Thursday, December 23, 2021

Esai Holy Adib | Membongkar Maksud Permintaan Maaf: Kasus Iwan Jaconiah

 Esai Holy Adib



Seseorang bernama Iwan Jaconiah menjadi bulan-bulanan publik sastra Indonesia baru-baru ini. Ia menjadi sasaran olok-olok, caci maki, dan kemarahan karena dianggap merendahkan dan mempermalukan penyair bernama Iin Farliani. Iin bertanya kepada admin Instagram sajakkofe melalui jalur pribadi tentang jumlah minimal puisi yang diterima rubrik “Sajak Kofe” Media Indonesia. Ia juga bertanya apakah rubrik tersebut menyediakan honor bagi penulis yang puisinya terbit. Bukannya menjawab pertanyaan Iin, admin Instagram tersebut malah bertanya balik, “Bersedia membayar satu puisi berapa untuk diterbitkan di Sajak Kofe?” Kemudian, admin itu menyemprot Iin dengan pertanyaan, “Puisi kamu bagus?” ketika Iin mengatakan bahwa ia menanyakan ketersediaan honor untuk memastikan informasi yang ia terima bahwa media itu menyediakan honor bagi penulis yang karyanya terbit. Admin itu juga menceramahi Iin dengan mengatakan bahwa karya sastra kita tidak akan maju jika puisi-puisi yang ditulis hanya berorientasi pada honor. Kemudian, admin Instagram sajakkofe mengunggah beberapa tangkapan layar (screenshot) tersebut di fitur “cerita” Instagram-nya. Iwan lalu membagikan tangkapan layar itu di “cerita” Instagram-nya dengan mengatakan, “SAYA TIDAK KENAL DENGAN ORANG INI. SUMPAH BELUM PERNAH BACA KARYANYA. NANYA HONOR TAPI KARYANYA TAK PERNAH TAYANG DI @SAJAKKOFE. SEKOLAH S2 LAGI. PARA PESASTRA HEBAT YANG SAYA KENAL MEREKA EDUCATED.” Iwan juga menulis, “INI PENYAIR KARBITAN @IINFARLIANI. KARYANYA TAK PERNAH DITAYANGKAN DI @SAJAKKOFE TAPI UDAH DULUAN NANYA HONOR TRUS KLEM MATI .... OMG.” Belakangan diketahui bahwa Iwan pengasuh rubrik “Sajak Kofe”.


Iwan akhirnya “meminta maaf” dan memberikan klarifikasi. Saya sebut “akhirnya” karena “permintaan maaf” itu terlambat. Ia “meminta maaf” tiga hari setelah kejadian itu. Padahal, publik sastra di Facebook dan Twitter sudah memarahinya dan memberi tahunya bahwa perilakunya itu tak beradab sehingga ia harus segera meminta maaf. Bukannya menanggapi hal itu, ia malah mengunggah dua status di akun Facebook-nya seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Kedua status itu tidak berhubungan dengan persoalannya yang sedang disorot publik.


Perihal “permintaan maafnya”, saya mengapit sebutan permintaan maaf itu dengan tanda petik dua karena bagi saya, Iwan tidak benar-benar meminta maaf. Permintaan maaf merupakan penegasan seseorang telah melakukan kesalahan, dalam hal ini, kepada orang lain dan sudah merugikan orang tersebut. Sementara itu, Iwan tidak mengakui kesalahannya dan malah menyalahkan pihak lain, sebagaimana ia tulis, “Saya sebagai pengasuh Sajak Kofe menuturkan permohonan maaf atas kesalahpahaman dan penapsiran berbagai pihak atas pernyataan saya.” Coba perhatikan. Ia meminta maaf atas kesalahan orang lain terhadap pernyataannya. Biasanya, orang meminta maaf atas kesalahan yang ia perbuat sendiri. Dalam meminta maaf pun ia masih menyalahkan orang lain. Bukannya mengakui dan menunjukkan kesalahan yang telah ia perbuat, ia malah membebaskan diri dari kesalahan dan melimpahkan kesalahan itu kepada orang lain. 


Selain itu, biasanya, orang meminta maaf kepada orang yang telah ia rugikan. Dalam “permintaan maafnya” itu, Iwan tidak menyebut meminta maaf kepada siapa. Dalam kata-kata permintaan maaf Tim Sajak Kofe melalui akun Instagram sajakkofe yang disertakan Iwan dalam “permohonan maafnya” di Facebook barulah permohonan maaf itu ditujukan kepada Iin Farliani. Namun, dalam permintaan maaf itu tetap tidak ada pengakuan bersalah atas perbuatan yang ia dan akun sajakkofe lakukan. Begini permintaan maaf yang tertulis di akun Instagram sajakkofe: Tim Sajak Kofe memohon maaf kepada saudari Iin Farliani atas kesalahpahaman dalam proses berkomunikasi. Tetaplah berkarya dan sukses selalu. Salam Budaya. Tim Sajak Kofe.  


