Oleh Kabut
Pada masa depan, Djokolelolono adalah tokoh besar yang tercatat dalam album kesusastraan anak. Ia keranjingan menulis cerita anak. Buku-bukunya terbit, mendapat pembaca dan penggemar fanatik. Yang membaca buku-bukunya saat masih bocah terus melanjutkan sampai usia tua.
Djokolelono membuat buku-buku yang usianya panjang. Para pembaca memulainya dengan kagum, bersambung saat bertambah usia menjadi pukau nostalgia. Mereka merasa dibentuk biografinya oleh setumpuk atau deretan buku gubahan Djokolelono. Mereka pun mengagumi hasil terjemahan Djokolelono atas warisan sastra anak dunia dan novel-novel selera dewasa.
Djokolelono telah mengiringi anak-anak di Indonesia dengan bacaan yang bermutu. Yang kita sebut bermutu bisa berbeda dengan patokan-patokan yang digunakan para guru, kaum moralis, atau pihak pemerintah. Djokolelono menulis cerita dengan beragam referensi, yang membuatnya gampang menimbulkan ketagihan atau kecanduan buku. Ribuan anak masa Orde Baru terhibur dan berani “mencandu” buku-buku Djokolelono. Mereka tidak selesai oleh hiburan, tapi menyadari belajar pelbagai hal dalam sastra.
Para pembaca masih terus kecanduan sampai tua dan kolektor mengingat Djokolelono itu buku-buku yang diterbitkan Pustaka Jaya, Gramedia, dan KPG. Beberapa bukunya ada di penerbit-penerbit yang jarang disebut dalam sejarah dan perkembangan sastra anak di Indonesia.
Yang kita pegang sekarang adalah buku terbitan Pustaka Jaya yang berjudul Terdampar di Pulau Candu (1972). Buku sering cetak ulang. Pembaca buku merasa sedang menonton film. Judul yang apik tapi tidak sedang mengajarkan geografi Indonesia. Djokolelono mengajukan latar pulau-pulau di Indonesia tapi belum ada keinginan mengajarkan peta. Yang diberikannya adalah cerita penuh ketegangan. Cerita yang berakhir kemenangan.
Pada mulanya adalah curiga. Dua tokoh anak yang lulus SD diceritakan Djokolelono memiliki kepekaan, yang menghasilan seribu curiga. Djokolelono terlalu cepat menunjukkan dua tokoh yang punya nyali atau berani. Pengarang yang tidak sabaran agar pembaca mengenali anak-anak yang sewajarnya. Namun, olahan imajinasi memungkinkan anak yang curiga membentuk cerita yang melibatkan “logika” sekaligus “keajaiban.”
Dua anak yang bernama Danarto dan Rayasto ikut dalam pelayaran, dari Cirebon menuju Pontianak. Dua anak memiliki alasan yang berbeda saat ikut naik kapal dalam pelayaran berhari-hari. Mereka menyatu gara-gara curiga. Pengarang menghendaki para pembaca percaya dengan curiga dua anak. Yang dicurigai adalah pelaut bernama Tukijo, yang ikut dalam pelayaran yang dipimpin Santosa. Mengapa anak-anak dapat ikut dalam pelayaran? Santosa itu bapaknya Rayasto. Santosa itu bersahabat dengan bapaknya Danarto. Rayasto ikut bapaknya. Danarto menumpang kapal bareng sahabatnya bertujuan ingin menemui keluarganya yang tinggal di Pontianak.
Pada suatu malam, curiga itu membesar: “Pada saat itu angin bertiup lebih keras dengan tiba-tiba, sesaat pintu bilik Tukijo terbuka untuk menutup kembali dengan suara keras. Tetapi, waktu yang sesaat itu cukup untuk bisa melihat keadaan di dalam bilik. Tampak Tukijo duduk di tepi tempat tidur, lengan bajunya digulung sampai bahu. Tangan kanannya rapat sekali dekat lengan kiri sebelah atas. Dan, tampaknya tangan kanannya memegang sebuah jarum suntikan. Dan, di meja tampak kaki kayu, lengkap dengan sepatu dan kaus kaki.” Pemandangan yang dilihat dua bocah yang sebenarnya malam itu kelaparan. Mereka malah kebablasan “makan” curiga, melupakan kondisi perutnya.
Djokolelono kecepatan menampilkan curiga, yang babak awalnya mengajak pembaca menyusun daftar tebakan. “Mungkin ia mengidap penyakit,” dugaan Danarto. Yang dirugai Rayasto: “Tetapi, mengapa ia harus menyembunyikan hal itu dari kita?” Dua anak yang sanggup berpikir saat tengah malam, yang awalnya merasakan lapar. Berpikir mengakibatkan penundaan tidur dan berkurangnya siksa lapar.
