Monday, December 13, 2021

Esai Encep Abdullah | "Yuni" dan Bahasa Jaseng

 


Sebelumnya, saya sangat berbahagia karena mendapatkan kesempatan untuk hadir menonton film "Yuni" lewat jalur gratis. Itu pun sebagai pengganti kepala sekolah yang tidak bisa menghadiri undangan tersebut. Sekolah saya, SMK Muhammadiyah Pontang, mendapat undangan khusus dari Astrada film "Yuni" dan disuruh mengirimkan lima utusan sekolah untuk special screening film "Yuni" pada 4 Desember 2021 di Cinepolis Mall of Serang (MoS).


Awalnya saya menduga ini film pendek. Ternyata film panjang dan sangat serius. Seserius proses penggarapannya yang butuh waktu bertahun-tahun. Bahkan, rekan-rekan guru di sekolah pernah ikut casting menjadi pemeran pendukung film "Yuni". Alhasil belum ada yang berjodoh. Casting ini dilakukan di SMK Muhammadiyah Pontang. Lebih kerennya lagi, sebagian aktor Yuni diundang untuk mengisi pelatihan ekskul broadcast di sekolah. Ini suatu kebanggaan tersendiri. 


Promo film "Yuni" yang cukup intens itu tentu menghantui hari-hari saya. Maka, saat saya menjadi salah satu orang pertama yang nonton di Cinepolis MoS, terasa berbunga-bunga. Saya langsung WA Ade Ubaidil, bertanya perihal berapa jam film ini. Ia jawab 123 menit (aslinya 122 menit). Saya makin tak sabar. Seperti halnya Anda yang tak sabar menunggu komentar saya tentang film ini.


Baik. Saya mulai. 


Terkait film berbahasa Jawa Serang (Jaseng) atau Jawa Banten (hingga kini masih diributkan dan belum ada ujung pangkalnya mau disebut apa, tapi istilah Jaseng lebih populer), di Banten sudah sangat banyak. Saya lahir di Singarajan, tempat kelahiran Mang Toto ST Radik alias Mang Dodi. Di sini, ada Singajaran TV yang memproduksi film pendek Jaseng. Juga ada dari Kemanisan, Lontar, dsb. Di daerah Pontang-Tirtayasa sendiri cukup banyak manusia yang memproduksi film bahasa Jaseng. Tapi, bahasa Jaseng yang digunakan dalam film-film pendek itu digunakan sebagai hiburan atau komedi. Entah dari mana asalnya bahwa bahasa Jaseng itu mentok untuk komedi. Kenapa saya sendiri juga tertawa saat mendengar film berbahasa Jaseng itu. Ditambah adegan-adegan yang memang dikemas komedi.


Dalam film "Yuni", stigma bahwa bahasa Jaseng itu untuk film komedi, pupus sudah. Dalam "Yuni", meskipun menggunakan bahasa Jaseng, saya kok malah serius nonton. Citra bahwa bahasa Jaseng itu sekadar untuk olok-olokan dan komedi tidak punya tempat di sini. Walaupun para aktor tersebut sebagian besar artis ternama, mereka seperti asli orang Serang. Di sini saya ikut bangga. Saya sangat sedih tidak bisa ikut casting waktu itu, seandainya ikut, saya yakin ditolak.


Saya tidak akan banyak menceritakan tentang isi filmnya. Mungkin sudah banyak yang menuliskannya. Merevieunya. Walau sekilas ada juga yang berkomentar "Ini bukan film tentang budaya Serang. Perilaku si Yuni tidak mencerminkan orang Banten. Perilaku Mang Dodi, tukang wayuh (poligami) bisa jadi itu budayanya." Meskipun saya yakin ia setengah bercanda dan setengah serius. Ada juga teman guru yang mengatakan "Duh, filmnya gak cocok ditonton anak-anak. Ada adegan dewasanya. Nanti mereka malah meniru." Sekali lagi sebagai penonton saya tidak menyoroti itu. Itu wilayah yang lain, saya hanya bisa mengomentari mereka dengan "Kalau anak di bawah umur jangan nonton, di situ ada keterangan 17+, dan film ini sebenarnya tidak hanya ditujukan untuk para siswa, melainkan kepada orang tua sekaligus kritik terhadap mereka." Meskipun ada beberapa adegan yang sebenarnya bagi saya juga tidak penting-penting amat untuk ditampilkan, mungkin bisa dialihkan dengan simbol bahwa ia sudah tidak perawan, atau begini dan begitu.


Aih, saya bilang sekali lagi, saya tidak mau jauh mengomentari itu. Saya agak kelu kalau membicarakan sisi kekurangannya. Entah karena sebagian aktor itu teman-teman saya. Entah saya terlalu banyak terharunya saat menyaksikan film ini. Serius, saya malah lebih fokus "Ternyata, wong Serang bisa akting. Wong Banten bisa akting: terutama tokoh sentral dan penting Mang Dodi "Toto ST Radik" dan Ende Yuni "Nazlah Thoyib". Kok bisa ya sampai sejauh ini prestasinya. Bahasa Jaseng mendunia. Si Ade Ubaidil, kok cuma tayang sekian detik saja dalam film ini. Padahal dia coach bahasa Jaseng para artis. Di film ini kok dia hitam. Ireng, brenges." Saya haru hampir menangis melihat Ade yang bersanding dengan Yoga, eh maksud saya haru menonton keseluruhan film ini.