Hal lain yang menarik perhatian dalam “permintaan maafnya” itu ialah bahwa Iwan menganggap pihak lain salah menafsirkan pernyataannya. Dalam klarifikasinya, ia menjelaskan bahwa ia menyebut Iin sebagai penyair gadungan/karbitan sebab ia sering menuliskan status di media sosial dengan sebutan karbitan untuk dirinya sendiri: Catatan Penyair Karbitan. Padahal, publik pada umumnya tidak tahu bahwa ia sering menyebut dirinya di media sosial sebagai penyair karbitan. Siapa pula yang tahu ia sering menyebut dirinya penyair karbitan di media sosial. Publik sastra pada umumnya tidak memantau media sosialnya karena ia bukan orang yang terkenal di dunia sastra Indonesia. Kalaupun begitu, mengapa pula ia menggunakan sebutan untuk dirinya sendiri kepada orang lain, apalagi orang yang tidak ia kenal, padahal sebutan itu berkonotasi negatif dalam pemahaman umum. Karbitan artinya ‘langsung jadi atau tenar (biasanya dipaksakan) dan tidak melalui proses’ (KBBI). Jelas saja publik marah dan salah memahami sebutan penyair karbitan yang ia lontarkan kepada Iin. Iwan ini mungkin lupa bahwa sebuah kata yang ia gunakan, jika tidak ia batasi maknanya, makna kata itu masih menjadi milik umum, milik bersama. Publik tidak tahu definisi karbitan versi Iwan. Publik hanya tahu definisi karbitan seperti yang terdapat dalam KBBI. Jika Iwan terbiasa berkomunikasi dengan Iin dan menyebut Iin sebagai penyair karbitan, hal itu dapat dimaklumi sebagai gaya berkomunikasi dua orang yang akrab. Namun, Iwan menyatakan bahwa ia tidak kenal Iin. Maka, ia tidak pantas melabeli Iin dengan label negatif seperti itu. Dalam klarifikasinya di Facebook, Iwan mengaku kelepasan memberikan label penyair karbitan kepada Iin. Ia pun meminta maaf dengan mengatakan, “Maaf ya, sist!”   


Dalam hal itu bolehlah Iwan punya alasan menyebut pihak lain salah menafsirkan pernyataannya karena ia sudah menjelaskan maksudnya menyebut Iin sebagai penyair karbitan. Bagaimana dengan pernyataannya yang lain? Mari kita perhatikan pernyataannya yang lain terhadap Iin. Iin hanya bertanya tentang ada atau tidaknya honor puisi di media tersebut, tetapi disemprot Iwan dengan pertanyaan, “Puisi kamu bagus?” Itu pertanyaan tidak sopan, bahkan pongah, sebagai jawaban dari pertanyaan orang yang menanyakan ketersediaan honor. Mengapa pula orang yang bertanya tentang ketersediaan honor diceramahi, “Karya sastra kita tidak akan maju jika puisi-puisi yang ditulis hanya berorientasi pada honor,” seakan-akan orang menulis puisi hanya berorientasi pada honor. Percakapan pribadi itu kemudian diunggah di Instagram. Saya kira tidak ada tujuan lain Iwan mengunggah percakapan-percakapan itu, yang di dalamnya terdapat pernyataan-pernyataan tidak mengenakkan terhadap Iin, kecuali untuk mempermalukan Iin sebagai orang yang bertanya tentang ketersediaan honor, padahal menanyakan itu bukan aib.


Motif Iwan mempermalukan Iin sebagai orang yang bertanya tentang ketersediaan honor diperkuat oleh pernyataan lainnya: SAYA TIDAK KENAL DENGAN ORANG INI. SUMPAH BELUM PERNAH BACA KARYANYA. NANYA HONOR TAPI KARYANYA TAK PERNAH TAYANG DI @SAJAKKOFE. SEKOLAH S2 LAGI. PARA PESASTRA HEBAT YANG SAYA KENAL MEREKA EDUCATED. Dengan mengunggah pernyataan bahwa ia tak kenal dan belum pernah membaca karya Iin, ia seperti ingin mempermalukan Iin dan mengajak orang yang melihat unggahan itu ikut mempermalukan Iin karena ada orang bernama Iin, yang tidak ia kenal dan tidak pernah ia baca karyanya, bertanya tentang honor puisi kepadanya. Kemudian, dari tuturan, “NANYA HONOR TAPI KARYANYA TAK PERNAH TAYANG DI @SAJAKKOFE,” Iwan salah paham bahwa Iin meminta honor, sementara karyanya tidak pernah tayang di Sajak Kofe. Padahal, pertanyaan Iin itu sangat sederhana, yakni tentang ketersediaan honor, bukan meminta honor atas karyanya. Ia juga menyuruh Iin untuk sekolah S-2 seakan-akan untuk menulis puisi yang bagus harus sekolah magister dengan alasan bahwa para pesastra hebat yang ia kenal educated.