Yang diceritakan Djokolelono adalah anak-anak yang kesannya lahir dan tumbuh di Indonesia. Pembaca boleh yakin ada anak-anak di Indonesia yang berani berpikir berdasarkan curiga. Mereka belajar di sekolah untuk pintar seperti harapan Soeharto. Konon, pembangunan nasional memerlukan anak-anak yang pintar. Kebenaran yang tidak bisa digugat adalah Pendidikan dan kecerdasan tercantum dalam GBHN. Soeharto ingin mewujudkannya tapi tidak mengetahui anak-anak yang dihadirkan para pengarang dalam ribuan novel untuk anak, dari masa ke masa.
Curiga terus bertambah. Pengalaman ikut berlayar adalah menyusun daftar curiga dan pembuktian. Anak-anak itu tidak bercerita keindahan. Mereka abai dengan segala pengetahuan menyenangkan selama berada di lautan. Ilmu-ilmu di sekolah tidak terlalu berguna untuk mereka yang menuruti curiga-curiga?
Dua anak tambah curiga saat melihat Tukijo di ruang kemudi. Pelaut itu melakukan tindakan-tindakan aneh: “Ia sedang sibuk mengayun-ayunkan lentera, matanya terus memandang ke arah pulau yang makin lama makin dekat itu.” Tukijo memang pantas dicurigai. Hasil dari perbuatannya: “Kapal itu dengan cepat meluncur langsung kea rah pantai berkarang! Rayasto dan Danarto akan berteriak namun tidak sempat. Terdengar suara tubrukan. Keras sekali! Kedua anak itu terlempar ke lantai kapal, terguling-guling menabrak dinding. Hampir saja Danarto jatuh ke laut namun ia sempat memegang tiang pagar kapal. Terasa kapal itu bergetar keras sekali, sementara mesinnya terbatuk-batuk.” Tragedi yang menambahi curiga. Para pembaca hanya mengetahui curiga-curiga itu milik dua anak. Tokoh-tokoh yang lain tidak sempat atau kurang berminat mengurusi curiga.
Akhirnya, judul cerita menemukan kebenaran: Terdampar di Pulau Candu. Semula, anak-anak dan penumpang kapal tidak mengetahui nama pulau. Yang jelas mereka terdampar, ingin selamat dan melanjutkan pelayaran. Di pulau aneh, mereka bertemu tokoh yang Chwa Kiong Hien. Anak-anak merasa terdampar tapi makin merayakan seribu curiga. Mereka seperti sulit bahagia. Pelayaran yang semestinya indah justru membuat mereka menjadi pihak pencari kebenaran-kebenaran. Anak-anak yang tangguh. Yang membuatnya tangguh adalah Djokolelono. Pembaca wajib mengetahui bahwa Terdampar di Pulau Candu itu diilhami oleh Cry From The Dungeon gubahan Betty Swinford. Artinya, cerita itu tidak sepenuhnya berasal dari kehendak (imajinasi) Djokolelono.
Anak-anak berhasil membuktikan bahwa Tukijo terlibat dalam perdagangan heroin. Pembaca mendapat keseruan di pulau yang sepi: “Kira-kira lima menit kemudian Tukijo keluar dari kamar Tuan Chaw sambil membawa sebuah bungkusan besar. Ia masuk ke dalam gang samping ruang makan. Bagaikan bayangan, Danarto dan Rayasto mengikutinya. Tukijo masuk dalam sebuah bilik dekat dapur, dan menutup pintu. Danarto dan Rayasto bersembunyi di belakang keranjang-keranjang bekas tempat ikan asin.” Curiga yang sedikit lagi sampai kebenaran.
Keterangan terpenting yang diperoleh anak-anak saat mengamati para tokoh aneh di pulau: “Tuan Chaw mengusahakan perkebunan candu. Tuan Chaw membuat morphine dan heroin dari candu itu. Kemudian dari pulau ini Tuan Chaw menyebarkan hasil pekerjaannya itu ke seluruh dunia.” Bisnis yang menggiurkan, yang menghasilkan banyak uang. Dua anak itu perlahan paham. Pembaca meyakini dua anak yang cerdas dan kelak bisa menjadi polisi, detektif, atau peneliti.
Pada akhirnya, polisi berhasil menyerbu pulau candu. Dua anak itu berjasa besar. Djokolelono menutup cerita dengan kemenangan dan kebahagiaan. Pembaca mungkin senang atau curiga mengetahui maksud dan seleranya Djokolelono. Pihak kepolisian mengusulkan Danarto dan Rayasto atau pahlawan cilik mendapat bintang jasa. Dua kalimat terakhir dalam novel: “Semua orang tertawa. Dan, Rayasto saling pandang dengan Danarto. Mereka bangga sekali.”
Kita usulkan novel diterbitkan lagi oleh Polri atau BNN. Buku cerita yang menegangkan dibaca anak dan remaja ketimbang dipaksa ikut penyuluhan. Djokolelono boleh mendapat penghargaan daro Polri atau BNN gara-gara membuat cerita yang cocok dengan kerja besar menumpas bisnis narkoba di Indonesia.
________
Penulis
Kabut, penulis lepas dan pedagang buku bekas dan lawan.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com
