Friday, March 24, 2023

Cerpen Acik Giliraja | Sesuatu yang Ia Derita di Kepalanya

Cerpen Acik Giliraja



Tak ada orang mati menggali kuburannya sendiri. Juga tak ada orang mati berjalan sendiri ke kuburan yang telah dibuatkan untuknya.


Ia sadar betul dengan ungkapan itu, dan tentu saja ia masih ingat bahwa yang berkata seperti itu adalah almarhum gurunya di langgar dulu, dua puluh tahun silam.


Saat gurunya meninggal, ia datang ke rumah duka, tetapi tidak membawa karangan bunga. Saat empat orang memikul keranda, ia menyaksikan sendiri bagaimana jenazah gurunya tidak bisa berjalan sendiri ke makam, gurunya yang sudah mayat tidak dapat berkubur sendiri di liang kubur yang sudah disediakan penggali kubur. Ia mestilah digotong di dalam sebuah keranda, dan akhirnya dimasukkan ke dalam liang yang semula menganga, lalu secara mengagumkan lubang itu diisi kembali dengan tanah. Dan tak ada yang tahu akan seperti apa gurunya itu di dalam kuburnya. Apakah gurunya akan menjumpai sebuah taman begitu indah dikelilingi air yang mengalir, atau malah tersungkur dalam lubang sangat panas, yang dari saking panasnya membuat kulit mengelupas dan melelehkan isi kepala. Taman yang indah ialah bagi orang-orang saleh, demikian pitutur gurunya di langgar dulu, sementara lubang yang panas bagi para pendosa.


Ketika ia mulai mengingat hari saat gurunya dikuburkan, ia benar-benar merasa bahwa ia sejatinya sudah harus mempersiapkan segalanya jauh-jauh hari sebelum tangan kematian mendatangi dirinya. Ia pun tidak sekadar berencana, ia melaksanakan apa yang ia rencanakan. Dan itu adalah menggali kuburan bagi dirinya sendiri.


Di hari minggu sekira pukul sembilan pagi ia pergi ke makam membawa cangkul dan linggis. Ia berjalan dengan langkah-langkah pasti. Setibanya di makam ia mencari tempat yang baginya tepat untuk ia gali.


"Hidup ini alangkah kejam," katanya saat ia mulai menancapkan linggis ke tanah bagi lubang pertama--entah apa maksud ucapannya itu. 


Ia menggali, dan belum seberapa dalam, seseorang menghampirinya.


"Apa yang kau lakukan?"


"Menggali kuburan."


"Bagi siapa? Belum ada orang mati."


"Untuk diriku sendiri."


"Wah, gila."


"Aku harus mempersiapkan kuburanku sejak awal."


Orang itu menyaksikan ia beberapa saat, dengan tatapan bingung, sebelum pergi dengan sedikit celengan kepala.


Ia terus menggali dan mencangkul, atau mencangkul dan menggali, tentu saja istirahat sesekali, menyeka keringatnya yang mengalir di pipi, perut, dan punggungnya. Dan kuburan itu selesai jelang pukul tiga sore. Tetapi ia bingung. Untuk apakah semua itu jika ia sendiri masih segar bugar? Sementara ia tidak mungkin mencekik lehernya sendiri. Apakah ia akan berkubur saat itu juga padahal ia belum mati? Ia duduk lama dekat kuburannya itu, dan mengantuk. Ia memutuskan untuk pulang, tidak melompat ke dalam kuburannya. Selagi melangkah pulang, ia berpikir bahwa apa yang baru ia lakukan benar-benar menyenangkan. "Kau tahu," katanya sendiri, "sebentar lagi kau akan merasakan ketenangan luar biasa. Sebab kau telah menyelesaikan suatu hal yang itu, adalah suatu tanda bahwa kau telah siap. Hahaha." Ia tertawa begitu gembira, dan saat itu kantuknya tiba-tiba menghilang. Ia berbalik arah, menuju makam kembali, dan tinggal di sana hingga di ufuk barat tersisa semburat jingga.


Dan saat ia duduk-duduk di tepi liang kuburnya, ia mengenang akhir riwayat gurunya. Bahwa, sebelum gurunya meninggal, lelaki nyaris lima puluh tahun itu keselip lidah, demikian yang telinganya tangkap dari obrolan orang-orang siang dan malam, sehingga melukai seorang janda yang hidup sendirian. Entah bagaimana persisnya ucapan gurunya itu, namun yang jelas telah mampu membangunkan iblis di dada si janda. Orang-orang yakin bahwa ucapan si guru tidak hanya membuat memar telinga si perempuan, melainkan pula hatinya.


