang secara sains dan ilmu pengetahuan modern, dan akibatnya sangat lambat untuk menjadi masyarakat yang berdaya dan sanggup menolong diri mereka sendiri, serta mampu mengejar ketertinggalan politik dan ekonomi dengan bangsa-bangsa lain di dunia. 


Kearifan Lokal dan Ironi Modernitas 

Sebenarnya, diantara yang ‘mempercepat’ punah dan usangnya aturan dan praktik adat atau tradisi adalah ketika telah tak sanggup memenuhi kebutuhan praktis hidup sehari-hari kekinian, yang salah-satu faktornya karena berubahnya secara dramatis bentuk-bentuk dan pembagian kerja, serta meluasnya perkotaan, industri dan perkembangan cepat teknologi informasi. Yang terjadi kemudian adalah generasi penerus dalam masyarakat adat malah menerima gaya dan praktik hidup modern-mutakhir, seperti yang dilakukan sejumlah lelaki dan perempuan remaja Baduy Banten, yang bahkan gadget atau gawainya lebih mewah dari yang dipakai kebanyakan orang. Di sisi lain, homogenisasi gaya dan praktik hidup akibat globalisasi teknologi informasi dan industri budaya, melahirkan banyak residu yang mengancam kemanusiawian manusia: politisasi media untuk kepentingan yang sifatnya manipulatif, bisnis hoax, disinformasi, merebaknya kemalasan untuk melakukan analisis, melemahnya kapasitas atensi, menguatnya narsisme dan egoisme, menurunnya daya-tahan dan minat membaca narasi dan tulisan panjang, hingga terbunuhnya kapasitas kritisisme karena serbuan informasi yang justru membludak. 


Hanya saja, bukan tidak mungkin, ketika dunia dan gaya hidup serta budaya kerja yang melelahkan terus-menerus mendera, manusia-manusia modern yang terasing dan tercerabut, mengalami kekeringan ruhani itu malah mencari siraman-siraman demi menyejukkan kerontang batin mereka sebagai dampak dari dunia rutinitas kerja saat ini, hingga mencari dermaga dan pelabuhan pelarian untuk memenuhi keletihan jiwa dan kebosanan hati-nya pada apa yang jsutru diramalkan akan musnah, seperti agama. 


Tidak heran jika kemudian merebak pula pandangan-pandangan religius dan ritual-ritual keagamaan posmo, yang tak jarang berisi sinkretisme dan bercorak hibrid, yang kadangkala disebut spiritualitas tanpa agama. Tidak sedikit pula yang kemudian menggali kearifan-kearifan lokal komunitas-komunitas tradisional dan masyarakat-masyarakat adat, hingga merebaknya penerbitan buku-buku tentang kearifan tradisional, ekosofi hingga spiritualitas mutakhir, yang tak jarang pula bercampur aduk dengan pandangan-pandangan yang mirip doktrin-doktrin religius bercampur pseudo-science sebagaimana doktrin-doktrin keagamaan resmi. Di fase dan tren inilah, seringkali pula ‘alam’ kembali menjadi inspirasi dan ‘guru’ mereka yang mengalami kejenuhan dan keletihan hidup di dunia briokratis yang membuat mereka telah menjadi mesin demi berjalannya roda-roda kecil dan mesin-mesin raksasa korporasi dan kapitalisme. 


Alam Terkembang Jadi Guru dalam konteks dunia saat ini juga dapat dimaknai sebagai upaya menghidupkan ekosofi atau wawasan yang tak lagi memandang manusia sebagai pusat semesta, tapi hanya bagiannya saja: “Falsafah alam Minangkabau meletakkan manusia sebagai salah-satu unsur yang statusnya sama dengan unsur lainnya, seperti tanah, rumah, suku dan nagari…..” (Ibid, h. 60) “Alam dan segenap unsurnya mereka lihat senantiasa terdiri dari empat atau dapat dibagi dalam empat, yang mereka sebut nan ampek (yang empat). Seperti halnya: ada matahari, ada bulan, ada bumi, ada bintang, ada siang, ada malam, ada pagi, ada petang, ada timur, ada barat, ada utara, ada selatan; ada api, ada air, ada tanah, ada angin. Semua unsur alam yang berbeda kadar dan perannya itu saling berhubungan tetapi tidak saling mengikat, saling berbenturan tapi tidak saling melenyapkan, dan saling mengelompok tapi tidak saling meleburkan…” (Ibid, h. 59) “Bila alam dengan segala unsurnya itu dikiaskan kepada kehidupan manusia, sebagaimana mereka mengiaskan alam sebagai tanah air Minangkabau-nya, maka pemahaman unsur alam bermakna sebagai lembaga atau individu dalam masyarakat mereka.” (Ibid, h. 60) 