Selain karena filmnya, saya terharu karena sebagian besar orang yang ada di dalamnya. Termasuk kru film, Uki, kerabat di Pontang. Hebat juga orang-orang Pontang. Saya terharu di sana, selain dari kesesakan dada saya membayangkan menjadi sosok Yuni yang berkelindan masalah dalam pikirannya sendiri. Cita-cita yang tak tergapai hanya karena mitos jauh jodoh bila menolak lamaran beberapa kali. Pada bagian ini saya geregetan, "Ayolah Yuni, lanjutkan kuliah! Ayo, kuliah! Jangan dulu menikah!" 


Sekilas saya jadi teringat anak-anak murid saya di sekolah. Beberapa dari mereka ada yang cerdas, berkeinginan untuk kuliah, tapi orang tua kurang mendukung, ekonomi tak memadai, dsb. sehingga pupus dan nganggur di rumah sampai datang lelaki yang meminang. Padahal hatinya ingin lanjut sekolah, kuliah. Pernikahan seolah jadi langkah dan nasib akhir perawan desa yang tak bisa berbuat apa-apa. Orang secerdas Yuni saja bisa kalah oleh keadaan, apa lagi mereka-mereka yang lemah dalam mengambil keputusan.


Saya jadi ngalor-ngidul. Saya kembali kepada persoalan bahasa Jaseng. Sedikit koreksi dan komentar, ada sebagian kata yang dilontarkan Yuni yang dirasa kurang enak didengar, misalnya saat percakapan Yuni dan Ibu-Ibu Metal di kamar mandi. Kalau tidak salah Yuni berkata, "Arep tak embilaken air?" saat ibu-ibu itu batuk. Padahal, seharusnya Yuni bilang "banyu" bukan "air". Kata "air" jadi terasa aneh. Ada juga sebagian masyarakat Serang menyebut air putih itu dengan "wedang". Pun saat Yuni bercakap di musala dengan Bu Guru Cantik,  Bu Guru Lis kalau tidak salah namanya. Bu Lis berkata "kenape?" kepada Yuni. Telinga saya agak asing dengan pertanyaan ini. Harusnya "kelipen" atau "kelemen". Sebagai warga Serang, saya belum pernah mendengar diksi "kenape" atau memang saya yang kudet ya. Juga ada beberapa dialog yang terdengar tipis tercampur menggunakan bahasa Indonesia. Entah saya benar atau tidak. Ada suara-suara kecil Yuni yang tidak sengaja keceplosan keluar dari Jaseng (meskipun dalam dunia nyata bisa lebih parah, bisa jadi bahasa gado-gado). Kalau Anda tidak percaya dan penasaran atau ingin membuktikannya, sekaligus membatu saya memecahkan masalah ini, ya Anda harus nonton filmnya. Kalau ternyata benar apa yang saya katakan itu, bisa kabari saya lagi, mungkin saya masih bisa edit tulisan ini. 


Tapi, saya sangat menyadari, tugas Mang Qizing dan Ade Ubaidil sebagai pelatih dan mentor bahasa Jaseng bagi para artis itu jauh lebih berat ketimbang menulis catatan ini. Kekeliruan kecil yang saya komentari di atas tidak merusak keutuhan cerita. Barangkali, khilaf, mau diedit lagi nanggung. Atau sengaja diciptakan sedikit kekeliruan itu agar masyarakat semacam saya peka dan tergerak untuk mengomentarinya. Bisa jadi. 


Di sini, saya salut kepada Mang Qizing dan Ade Ubaidil. Bagi film yang mendunia, ini sebuah risiko yang sangat tinggi bila dilakukan dengan asal-asalan. Untung, keduanya mampu menghadapi semua itu. Mampu mengajari para aktor dan aktris itu berbahasa Jaseng. Semoga film "Yuni" menjadi pemicu lahirnya film-film berbahasa Jaseng lainnya yang lebih serius dan berkualitas. Dengan begitu, marwah bahasa Jaseng yang mungkin sebagian orang mempunyai stigma bahasa kampungan, norak, hanya bahasa olok-olok dan sebagainya itu dapat dikristalisasi dengan adanya film ini. Yuk, bangga berbahasa Jaseng. Aje isin. Aje kendor!


Sebagai penutup akhir tahun, sayang kalau Anda tidak menonton film ini, khususnya bagi warga Serang dan sekitarnya. Yuk, bareng-bareng nonton. 


Wis gencang merane, tuku tikete!



Kiara, 13 Desember 2021




___

Penulis


Encep Abdullah, penulis sing doyan mangan endog.