"Betapa hebatnya jika seorang perempuan menaruh 'guna-guna' padamu. Siang dan malam kau hanya ingat perempuan itu, dan kau menyenandungkan namanya tak henti-henti. Kau tidak dapat tidur dengan nyenyak, makanmu tidak berselera, tubuhmu panas-dingin, lalu pelan-pelan kau menjelma mayat hidup. Sekadar tulang belulang dibungkus kulit, dan pandangan matamu hanya terisi si perempuan. Hati-hati dengan perempuan pendendam."


"Tetapi kata istrinya ia menderita penyakit lambung yang menderanya sejak lama."


"Hah, asal kau tahu saja, itu hanya akal-akalan istrinya. Ia tidak Terima menghadapi kenyataan kalau suaminya lebih sering menyebut nama janda itu ketimbang dirinya. Kenyataannya suaminya terkena guna-guna."


Saat ia mengenang itu semua, wajah si janda juga menggayut di benaknya. "Oh, mana mungkin," bisiknya. "Ia tidak mungkin memiliki ilmu sihir."


Ia sendiri memiliki hubungan cukup intim dengan perempuan itu, dan itu sudah lama sekali. Betapa dulu ia begitu memuja perempuan itu. Sementara sekarang, perempuan itu telah hidup di tempat lain. Ia tidak tahan menghadapi tatapan mata buruk orang-orang. Ia merasa dirinya sangat lemah karena orang-orang terus menerus mengatakan dirinya telah memasang pelet bagi si guru itu.


Untuk ini ia diam-diam merasa bersalah pada perempuan itu. Ia merasa bersalah karena ia tidak mau pergi bersama janda itu. Saat ia ingat perempuan itu sekarang, ia merasa telah melakukan kesalahan besar, yang mungkin tak terampuni.


***


Besoknya ia kembali mendatangi kuburannya. Kosong. Sekadar beberapa helai daun tergeletak di dalamnya. Ia kembali duduk di samping kuburannya sendiri, sambil memperhatikan nisan-nisan kelabu di samping kiri dan kanannya. Ia merasakan keheningan begitu dalam di tempat itu. Apakah orang-orang mati saling tidak bicara satu sama lain, pikirnya.


Ia termenung-menung memikirkan orang-orang mati. Ia hanya mampu mengira-ngira jika orang-orang mati itu, yang telah terkubur, memiliki rutinitas lain di kehidupannya, dan itu tidak sampai membuat orang-orang di atas bumi mendengar keriuhannya. "Mungkin di sana juga ada pasar," katanya. "Mereka membeli kebutuhan-kebutuhan penting dan tidak penting, dan mereka juga berbincang dengan kenalan mereka di suatu kedai teh. Tentu saja juga ada bocah-bocah yang menangis dan tertawa di sekitar mereka. Tetapi kurasa di sana tidak ada burung gagak. Untuk apa? Toh mereka tidak mungkin mati lagi. Sementara burung gagak ada untuk mengabarkan kematian. Jika burung gagak ada di tempat itu, kupastikan ia tidak menyeramkan lagi. Mungkin ia akan menjadi sangat pendiam."


Lama ia duduk termenung di makam, ia kembali mengantuk. Lalu ia kembali pulang. Dan besoknya ia kembali lagi. Begitulah yang ia lakukan dari hari ke hari. Ia merasa sia-sia. Sebab ia tak kunjung mati.


Di hari ke delapan sejak kuburan itu dibikin, seorang tetangganya meninggal. Sehingga, dengan terpaksa, kuburan yang telah siap ditempati itu dipakai untuk 'ditinggali' jenazah tetangganya.


Lalu ia menggali kuburan baru, dan berakhir sama. Dan ia tidak berhenti. Saat itu ada tiga jenazah yang mesti dikubur di hari itu juga. Ia pun merelakan liang kuburnya bagi salah satu orang mati itu.


Namun ia tidak menyerah. Ia menggali kuburan lain di makam itu. Untuk ini kuburan itu cukup lama bertahan dalam kekosongan. Orang mati belum juga ada di kampung itu. Jadi liang kubur itu masih aman.


Akhirnya, dua ekor ular hitam begitu besar tahu-tahu melingkar di dalamnya.