Sebagai elaborasi dan pelebaran dari dan untuk mengkomparasi wawasan dan pandangan kearifan lokal masyarakat-masyarakat di Indonesia, yang memang mayoritas dari mereka ‘menghormati’ alam dan menempatkan diri mereka secara rendah hati hanya sebagai bagian dari alam, dan bukan berparadigma Barat-Cartesian yang memandang manusia sebagai subjek dan pusat semesta sementara alam sebagai objek, hingga kemudian dieksploitasi demi memenuhi keserakahan, adalah relevan menyimak Ensiklik Paus Fransiskus yang disosialisasikan melalui sejumlah bahasa pada 18 Juni 2015 silam (yang diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Martin Harun OFM), yang konsen dan fokus serta konten-nya adalah keharusan dan keniscayaan untuk merawat dan menjaga bumi (alam) sebagai rumah bersama ummat manusia: 


“Akselerasi terus-menerus dalam perubahan-perubahan yang menyangkut ummat manusia dan planet ini, sekarang ini ditambah dengan intensifikasi irama hidup dan kerja yang dalam bahasa Spanyol disebut ‘rapidacion’ (percepatan). Meskipun perubahan adalah bagian dari dinamika sistem-sistem yang kompleks, kecepatan yang sekarang dipaksakan kepadanya oleh aktivitas manusia, berkontras dengan kelambanan alamiah evolusi biologis. Selain itu, tujuan perubahan yang cepat dan konstan ini tidak selalu diarahkan kepada kesejahteraan umum atau kepada pembangunan manusiawi yang integral dan berkelanjutan. Perubahan sesuatu yang diinginkan, namun menjadi sumber kecemasan ketika itu menyebabkan kerugian untuk dunia dan untuk kualitas hidup sebagian besar ummat manusia.” (Ensiklik Laudato Si’ Paus Fransiskus, penerjemah: Martin Harun OFM, Penerbit OBOR h. 14)


Alibi ‘percepatan’ untuk pencapaian material dunia kerapkali tak lebih topeng demi membenarkan kerakusan dan keserakahan, hingga mengancam kesehatan dan kelangsungan hidup banyak orang ketika alam dan lingkungan rusak, termasuk biasanya yang paling ‘menderita’ sebagai imbas dan dampaknya pada akhirnya tetap saja kaum miskin yang tidak sanggup ‘membeli’ ragam kebutuhan hidup bahkan untuk kebutuhan yang paling primer sekalipun, di saat orang-orang kaya yang menjadi kaya dari eksploitasi alam dan lingkungan sanggup menikmati kemewahan berkat monopoli dan kepemilikan kapital sebagai hasil dan ‘keuntungan’ dari keserakahan mereka mengeruk dan mengekspolitasi alam dan lingkungan. Alam bagi mereka ‘dipandang’ sebagai objek untuk dikuras dan dieksploitasi demi kepuasan dan keserakahan, demi kekayaan material mereka, di saat kearifan lokal komunitas tradisional dan masyarakat adat memandang dan memperlakukan alam dengan sakral dan menghormatinya, agar tetap terwariskan secara sehat dan lestari bagi generasi selanjutnya, bukan membisniskannya, melainkan mewariskannya, mewariskan kehidupan –bukan membisniskan kehidupan seperti yang dipraktikkan masyarakat modern yang berparadigma rasionalitas instrumental dan senantiasa dipacu motif bisnis ketika melihat dan memandang alam. 


Komunitas adat dan masyarakat tradisional di bangsa kita, Indonesia, sebagai contoh, tidak mengenal istilah ‘agrobisnis’ atau bisnis pertanian sebagaimana masyarakat dan dunia modern. Pertanian dan produksi pangan masyarakat tradisional dan komunitas-komunitas adat di bangsa kita, banyak yang tidak memiliki motif untuk menjual hasil ‘ngahuma’ atau pertanian mereka, seperti dipraktikkan kasepuhan-kasepuhan Sunda di Banten Kidul (Kabupaten Lebak, Banten dan Sukabumi, Jawa Barat). Praktik pertanian mereka juga mengandung dan sarat praktik dan wawasan konservasi atau pelestarian alam dan lingkungan –tidak ada motif dan hasrat eksploitatif, dan karenanya mereka mengenal dan mempraktikkan waktu-waktu tertentu untuk mulai menanam, hingga melakukan ritual-tradisi mereka sebelum menanam (selamatan) dan syukuran setelah panen (seren taun), semisal yang dilakukan Kasepuhan Cisungsang, Ciptagelar dan yang lainnya. 


