Thursday, November 11, 2021

Esai Sul Ikhsan | Kematian Menurut Sains dan Kesenjangan Biologis yang Mengintai Kita

 Esai Sul Ikhsan




Kemarin kita dikejutkan oleh kematian aktris kenamaan Vanessa Angel dan suaminya dalam insiden kecelakaan di jalan tol saat lawatannya menuju Surabaya. Peristiwa tersebut tak hanya meninggalkan duka mendalam bagi keluarga dan segenap fans, tetapi juga menggegerkan jagat maya Indonesia dengan berbagai spekulasi dan nasihat-nasihat kematiannya.



Sebagai negara yang memiliki enam agama dan Islam sebagai mayoritasnya, tak mengherankan bila segala fenomena yang terjadi kemudian ditanggapi menggunakan kaca mata agama, apalagi fenomena yang terjadi ialah kematian. Satu entitas yang oleh agama merupakan pembahasan yang tak kalah vital selain ibadah kepada Sang Pencipta.


Oleh agama apa pun, kematian dibaca sebagai sebuah peristiwa supranatural yang dianggap sebagai akhir sekaligus juga awal perjalanan sementara manusia di bumi yang fana ini. Selanjutnya, agama-agama itu meyakini bahwa pascakematian, manusia akan melanjutkan perjalanan mereka ke dunia lian yang jauh dan asing. Kita yang masih hidup ini tak benar-benar mengetahui ke mana selanjutnya akan pergi, selain hanya bisa meyakininya dengan sangat-sangat yakin. 


Sebagai orang yang beragama Islam, saya sedari kecil sering diberi asupan terkait segala aspek ajaran keagamaan saya, termasuk persoalan kematian. Saya diajarkan dan kemudian meyakini—sangat meyakini—bahwa manusia terdiri dari dua aspek penting yang menjadi hakikatnya, yaitu jasadi dan ruhani. Kematian berarti dicabutnya aspek ruhani dari aspek jasadi. Setiap manusia memiliki waktunya masing-masing yang telah ditentukan oleh Allah Swt. Manusia tak bakal mengetahui kapan, di mana, dan bagaimana ruhnya akan dicabut dari jasad. Seotoriter apa pun Soeharto, ia buktinya tak berdaya ketika ruhnya dicabut dari jasadnya yang gagah.


Oleh agama saya, tugas mencabut nyawa ini dieksekusi langsung oleh malaikat pencabut nyawa, Izrail, sesuai perintah Allah. Lalu, babak baru kehidupan manusia akan dimulai. Manusia akan mengalami proses supranatural seperti tinggal di alam kubur, dikumpulkan di padang mahsyhar, berjalan di jembatan siratalmustakim, dimintai pertanggungjawaban semasa hidupnya, dan kemudian diberikan balasan sesuai perbuatan. Mereka yang timbangan amalnya baik maka akan dibalas dengan nikmatnya surga, sedangkan bagi mereka yang timbangan amalnya kurang baik, celakalah ia lantaran neraka dengan segala perkakasnya yang mengerikan siap melahapnya.


Konsep kehidupan dan proses pascakematian bagi orang Islam ialah sebuah keniscayaaan yang wajib diimani sebagai kebenaran dan bukan imajinatif-mistis belaka. Bagi saya, barang siapa orang Islam tak mengimani konsep akan kematian manusia, ia juga secara tidak langsung mengingkari keberadaan Tuhan serta kemahakuasaan-Nya. Maka, sepanjang sejarah, agama-agama, termasuk Islam sendiri sangat toleran pada kematian dan menasihati setiap umatnya untuk berhati-hati dalam menjalani kehidupan yang sementara ini. Bagi agama-agama, kesuksesan hidup kita bukan dinilai dari seberapa banyak kekayaan yang kita kumpulkan di dunia dan seberapa populer kita di mata manusia lain, melainkan kesuksesan sejati ialah kebahagian pascakematian, yaitu beratnya timbangan amal baik kita dan kekal hidup di surga.


