Friday, February 10, 2023

Cerpen Lilin | Sampah-Sampah Berserakan di Halamanku

Cerpen Lilin




Andai saja aku perempuan dengan sayap kokoh. Mungkin setiap malam akan kubawakan sinar rembulan, hingga tak perlu lagi mereka kesulitan mengenali mana sampah mana makanan.


Aku mulai mengetik di halaman sebuah jejaring sosial. Dengan sudut mata sedikit mulai basah, perih bercampur getir mengiring lemah setiap ketikkan jempolku. Sedih rasanya harus menuliskan kisah pernikahan yang seakan-akan menjadi konsumsi publik dan membahagiakan orang lain. Entah untuk siapa kutuliskan kata-kata ini, dengan menuliskan inisial nama mestinya yang membaca tidak akan mengenalinya. 


Sore tadi, bahagia terlihat begitu nyata tatkala dari binar sepasang mata anak perempuan dengan langkah terhuyung dan mencari-cari pegangan menyongsong kedatangan emaknya. Membongkar kantong hitam lalu membuka bungkusan dan memakan isinya. Di kursi kayu panjang depan rumah, perempuan itu tersenyum dan sang anak tak berhenti berkata-kata mengekspresikan kebahagiaan.


"Enak, Mak." 


Bocah itu berbicara sambil terus masukan makanan ke mulutnya. 


"Enak banget, Lala akan senang sekali kalau emak setiap hari bawa makanan seperti ini."


Perempuan yang dipanggil Emak tersenyum getir. Andai saja anak itu tahu ....


Aku tertegun dan makin teriris, salah satu dari mereka mengatakan bahwa kesenangan itu akan mereka miliki hanya dengan setiap hari membawa makanan dalam kantong kresek hitam.


Senyum getir tersungging di bibirku. Teringat kejadian beberapa tahun silam. Lebih tepatnya tujuh tahun lalu, sebuah pernikahan yang membawaku ke kota ini. Aku seorang gadis desa diboyong seorang lelaki mapan yang bekerja di BUMN di Kota S. Tak ada yang lebih baik daripada saat itu, tak pernah sekalipun terpikirkan bahwa bunga-bunga yang di terangkai indah untuk menyambut kedatanganku adalah milik Ela. Perempuan pertama yang terpaksa diusir pergi dari rumah ini karena kehadiranku.


Di malam pertama aku di rumah ini, ia pergi dengan mengendong bayinya. Mas Andi tak merasakan sedikit iba dengan keadaan perempuan yang pernah dicintainya. Hujan dan sambaran petir mengiringi langkah perempuan itu, dengan sedikit basah karena payung yang dipegangnya sebisa mungkin ia gunakan untuk melindungi bayi dalam gendongannya.


"Sudah tak usah kau risaukan perempuan itu," ucap Mas Andi menenangkan kegamangan hatiku. 


"Tapi Mas," lirih balasku. 


"Kasihan Mbak Ela dan bayinya," aku masih berusaha menghalangi Mas Andi mengusir dua perempuan dalam hidupnya sebelum aku.


"Saat perempuan tidak bisa menghindarkan suaminya dari rasa malu. Untuk apa lagi dipertahankan. Dia hanyalah sampah," tukas Mas Andi.


"Biarkan saja."


Tatapan Mbak Ela telak menghujam ke dalam mataku. Tatapan penuh kegetiran itu tak pernah dapat kulupakan. Tatapan mata itu seolah-berkata, "seseorang yang mempertahankan sampah di dalam kehidupannya tidak lebih baik daripada sampah itu sendiri."


Aku muak harus hidup dengan kenangan itu. Tatapan mata, kegetiran, dan sesal-sesal yang tak dapat dengan mudah kubuang. Tujuh tahu dari kepergian Mbak Ela, tapi bayangan dan kemarahannya masih selalu tergambar di setiap sudut rumah ini. Bahkan telah menguasai alam bawah sadarku, sejak malam naas itu, setahun setelah kepergian Mbak Ela, sebuah kecelakaan telah merenggut bayi yang belum sempat ada di dalam gendonganku, serta menghancurkan rahim hingga menjadi seorang ibu hanyalah impian saja. Mas Andi, lelaki itu kini hanya bisa terbaring di tempat tidur, kecelakan tidak hanya mengelapkan masa depanku, sekaligus juga merampas keperkasaannya. Mas Andi dinyatakan dokter lumpuh permanen. Dan itu tidak bisa membuatku meninggalkannya. Ah, inikah yang disebut sampah itu .... Rumah ini terasa gelap sekali meskipun lampu-lampu terpasang di setiap sudut ruangan. 


Tuhan, berikan waktu kepadaku. Akan kubawakan satu saja lampu di rumah ini, untuk kupasang di kedua bola mata Lala yang gelap. Agar ketakutan tidak lagi menghalangi langkah Mbak Ela untuk kembali pulang. Amin.


Aku tidak lagi bisa menatap kata-kata yang baru saja aku posting di halaman jejaring sosial. Kenangan, sakit, haru, dan sesal telah berganti-gantian membentuk butiran-butiran yang berjatuhan dari kedua bola mataku. Entah untuk siapa kata-kata itu kembali aku posting.


Surabaya, 1 Februari 2023


______


Penulis 


Lilin adalah nama pena dari perempuan kelahiran Surabaya. Baginya, menulis adalah salah satu cara mengubah kepahitan menjadi sesuatu yang manis. 


Karyanya masuk dalam antologi bersama Pemuisi Jatim (2020), Sajak di Tepian Senja (SPI, 2021), Jejak Puisi Digital (HPI 2021), Puisi Dua Bahasa (2021), Antologi Puisi HUT ke-62 RSUP Sanglah (2021), dan juga bersama kawan-kawan di Komunitas Sastra Nusantara, di antaranya Wajah-Wajah Asing (April, mop 2021), Surat untuk Ibu (2021), Kaki-Kaki Tanah (2021), Perempuan yang Menyeduh Hujan (2022) dan masih banyak antologi lainnya. 


Kirim naskah

redaksingewiyak@gmail.com