Paradigma Cartesianisme-Barat dan rasionalitas instrumental kapitalismenya, ternyata memang menggiring manusia melakukan kekeliruan dalam memandang alam dan lingkungan. Peradaban industri dunia modern, telah terbukti, membesarkan sisi gelap kerakusan dan keserakahan yang menyumbang besar kerusakan alam dan lingkungan –berkebalikan total dengan kearifan lokal dan praktik hidup komunitas adat dan masyarakat agraris tradisional yang selaras dengan alam dan lingkungan. Subjek Cartesianisme terbukti mengandung dan memuat hasrat untuk menaklukkan ‘alam’ dan paradigma rasionalitas instrumental kapitalisme modern menjadi rahim bagi lahirnya kolonialisme dan imperialisme. Berkebalikan total dengan ‘kerendahhatian’ banyak kearifan lokal masyarakat kita yang melihat alam dan dunia bukan untuk ditaklukkan dan dibisniskan, melainkan dilihat dan dimaknai sebagai rumah bersama ummat manusia yang harus dijaga dan dirawat layaknya sebagai tempat tinggal agar kita merasa aman dan betah untuk menghuni-nya. 


Modernitas Barat melupakan alam sebagai bukan yang mereka ciptakan, dan karenanya manusia tidak akan sanggup menggantinya bila alam rusak dan hancur, yang pada akhirnya menghancurkan kehidupan manusia itu sendiri. Rasionalisme Barat itu ternyata hanya topeng will to power, hasrat untuk berkuasa atau hasrat untuk menaklukkan, yang terbukti secara politik dan ekonomi mewujudkan diri mereka dalam bentuk dan praktik kolonialisme dan imperialisme. 


Marshall Berman, sebagaimana dikutip Yasraf Amir Piliang, sebagai contoh, menganalogikan modernitas sebagai salah-satu pengalaman Faust-nya Johann Wolfgang Von Goethe, modernitas sebagai tragedi –menghancurkan segala yang lama, tradisi hingga penemuannya sendiri. Mengandung paradoks: kemajuan dan pengorbanan: “Menjadi modern artinya adalah hidup dalam paradoks dan kontradiksi. Hidup yang dikuasai secara berlebihan oleh organisasi birokrasi raksasa yang memiliki kekuasaan untuk mengontrol dan seringkali menghancurkan semua masyarakat, nilai, dan kehidupan…..Menjadi modern adalah menemukan diri kita sendiri di dalam suatu lingkungan yang menjanjikan kita pengembaraan, kekuasaan, kesenangan, pertumbuhan, transformasi diri kita sendiri dan dunia kita –dan dalam waktu bersamaan, merupakan ancaman untuk menghancurkan semua yang kita miliki, semua yang kita tahu, semua kita.” (Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Jalasutra 2003, h. 93-94) 


Senada dengan Marshall Berman, Sonny Keraf menyatakan bahwa filsafat dan pandangan saintifik modern Barat, yang merupakan kelanjutan dari gerakan pencerahan, dalam memandang alam berparadigma mekanistis yang dipelopori Rene Descartes dan Isaac Newton: “Dalam perspektif paradigma mekanistis ini, alam semesta –demikian pula organisme- dipandang sebagai mesin yang terdiri dari bagian-bagiannya yang terpisah. Alam semesta, termasuk organisme, hanya terdiri dari materi, yang pada dasarnya adalah sebuah mesin yang hanya bisa dipahami sepenuhnya dengan menganalisisnya dalam bagian-bagiannya yang terpisah. Dan karena itu, organisme berkembang dan hanya bisa dipahami dengan mereduksinya kepada bagian-bagiannya seakan bagian itulah yang menentukan keseluruhan organisme tadi.” (A. Sonny Keraf, Filsafat Lingkungan Hidup, Penerbit Kanisius 2014, h. 12-13)


Semangat antroposentrisme dan Cartesianisme Barat yang menempatkan manusia sebagai pusat semesta menumbuhkan hasrat penaklukan dan kerakusan, berbeda dengan kearifan lokal yang menekankan keseimbangan manusia dan alam. Modernitas dengan budaya konsumtif kapitalisme massa melahirkan residu, pencemaran, dan pemanasan global. Karena itu, kearifan lokal yang diwariskan leluhur perlu digali, dijaga, dan diaktualkan kembali demi keberlanjutan hidup manusia dan alam.


_________


Penulis


Sulaiman Djaya, esais dan penyair.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com