Namun, ketika saya membaca sains, saya marah dan dada saya berkecamuk ketika sains lagi-lagi berbeda pandang dengan keyakinan agama yang saya anut. Sains memandang kematian berbeda dengan apa yang diajarkan oleh agama saya—bahkan nyaris semua agama. Kematian, kata sains, ialah peristiwa alami dan merupakan hukum alam yang bisa dijelaskan secara ilmiah. Manusia yang mati tidak disebabkan oleh kedatangan sosok malaikat berjubah yang mendatangi manusia dan kemudian mencabut ruh dari jasad. Sains tidak percaya malaikat berjubah dan ia juga sekaligus tak percaya ada ruh di dalam jasad manusia. Sifat sains yang selalu mendasarkan dirinya pada hal-hal yang faktual dan empiris. Hal-hal yang tak dapat dijangkau oleh panca indera, bagi sains, ialah imajinatif belaka.


Kematian bagi sains selalu disebabkan oleh kesalahan teknis, seperti berhentinya jantung memompa darah yang menyebabkan tidak cukupnya oksigen mencapai otot jantung, sel-sel kanker menyebar di hati, paru-paru berhenti bekerja karena bakteri banyak berkembang biak di sana. Tak ada yang supranatural. Semua sumber kematian bagi sains hanya kesalahan teknis. Maka, setiap kesalahan teknis, bagi sains, bisa diatasi dengan solusi teknis. Dalam mengatasi kesalahan teknis ini, para elite sains di laboratorium, dengan alat keilmuannya yang semakin canggih, tengah berupaya mencari dan mengembangkan pengetahuan dalam mengatasi kesalahan teknis yang menyebabkan manusia mati.  


Dalam artikel yang ditulis oleh Arion McNicoll yang berjudul "How Google’s Calico Aims to Fight Aging and Solve Death," Google telah melahirkan sebuah proyek pada 2013 silam bernama Calico dengan misi utamanya ialah memberi manusia usia muda abadi dan mengatasi kematian dengan produk kesehatan dan pelayanan terhadap kelangsungan hidup manusia khususnya dalam hal penuaan dan penyakit. Dan saat ini, sembari kita tetap mengimani ajaran agama tentang kematian, kita sekaligus menggunakan produk kesehatan mereka dan produk penunda tua mereka.  


Dalam Homo Deus, Yuvual Noah Hararri menjelaskan bahwa pada awal abad ke-21, manusia memiliki tiga agenda besar: imortalitas, kebahagiaan, dan keilahian. Agenda-agenda ini dicanangkan manusia segelintir orang itu, yang katanya, berhasil memenangkan pertempuran sebelumnya dengan kelaparan, wabah, dan perang. Saya terpukau dengan tiga agenda besar umat manusia itu, tetapi yang paling menarik perhatian saya ialah wacana imortalitas. Selain wacana tersebut sangat bertentangan dengan keyakinan yang selama ini saya anut, ia juga sebaliknya, bisa jadi akan membawa kita semua pada sebuah dunia dengan penanganan kesehatan terbaik sepanjang sejarah.


Ketika saya mempelajari wacana imortalitas, saya menemukan satu ketenangan batin bahwa manusia tak mungkin bisa hidup abadi. Terlepas apakah ada ruh atau tidak, manusia sementara ini masih kesulitan menemukan formula dalam menangani kematian dengan produk-produk kesehatan mereka. Masih banyak angka kematian akibat penyakit jantung, kanker, paru-paru, bahkan yang terbaru, virus. Kemudian, semakin ngotot manusia menemukan formula tersebut, aspek yang dikorbankan ialah alam yang kondisinya semakin memburuk dan juga sistem politik di berbagai negara yang kesulitan mengaturnya. Dalam sistem politik, bagaimana negara mengatur pendidikan, budaya, sosial, ekonomi dengan banyaknya manusia yang tak mati-mati? Manusia, meski ia berhasil terus meng-upgrade kesehatannya melalui aplikasi, ia tak bisa terhindar dari pembunuhan, bencana alam, perang, kecelakaan di jalanan akibat keteledorannya berkemudi atau jalanan yang cepat rusak karena dikorupsi anggarannya.   