Kalau memahami pertanyaan sesederhana itu saja tidak mampu, Iwan tidak layak mengasuh rubrik apa pun di media massa. Pengasuh sebuah rubrik harus orang yang ramah, yang melayani orang yang mengirimkan tulisan, termasuk menjawab pertanyaan, seperti ketersediaan honor, besaran honor, jumlah minimal puisi yang dikirim, dan jumlah kata minimal dan maksimal tulisan (cerpen dan esai). Pengasuh rubrik bahkan perlu membimbing penulis kalau tulisannya belum layak muat, atau layak muat, tetapi ada beberapa kekurangan. Pengasuh rubrik harus membangun komunikasi yang baik, misalnya melalui WhatsApp dan surat elektronik. Kalau perlu, pengasuh rubrik menjaga hubungan emosional yang baik dengan penulis yang mengirimkan tulisan. Begitulah seharusnya pengasuh rubrik. Kalau cuma menerima tulisan yang masuk ke redaksi, lalu memilih tulisan yang bagus untuk diterbitkan tanpa membimbing penulis yang tulisannya belum layak muat, itu bukan pengasuh, melainkan tukang pilih tulisan.  


Kembali ke klarifikasi, Iwan mengaku tidak berniat buruk atau jahat untuk menjatuhkan Iin. Menurutnya, persoalan itu hanya kesalahan berkomunikasi lewat media sosial. Saya melihat bahwa pengakuan tidak berniat buruk itu bertentangan dengan pernyataan-pernyataannya kepada Iin melalui fitur “cerita” di akun Instagram -nya dan sajakkofe seperti yang sudah saya jelaskan. Pengakuan itu juga bertentangan dengan aktivitasnya mengunggah tangkapan layar percakapan di jalur pribadi antara Iin dan akun sajakkofe, yang ditambah dengan pernyataan-pernyataan yang merendahkan Iin. Saya kira tidak ada tujuannya mengunggah tangkapan layar percakapan itu disertai dengan pernyataan-pernyataan merendahkan kecuali untuk mempermalukan Iin kepada publik, khususnya orang-orang yang melihat unggahan itu. 


Mengenai anggapan Iwan bahwa persoalan itu hanya kesalahan berkomunikasi lewat media sosial, dengan memakai frasa kesalahan berkomunikasi, ia kembali melibatkan pihak lain, yakni orang yang membaca unggahannya dan unggahan sajakkofe di Instagram itu, dalam kesalahan yang ia perbuat sendiri. Berkomunikasi merupakan kegiatan yang melibatkan dua pihak. Kesalahan berkomunikasi artinya kesalahan yang dilakukan dua pihak yang berkomunikasi. Sementara itu, yang melakukan kesalahan dalam persoalan itu hanya satu pihak, yakni Iwan sendiri. Dengan menganggap persoalan itu sebagai kesalahan berkomunikasi, Iwan saya nilai ingin melibatkan orang lain dalam kesalahan yang ia lakukan sendiri. Dengan kata lain, Iwan ingin mengatakan bahwa kalaupun ia bersalah dalam persoalan itu, setidaknya itu bukan kesalahannya sendiri dan kesalahannya itu terjadi akibat kesalahan pihak lain menafsirkan pernyataannya. Itu pikiran yang licik!

Kata-kata merupakan cermin hati penuturnya. Kata-kata yang dipakai oleh seseorang mencerminkan maksud hatinya. Setelah menganalisis kata-kata yang digunakan Iwan di fitur “cerita” akun Instagram-nya dan sajakkofe, saya menilai bahwa ia bermaksud mempermalukan Iin. Sementara itu, kata-kata yang ia gunakan dalam klarifikasinya di Facebook memperlihatkan bahwa ia tidak sungguh-sungguh meminta maaf, justru berusaha melepaskan diri dari persoalan dengan melibatkan pihak lain dalam persoalan itu.



____

Penulis

Holy Adib, penulis buku Pendekar Bahasa (2019) dan Perca-Perca Bahasa (2021).







Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com


3 comments