Pagi itu, sekira pukul setengah delapan, seorang perempuan empat puluhan tahun pergi menuju makam. Ia hendak berziarah ke kuburan ibunya. Oleh karena suatu dorongan kecil di dalam dirinya, saat ua melihat sebuah timbunan tanah di sisi lubang persegi empat, ia berjalan ke arah itu lalu setelah tiba di sisi-Nya ia menjulurkan lehernya ke dalam lubang. Tidak perlu menunggu satu menit, bahkan saat matanya menumbuk dua ekor ular hitam begitu besar itu, mulutnya mendadak memekikkan jerit, dan kedua lututnya bergetar begitu saja. Ia tentu saja ketakutan. Tanpa berpikir lagi, ia berlari dari makam sebelum sempat duduk di sisi kuburan ibunya. Orang-orang yang mendengar teriakannya keluar dari rumahnya, dan mencari sumber suara. Maka, ketika perempuan itu mulai tampak, orang-orang bergerak padanya. Setelah perempuan itu terkepung oleh orang-orang yang menyimpan selubung penasaran di kepalanya, dan setelah menghembuakan napas beberapa kali, ia pun menuturkan apa yang ia lihat di makam.


"Ada dua ular hitam besar," katanya.


"Di mana, ha?"


"Di kuburan kosong itu."


"Benarkah? Ular sungguhan?"


"Jangan-jangan itu jin."


"Lihat saja sendiri."


"Ayo kita lihat."


"Ayo kita pergi bersama-sama."


"Apakah itu ular, apakah itu jin?"


"Ular jadi-jadian?"


Mereka berduyun ke makam. Tiba di sana mereka betul-betul menyaksikan dua ular hitam besar saling melilit dan bergelung di dalam lubang. Tanpa pikir panjang mereka menimbun lubang itu, mengubur hidup-hidup dua ular hitam besar itu. Mereka takut jika sampai dia ular itu melompat dari dalam lubang dan menggasak orang, itu benar-benar celaka. Lalu kelak, seseorang yang tidak tahu tentang riwayat ini, tentu akan mengira kalau itu adalah kuburan manusia seperti umumnya. Ya, kuburan itu juga ditandai dua nisan dari batu tanpa nama--begitulah 'keisengan' tercipta. Seharusnya salah satu nisan dibubuhi sebuah nama, misal, "Sepasang Ular Bersemayam di Satu Liang." 


Mendengar kuburannya terisi dua ular hitam besar dan sudah dikubur, ia lekas berlari ke makam. Di sana ia menyaksikan orang-orang masih berdiri saling pandang, dan tebakan-tebakan liar mengalir dari mulut-mulut mereka.


"Ini pertanda apa?"


"Apanya yang pertanda apa?"


"Dua ular hitam besar itu. Apakah itu murni ular?"


"Jadi-jadian maksudmu?"


"Kita tidak tahu."


"Dan kita telah menguburnya."


"Apakah akan ada kutukan atau semacam itu?"


"Kutukan apa?"


"Hanya ular, meski dua, dan hitam, dan besar."


"Nah itu masalahnya."


"Masalah apa?"


"Ya itu masalahnya...."


Ia hanya diam tak berkata apa-apa menyaksikan orang-orang meributkan sesuatu yang sudah terjadi. Ia tidak menunggu penjelasan apa pun, ia kembali ke rumahnya, dan ia tidak perlu bertanya ada apa atau kenapa pada siapa pun.


Maka, tujuh hari kemudian, tidak diragukan lagi, ia menggali sebuah lubang segi empat di dalam kamarnya, tidak di makam lagi. Dengan cara seperti itu ia berpikir bahwa jika ada orang mati sebelum dirinya, liang kubur itu tidak bakal diminta orang. Ia merasa lega setelah menyelesaikannya.


Memang benar, liang kubur di dalam rumahnya itu akhirnya ia yang menempati. Suatu malam ia merasakan pusing begitu hebat. Ia seolah merasakan getaran begitu dahsyat, semacam gempa bumi, dan ia merasakan sekelilingnya berputar dan berputar. Tidak hanya berputar, genting-genting rumahnya seakan berjatuhan lantas mengubur dirinya. Namun sesungguhnya yang terjadi ialah telinganya kemasukan dua ekor kalajengking. Ia tidak kuat lagi menanggung rasa sakit itu. Ketika akan turun dari ranjangnya, ia jatuh ke dalam lubang yang ia gali sendiri. Dan ia mati saat itu juga.


Ia mati dan tak ada yang tahu perihal kematiannya sampai tiga hari kemudian.


Seorang tetangganya menaruh curiga karena ia tidak pernah tampak, sementara pintu rumahnya selalu rapat. Tidak demikian perilakunya, pikir orang itu.


Ia berdiri di teras rumahnya dan memanggil istrinya di dapur. "Ada apa?" kata istrinya di dapur. "Kemarilah sebentar," katanya, "ada hal penting yang mau kutanyakan padamu." Istrinya seperti berlari, ia telah berada di hadapannya.


"Kau lihat lelaki penghuni rumah itu?"


