Cerpen Ede Tea
Sepulang salat Isya, saya bersama tujuh anak lain diberi nasihat olehnya, “Jangan pernah takut untuk melakukan kebaikan, karena surga hanya untuk orang-orang yang memiliki keberanian.”
Setelah itu kami pulang dengan kepala yang terasa penuh. Kiai Sohang berpesan agar kami menutup mulut rapat-rapat. Akan banyak masalah jika orang tua kami tahu bahwa kami masuk ke pondok Kiai Sohang. Apalagi bapak saya, dia bisa memukul saya habis-habisan.
Sebenarnya, niat kami mengaji di pondok Kiai Sohang sederhana saja, kami ingin melafalkan banyak doa-doa baik untuk bekal kami di kehidupan setelah kematian. Kiai Sohang juga pernah bilang kalau doa anak saleh itu dapat mengantarkan bapak-ibu kami ke surga. Bukankah memang itu tujuan kita hidup? Lalu kenapa kami harus menutup diri dari segala ajaran baik yang telah diajarkan Kiai Sohang?
“Dia bukan orang baik, menjauhlah darinya!” gertak bapak saat pertama kali melihat aku masuk ke pondok Kiai Sohang.
“Kiai Sohang bukan orang jahat, Pak! Dia mengajari kami mengaji dan melantunkan selawat!” sangkal saya.
“Itu baru permulaan saja, Lim. Setelah itu dia akan ajarkan kalian cara membunuh!”
“Tapi, Kiai Sohang bilang dia ingin ajarkan kami kebaikan.”
“Dia memang pandai menipu, apalagi bocah ingusan seperti kalian!”
“Kiai Sohang juga ingin mengajari orang dewasa di kampung ini mengaji.”
“Tutup mulutmu, Lim. Lelaki tua itu tidak pantas kau panggil kiai!”
Sejak saat itu, kami memutuskan untuk pergi ke pondok Kiai Sohang seminggu sekali saja. Pada hari Kamis malam Jumat, diam-diam kami pergi ke sana dengan dalih pergi mengaji di musala kampung sebelah. Menurut Kiai Sohang, tidak apa-apa berbohong demi kebaikan. Apalagi untuk kemaslahatan umat, katanya itu sama saja dengan berjihad. Dan kami sangat senang karena bisa berjihad.
“Bagaimana kalau bapakmu tahu, Lim?” tanya Zakia kawan saya. Meski dia sudah berusia sebelas tahun, yang artinya dua tahun lebih tua dari saya, tapi dia sangat penakut. Dia selalu mengkhawatirkan saya.
“Santai saja, Zak. Bapakku sedang ikut perkumpulan warga di balai desa.”
“Apa kau percaya kalau Kiai Sohang itu orang baik, Lim?” pertanyaan Zakia itu sontak menghentikan langkah saya. Seketika saya berpaling menatap kedua matanya.
“Kenapa kau mulai ragu, Zak?”
“Entahlah!”
Saat sedang terdiam itu, tetiba terdengar sebuah ledakan yang cukup kencang. Kami berpaling mencari asal suara itu. Tak lama sebuah gumpalan asap pekat muncul dari arah selatan kami berdiri. Secepatnya saya dan Zakia berlari mendekati pusat asap itu. Setelah menerobos banyak tumbuhan perdu, akhirnya kami sampai di tempat kemunculan asap itu. Dan ternyata itu adalah pondok Kiai Sohang yang terbakar.
“Apa yang terjadi, Lim?”
Zakia meremas bahu saya sedemikian kencang. Tangannya bergetar hingga saya dapat merasakan degup jantungnya yang berirama tak seperti biasanya. Saya menyisir setiap sudut pondok dengan cermat, sampai akhirnya saya melihat Kiai Sohang yang menerobos nyala api untuk menyelamatkan diri.
“Pak Kiai!” pekik saya.
Kiai Sohang menjatuhkan tubuhnya ke tanah. Wajahnya dipenuhi rasa takut. Saya dan Zakia berlari mendekatinya.
“Mereka ingin membunuh saya, Lim. Membunuh saya!” ucap Kiai Sohang dengan gentar.
“Siapa, Pak Kiai?” tanya saya.
“Saya tidak tahu, Lim. Mereka banyak sekali.”
Suasana lengang sebentar. Saya teringat akan sesuatu.
“Itu pasti warga yang ingin membunuh Pak Kiai.”
Zakia kembali meremas bahu saya.
“Apa maksudmu, Lim?”
“Sudah jelas, Zak, warga berkumpul di balai desa untuk merencanakan ini. Mereka ingin membunuh Pak Kiai.”
Meski saya tidak punya bukti tentang itu, namun segalanya amat gampang untuk ditebak. Warga tidak suka dengan kehadiran Kiai Sohang. Dan mungkin saja mereka sudah tahu bahwa saya dan bocah lainnya sering mengunjungi pondok ini. Sementara itu saya merasa penuh bersalah atas apa yang telah menimpa Kiai Sohang.
“Kita harus menemui mereka, Zak. Kita harus mencari keadilan!”
Saya menarik tangan Zakia dan secepatnya meninggalkan pondok yang terbakar. Kiai Sohang bilang kami tidak perlu melakukan itu. Tapi saya tidak mau diam saja. Kami perlu mencari kebenaran.
Setibanya di balai desa, kami mengintip melalui lubang jendela yang terbuka. Ada banyak sekali pria dewasa yang duduk merapat di lantai. Kami diam sejenak untuk mendengar apa yang sedang mereka bicarakan.
“Sohang sudah keterlaluan. Dia memanfaatkan anak-anak kami untuk membalaskan dendamnya,” ucap salah seorang warga.
“Benar. Dia membuat anak-anak lebih percaya kepadanya sehingga mereka membenci kami,” timpal warga yang lain.
Saya dan Zakia terus mengamati dari luar. Dengan cermat saya mencari keberadaan bapak. Namun, mata saya tak kunjung menemukannya.
“Kita memang bersalah saat itu. Kita terlalu ceroboh untuk menuduhnya sebagai komplotan teroris. Kita terlalu bernapsu untuk melenyapkannya. Sehingga ketika malam saat kita membakar rumahnya, istri dan anaknya menjadi korban.”
Setelah mendengar itu, tetiba saja kepala saya terasa pusing berputar-putar. Tubuh saya limbung. Zakia memapah saya untuk segera kembali menemui Kiai Sohang. Namun, belum jauh kami melangkah, tetiba sebuah ledakan menggetarkan tubuh kami hingga tersungkur ke tanah. Kami menoleh ke belakang, balai desa itu porak-poranda. Saya berseru memanggil nama bapak dengan mata yang terasa panas. Namun, pada saat yang bersamaan, sekelebat saya melihat Kiai Sohang berlari dari balik semak-semak dengan wajah yang penuh kepuasan. [*]
____
Penulis
Ede Tea, lahir di Bogor. Karya-karyanya pernah dimuat di media cetak dan daring. Cerpennya juga masuk dalam beberapa buku antologi. Penulis berstatus sebagai mahasiswa di Institut Digital Bisnis Indonesia dan bergiat di Komunitas Pembatas Buku Jakarta.
Email: dede.supriatna27.ds@gmail.com
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com