Cerpen oleh Anindita Buyung Pribadi
“Kau tahu, banyak sekali figur publik di luar negeri sana yang memalsukan kematiannya sendiri. Dengan berbagai alasan, seorang penyanyi, aktor, hingga penguasa negara-negara maju dikabarkan telah melakukan pemalsuan atas kematiannya sendiri. Mereka saja bisa, masa aku tidak bisa.”
Begitulah. Perbincangan hari ini lagi-lagi dibuka dengan sebuah argumentasi konspiratif dari Pak Be. Atasanku ini memang gemar sekali kan teori-teori konspirasi. Kematian orang-orang penting dunia, harta karun kuno, dan sebagainya. Bahkan, beliau sangat percaya bahwa bumi ini datar dan frasa "ujung dunia" adalah nyata. Aneh memang. Hal ini hanya beliau katakan kepadaku, di depan publik beliau akan mengatakan pendapat yang sama dengan orang-orang kebanyakan.
“Siapa sih orang yang sanggup berada di tempat seperti ini lama-lama. Aku memang tidak dipenjara, Nu, tetapi berada di antara orang-orang sakit membuatku gila.”
“Saya mengerti, Pak, tetapi apakah tidak terlalu berisiko? Warganet di negara kita sudah seperti detektif swasta, Pak. Bapak ingat kasus makelar pajak yang dipenjara, tetapi ketahuan nonton pertandingan olahraga? Atau mantan ketua parlemen yang dipenjara, tetapi fasilitasnya mewah? Itu berawal dari warganet, Pak.”
Pak Be terdiam.
Pak Be tersandung kasus korupsi bantuan sosial untuk pandemi virus yang sedang melanda dunia ini. Beliau belum sempat mengikuti sidang dan divonis, tetapi dari banyaknya nominal yang dikorupsi dan perkara korupsi atas bantuan sosial, menurutku hukuman yang akan diterima tidak main-main.
Pak Be sangat takut masuk penjara. Meskipun banyak berita baik dari rekan-rekannya yang telah mencicipi penjara, Pak Be tetap pada pendiriannya bahwa masuk penjara adalah aib. Padahal, sebagai ajudan, aku sudah menyiapkan strategi-strategi jika nanti Pak Be masuk penjara. Kami punya relasi-relasi yang bisa menyulap keadaan Pak Be jika masuk penjara. Tetapi tidak, beliau lebih memilih diisolasi di rumah sakit ini bersama ratusan pasien lain yang terpapar virus.
“Tidak. Tekadku sudah bulat. Ibnu, kau yang urus semua. Entah bagaimana caranya, besok pagi umumkan di media tentang kematianku. Urus juga tiket pesawat dan hotel untukku. Besok aku terbang ke negara S.”
Pak Be mengambil napas, lalu kembali melanjutkan rincian rencananya.
“Istri dan anak-anakku tidak usah diberi tahu sekarang, supaya kesedihan mereka tidak dibuat-buat. Dua minggu lagi baru kau beri tahu. Lalu kau uruskan juga nanti kepindahan mereka ke negara S.”
Aku menghela napas pelan. Lalu, mengangguk patuh.
***
Esoknya, berita kematian Pak Be menghiasi headline surat kabar negara ini. Salah satu tersangka korupsi paling besar dan paling tidak berperikemanusiaan ini meninggal semalam karena terpapar virus. Hal ini langsung memunculkan kecurigaan dan teori-teori konspirasi. Aku sedikit khawatir. Namun, Pak Be malah menikmatinya. Bagi beliau semua konspirasi hanya berhenti sebagai teori sebelum ada yang sanggup membuktikannya.
Tidak sedikit uang yang Pak Be keluarkan untuk prosesi pemakaman fiktif yang dilangsungkan. Jenazah anonim dari sebuah rumah sakit swasta dibeli untuk dijadikan pengganti beliau. Istri dan anak-anak tidak ada yang tahu. Tangis histeris pagi itu sangat nyata terdengar pilu di telinga. Tidak ada yang bisa mengecek ke dalam peti jenazah karena alasan protokol kesehatan. Pandemi yang membuatnya demikian. Alhasil, si jenazah anonim pun lolos dimakamkan sebagai salah seorang pejabat di negara ini.
Di bagian lain kota ini, aku yang baru saja selesai melaksanakan peranku sebagai ajudan yang kehilangan tuannya, kini sudah bersama Pak Be di dalam mobil yang menuju ke bandara. Semua sudah kuatur serapi mungkin. Tidak ada media bahkan orang lain selain kami (dan dua orang kepercayaanku) yang tahu bahwa Pak Be telah berhasil memalsukan kematiannya.
“Ibnu, terima kasih. Kau tidak pernah mengecewakan,” kata Pak Be tersenyum ke arahku. Kami sudah berada di bandara. Urusan boarding pass dan check in sudah diselesaikan oleh dua orang kepercayaanku yang sedari pagi berada di bandara.
“Jangan lupa, istri dan anak-anakku kau uruskan perpindahannya, ya.”
Pak Be tersenyum sumringah. Beliau lantas balik badan dan berjalan masuk tanpa menoleh kembali ke arahku.
***
Aku masuk ke sebuah kafe di bagian luar airport ini. Memesan secangkir Americano panas, lalu duduk sembari menyalakan sebatang rokok. Tak lama Americano-ku datang berbarengan dengan breaking news di televisi. Tertulis di sana bahwa pesawat dengan kode yang sama seperti yang ditumpangi Pak Be, hilang kontak setelah lima menit take off.
Aku terkejut. Sebatang rokok yang baru kunyalakan lepas dari jepitan bibirku. Tubuhku lemas. Bagaimana reaksi keluargaku saat mereka membaca ada namaku di daftar penumpang pesawat itu? Runyam.
______
Penulis
Anindita Buyung Pribadi, lahir di Banyumas tinggal di Magelang. Menulis puisi dan cerpen di sela kegiatannya sebagai pengajar di sebuah sekolah mengengah atas. Beberapa karyanya pernah dimuat di beberapa media cetak, daring, dan antologi bersama. Penulis bisa ditemui di akun instagram @aninditabuy.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com