Tuesday, September 28, 2021

Proses Kreatif | Tenang, Setelah Cebok, Saya Jadi Penulis Lagi

  Oleh Encep Abdullah



Teman saya, Gafur Abdullah sering sekali berkomentar, baik di kolom komentar YouTube maupun di Facebook saya.


"Gue suka gaya menulis Kang Encep. Tapi, ia kurang konsisten saja menembus media massa."



Kata konsisten dalam KBBI berarti 1 tetap (tidak berubah-ubah); taat asas; ajek; 2 selaras; sesuai. Saya berterima kasih sekali kepada Gafur yang sudah sebegitunya memerhatikan pergerakan saya. Sejauh ini mungkin yang ia lihat, saya jarang memosting karya terbaru saya yang dimuat di media massa. Apa yang mau saya posting? Kenyataannya saya memang belum menulis lagi.


Kalau dibilang tidak konsisten menulis sih menurut saya tidak sepenuhnya betul, juga tidak sepenuhnya salah. Dalam kondisi apa pun saya tetap konsisten menulis (baca: menulis apa pun). Bedanya, dulu sangat produktif, sekarang tidak. Dulu, saya memang ngotot agar karya saya harus ada yang dimuat minimal seminggu sekali atau sebulan sekali. Dan itu memang terjadi.


Saya konsisten menulis di koran PR selama tujuh tahun. Setelah napas saya melemah, mendadak saya tak begitu bergairah menulis seperti dulu. Bukan karena saya tidak bisa menulis. Hasrat, gairah, dan prioritas saya mendadak sedang tidak ke arah situ (media massa, khususnya cetak).


Sebagian apa yang dikatakan Gafur juga benar. Ada beberapa media yang tidak saya tekuni dan saya sungguhi untuk saya pinang. Bukan karena tidak mau lagi berkirim ke sana, atau karena honor, dsbnya. Kadang adakalanya saya menyerah. Saya tidak mau memaksakan kemampuan saya yang terbatas ini. Saya selalu yakin, tulisan saya punya tempat sendiri.


Gafur tahu saya hanya belakangan ini saja. Dia tidak bisa menebak keseluruhan riwayat saya. Jangankan dia, istri saya saja tidak sepenuhnya tahu perjuangan saya menjadi penulis. 


Bagi saya, memulai menulis itu mudah. Istikamahnya yang kadang angot-angotan karena butuh paksaan, butuh mood, butuh udud (bagi yang ngudud), butuh kopi, butuh bismillah.


Jangan dikira saya tidak pernah putus asa. Justru karena pernah dan sering itulah saya banyak belajar. Putus asa saat kalah lomba. Putus asa kala ditolak media. Putus asa kala sudah di ujung tanduk alias deadline. Sekali dua kali pasti pernah ingin berhenti jadi penulis. Tapi, Tuhan selalu menggerakkan pikiran dan tangan saya untuk menulis.


Menulis tidak harus selalu untuk media bukan? Nah, mungkin saya sudah selesai masanya, sudah lewat masa puberitas dan katarsis saya yang bangga atas pemuatan karya itu. Kalau sekarang, dimuat syukur, ditolak ya ditembak lagi. Haha.


Gafur mungkin kehilangan nama saya di koran-koran. Padahal harusnya saya bisa juga pindah ke ruang media-media digital yang berjibun itu. Karya-karya saya bisa dimuat di sana. Tapi, saya belum mencoba untuk intens (sekali-dua kali pernah). Bukan karena tidak mau berkirim. Saya memang belum punya karya terbaru, sebut saja cerpen dan puisi. Kalau ada pasti saya kirim. Ngewiyak-wiyak karya di laptop rasanya sudah sangat malas. Lagian buat apa, stok karya sudah habis. Karya-karya itu lebih sesuai untuk jadi buku ketimbang dikirim ke media.


Saya memang harus mencoba intens lagi, khususnya menulis fiksi. Saat ini mungkin belum. Tapi, dengan menulis catatan ringan macam ini pun setiap Selasa, sudah cukup bikin kepala saya pening. Bahkan waktu fokus bermain dengan anak pun jadi sedikit terganggu (saya menulis ini sembari ngemong anak). Kadang memang ada rasa malas bikin catatan. Tapi, sejak awal berdiri ngewiyak.com, saya sudah berniat konsisten menulis di kolom "Proses Kreatif" ini untuk berbicara atau ngecaprak apa saja tentang menulis. Bahkan, beberapa hari yang lalu saya punya niat untuk menulis cerpen sebulan sekali untuk dimuat di sini, di kolom Redaksi. Biar bagaimana pun, punya media yang dikelola komunitas sendiri jangan sampai cuma memberikan tempat bagi orang lain, tapi juga ruang untuk si empunya, biar tidak mati. Dengan adanya ngewiyak ini, energi menulis saya lumayan bertambah karena saban hari membaca tulisan kawan-kawan dari luar. Dengan begitu saya menjadi ada sebagai manusia. 


Jadi, sejauh ini, saya masih tetap berusaha konsisten menulis bukan?


Saya tahu Gafur kehilangan saya. Saya malah kehilangan Faisal Oddang, Asqalani eNesTe, Faisal Syahreza, Eko Triono, Sulfiza Ariska, Dwi Ratih Ramadhani, Niduparas Erlang, Cicilia Odday, A'yat Khalili, Ade Ubadil, dan beberapa kawan penulis yang pernah dekat, baik karyanya maupun orangnya. 


Orang-orang yang saya sebut di atas sudah jarang, bahkan sebagiannya nyaris tidak saya lihat lagi karyanya (puisi dan cerpen) di media massa beberapa musim belakangan. Sebagian sibuk menulis novel. Sebagian sibuk menjadi mentor menulis. Sebagian lagi sibuk mencari kesibukan. Sebagian lagi hilang diempas angin. Sehat-sehat selalu ya kalian.


Tidak konsisten dan produktif nongol di media massa bukan berarti tidak menulis bukan? Saya selalu yakin, apa pun kesibukan kawan-kawan penulis (penulis yang sejati), jiwanya akan tetap kembali menjadi penulis. Mungkin, bentuknya saja yang berbeda, prioritasnya saja yang berbeda. Yang semula pada bentuk A, berubah menjadi B. Seperti Ade Ubaidil yang kini masuk arus industri perfilman. Tapi, sebagai cerpenis yang baik, toh dia tetap kembali menjadi cerpenis.


Kepada Gafur, sekali lagi saya ucapkan terima kasih. Sehat selalu buatmu. Semoga saya tetap istikamah ganteng sebagai penulis. Dan, tetap konsisten cebok usai buang hajat. Tenang, setelah cebok, saya jadi penulis lagi.


Kiara, 28 September 2021




___

Penulis


Encep Abdullah, penulis yang maksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai Dewan Redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak, tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya. Tak menutup kemungkinan, ia juga menerima curhatan penulis yang batinnya tersiksa untuk dimuat di kolom ini.







Kirim karyamu ke

redaksingewiyak@gmail.com