Lupakan hidup abadi. Lupakan ada tidaknya ruh. Bagaimana jika kita membahas imortalitas sebagai upaya perbaikan sistem kesehatan umat manusia. Seperti yang mungkin kita tahu, sepanjang sejarah kesehatan, kita masih sulit menemukan obat atau vaksin untuk penyakit tertentu. Kita kesulitan menangani beberapa penyakit karena ketiadaan peralatan medis yang mumpuni. Bahkan, kita pernah ada di posisi sulit mendiagnosis dengan cepat penyakit yang menjangkit manusia. Wacana imortalitas postifnya memancing minoritas ilmuwan dan para pakar kesehatan untuk bahu-membahu menemukan berbagai senjata untuk melibas penyakit-penyakit yang banyak menyumbang angka kematian umat manusia. Bahkan mengenai Calcio, pada 2014, Bussines Insider menyebutkan meski belum bisa menghasilkan produk yang konkret untuk mengatasi kematian, Calcio sudah memiliki berbagai data penting terkait evolusi jenis penyakit serta dampaknya terhadap usia. Di tahun 2021 ini, sadar atau tidak, kita sudah menggantungkan otoritas kesehatan kita pada aplikasi seperti Halodoc, Couch To 5k, Sworkit, Lumosity Mobile, atau Fita yang memiliki jargon, “Sehat Makin Nikmat- Aplikasi Pola Hidup Sehatmu”.


Tetapi ada yang tak boleh kita lupakan. Kesehatan ialah bisnis paling menguntungkan. Kita juga jangan lengah bahwa sains sejak dulu bersahabat baik dengan industri dan bersekutu dengan politik. Ini bukan semata-mata kecurigaan. Banyak kerusakan alam dan manusia disebabkan oleh sains yang disetir industri dan politik. Di Indonesia sendiri, kita sering menyaksikan realitas menampilkan wajahnya ke wajah kita tanpa penutup. Saat orang-orang berduit sudah mampu melakukan USG untuk mengetahui jenis kelamin calon anak mereka, orang miskin masih kesulitan untuk berobat untuk penyakit TBC-nya, dan orang pelosok masih luntang-lantung menuju puskesmas saat salah satu anggota keluarga mereka mau melahirkan. Bayangkan ketika sistem kesehatan kita sudah semakin canggih dan mampu memperbaiki sel-sel di dalam tubuh manusia, orang berduit tentu saja akan memanfaatkannya, bukan saja untuk mengobati tubuh yang sakit, melainkan merawat dengan rutin tubuh yang sehat. Lagi pula, percayakah kita bahwa kelak, sistem kesehatan kita yang canggih itu akan digratiskan atau minimal dimurahkan untuk kaum miskin? Meski sains benar dengan konsep-konsepnya dan penemuan-penemuannya, saya tak percaya pada pengguna sains selama mereka masih bersahabat dengan industri dan bersekutu dengan politik.  


Maka dalam hal ini, kita patut mencemaskan bahwa kelak bukan saja kita—rakyat melarat khususnya—akan mengalami kesenjangan ekonomi, sosial, politik, kita juga akan mengalami kesenjangan yang bagi sudut pandang saya lebih menyeramkan yaitu kesenjangan biologis. Dan jika itu terjadi, saya tetap pada keyakinan bahwa kematian itu berkaitan dengan keberadaan ruh, malaikat, akhirat, dan juga keberadaan Allah Yang Mahakuasa. Saya mengimani momen spiritual itu, meski sains menolaknya. Saya mengakui tidak mampu menjelaskan keyakinan tersebut secara ilmiah. Dan memang, saya berupaya menaruh dua sisi ilmiah dan metafisika itu di ruang yang berbeda dan tak akan pernah saya izinkan untuk keduanya bertarung—meskipun kadang kala pertarungan itu nyaris tak pernah terhindarkan. Tetapi, barangkali, saya punya alasan politis untuk itu. Saya ialah kelompok kelas menengah ke bawah, kelompok mayoritas masyarakat berpendapatan rendah yang mungkin saja sedang menjadi korban kesenjangan biologis itu dan tetek-bengek kesenjangan lain. Untuk itu, saya harus percaya akhirat dan hari pembalasan sebagai kekuatan spiritual saya bahwa esok, kelas menengah ke bawah ini akan bahagia di surga-Nya karena kenelangsaanya dan sabarnya di dunia yang fana ini.


Tabik.


Tirtayasa, 11 November 2021






____

Penulis


Sul Ikhsan, lahir di Serang, 18 Mei 1998. Menulis puisi, cerpen, esai, ulasan, dan sedang coba-coba menulis puisi daerah. Penulis buku kumpulan cerpen Nadran dan Cerita Orang-Orang Kalah Lainnya (2020). Saat ini sedang dipercaya menjadi Pemimpin Redaksi ngewiyak.com.







Kirim tulisanmu ke

redaksingewiyak@gmail.com