"Tidak. Kenapa?"


"Sejak tiga hari lalu kau tidak melihatnya bukan?"


"Sepertinya iya. Aku tidak menghitung sejak kapan aku tidak melihatnya."


"Benar. Aku pun tidak melihatnya. Bahkan aku tidak mendengar suara sekecil apa pun terdengar dari rumah itu."


"Lantas?"


"Tidak ada. Dan kembalilah ke dapurmu."


"Tidak dapat dipercaya," kata si perempuan seraya berjalan ke dapurnya.


Ia yang curiga itu lantas mencoba mendatangi rumahnya dan mulai memanggil-manggil sambil mengetuk pintu. Hanya ada tiupan angin dan suara kucing mengeong. Lalu orang itu tanpa segan membuka pintu yang kebetulan tidak terkunci dari dalam. Ia melongokkan kepala sebelum benar-benar meloloskan seluruh tubuhnya ke dalam rumah itu. Mula-mula yang ia dapati adalah kekosongan yang kentara, lalu bau bangkai. Ia melihat pintu kamar terbuka. Ia berjalan pada pintu kamar yang terbuka. "Astaga!" pekiknya saat melihat sebuah lubang yang menyerupai liang kuburan itu. Ketika ia menengok ke dalam, betapa ia kaget luar biasa, melebihi sebelumnya. Ia berteriak dan melompat ke luar, ia menyebut-nyebut nama Tuhan berulang-ulang, dengan begitu panik. Ia benar-benar seperti tengah menyaksikan hantu tengah hari.


"Hantu. Maksudku mayat!" terangnya dengan wajah ketakutan.


"Di mana ada hantu, maksudku mayat?"


"Tetangga sebelahku. Rumah yang seakan hendak roboh itu. Penghuni satu-satunya telah jadi mayat."


"Lelaki itu, yang menggali kuburannya sendiri?"


"Oh, jadi ia benar-benar membuat kuburan bagi dirinya."


Bergegaslah mereka pergi ke rumah yang dimaksud. Dan orang-orang lain ikut serta demi mengetahui apa yang terjadi. Langkah-langkah mereka secepat beliung. Dan mereka berderap ke satu arah.


Tiba di rumah itu mereka menyaksikan betapa ia bagai sebatang pohon pisang, tiada bentuk lagi busuk. Dan, meski demikian, tentu saja jenazah ia diangkat untuk diruwat semestinya.


Tetapi, usai itu, ia tetap saja tidak menimbun kuburannya sendiri, meski mungkin ia telah melompat sendiri ke dalam kuburannya itu, yang telah ia gali dengan kedua tangannya. Oh, nasib.


"Ia pasti gila."


"Benar. Orang gila itu ada. Ia orangnya." Kenang orang yang dulu sempat menanyakan apa yang sedang ia lakukan di makam.


"Apa sebetulnya yang ada di pikirannya saat ia menggali kuburannya sendiri?"


"Sungguh di luar perkiraan siapa pun."


"Ngomong-ngomong, apa ini ada hubungannya dengan dua ular hitam besar itu?"


"Ada atau tidaknya, itu tak penting. Dua ular hitam besar itu sudah dikubur, dan ia juga sudah dikubur. Yang pasti, kita tidak pernah tahu apa yang akan ia alami di dalam kuburnya. Sempit atau lapangkah kuburannya?"


Kemudian orang-orang itu bersaksi bahwa ia orang baik.


"Setidak-tidaknya ia mati dengan tidak menanggung utang-piutang padaku."


"Ia lelaki sederhana."


"Ia orang jujur. Sebab ia tidak pernah berbohong padaku."


"Ia tidak maling meski hidup seadanya."


"Ia pun sepertinya tidak menyelingkuhi istri orang walau hidup sendirian meski ia cukup tampan, meski tidak kaya."


"Andai ia kaya mungkin kita yang berada di sini sekarang dapat mengambil sedikit uang untuk biaya penguburan yang lebih layak, juga meriah. Iya kan, dan banyak daging untuk disantap usai ini."


"Oh, entahlah, ia telah menyumbangkan dua kuburannya untuk dua orang mati sebelumnya, tetapi mungkin ia menderita sesuatu di kepalanya."


Usai persaksian-persaksian itu, kuburan ia ditinggalkan. Orang-orang pulang ke rumah masing-masingmasing-masing tanpa keraguan membayangi mereka sedikit pun.


Jakarta, 2023 (16.05)


________


Penulis


Acik Giliraja, lahir dan besar di Sumenep. Menyukai puisi dan cerita pendek. Saat ini tinggal di Jakarta. 

Fb./ IG. Ramuk Jalapati II



Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com