Esai Malkan Junaidi
PERSPEKTIF TEOLOGIS
“way yiḇrā ’ĕlōhîm ’eṯ- hā’āḏām
bəṣalmōw” (Genesis, 1:27)
Jika ada yang harus diminta bertanggung jawab atas merajalelanya
antroposentrisme (yang manifestasi latennya antara lain adalah apa yang
dipersoalkan Martin Suryajaya di buku Penyair Sebagai Mesin:
personalitas dalam karya sastra) dalam beberapa milenium terakhir, maka pertama-tama
tentu adalah agama. Melalui para juru bicaranya yang gigih dan penuh keimanan, agama
(atau kitab suci) tanpa henti memberi umat manusia posisi strategis, wewenang
untuk menentukan tidak saja nasibnya sendiri, tetapi juga nasib makhluk lain⸺tumbuhan, hewan, dan singkatnya alam semesta.
Bagian awal Genesis menyajikan kronologi kisah penciptaan
berikut. Hari pertama: bumi, langit, siang, dan malam. Hari kedua: cakrawala. Hari
ketiga: darat, laut, dan segala tumbuhan di darat. Hari keempat: matahari,
bulan, dan bintang-bintang. Hari kelima: binatang di laut dan angkasa. Hari keenam:
binatang di darat. Dengan penghayatan dan pembayangan, ayat 1 sampai 25 pasal 1
mungkin akan tampak menyuguhkan gambaran
menghanyutkan dan mengharukan ala film Voyage of Time karya Terrence
Malick. Bagaimanapun, menginjak kisah penciptaan manusia, yang juga terjadi pada
hari keenam, komplikasi (paradoks, ironi, tergantung bagaimana Anda memandang) mulai
terasa dan semakin terasa saat Elohim (Sang Pencipta) menyampaikan firman di
ayat 28: “Beranak-cucu dan bertambah banyaklah; penuhi bumi dan taklukkanlah ia,
berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala
binatang yang merayap di bumi.”
Seturut, meski tidak sedetail, al-Qur’an menyampaikan,
antara lain:
§
“Sungguh Tuhan
kalian (adalah) Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari” (al-A’raaf:
54)
§ “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah
di bumi.” (al-Baqarah: 30).
§
“Dan Dialah yang
menjadikan kalian para khalifah (di) bumi” (al-An’am: 165)
Khalifah berarti badal,
wakil, atau pengganti. Abu Bakar as-Shiddiq disebut khalifah pertama,
artinya orang pertama yang menggantikan posisi nabi Muhammad (sebagai
pemimpin agama dan negara). Jadi siapakah yang digantikan oleh Adam (dan keturunannya)
melalui firman di atas? Ada dua jawaban. Pertama, bangsa jin. Ini sesuai dengan
runtut narasi al-Baqarah, tentang ‘protes’ malaikat terkait potensi negatif dari
makhluk terpilih ini (“Adakah Engkau akan menjadikan [sebagai khalifah] orang
yang akan berbuat kerusakan dan mengalirkan darah di muka bumi?”), semacam
ekspresi kekhawatiran bahwa manusia akan sama tidak idealnya dengan bangsa jin,
mandataris sebelumnya. Kedua, Allah sendiri. Secara vulgar, makna ini
ditampakkan oleh para penguasa Mataram Islam sejak Amangkurat IV (khususnya
kemudian Kesultanan Yogyakarta) melalui rantai gelar mereka yang terkesan
bombastis itu. Pangeran Diponegoro, misalnya, dinobatkan sebagai pemimpin
dengan gelar Sultan Abdul Hamid Herucokro Amirulmukminin Sayidin Panatagama
Khalifatullah Ing Tanah Jawi. “Khalifatullah Ing Tanah Jawi” berarti wakil
Allah di tanah Jawa.
Demikianlah, manusia memahami dirinya sebagai penerima
titah untuk menjadi penguasa darat, air, dan udara, dan dari sini mereka mulai
memosisikan diri sebagai pusat tata nilai, pusat kebenaran, dan akhirnya pusat
kehidupan. Secara sistematis, melalui berbagai institusi kebudayaan, di seluruh
lapisan sosial, selama ribuan tahun pemahaman ini, atau waham ini, dikuatkan
oleh dalil-dalil serupa Huwal_ladzii khalaqa lakum maa fil_ardli jamii’a
(Dialah yang menciptakan semua yang ada di bumi untuk kalian)⸺atau yang selaras: nāṯattî lāḵem ’eṯ- kāl- ‘êśeḇ
zōrêa‘ zera‘, ’ăšer ‘al- pənê ḵāl hā’āreṣ, wə’eṯ- kāl- hā‘êṣ ’ăšer- bōw p̄ərî- ‘êṣ zōrêa‘
zāra‘; lāḵem yihyeh lə’āḵlāh (Aku memberikan kepadamu segala
tumbuh-tumbuhan yang berbiji di seluruh bumi dan segala pohon-pohonan yang
buahnya berbiji; itulah akan menjadi makananmu), ditransmisikan, sehingga
segala tindakan yang menunjukkan superioritas manusia atas makhluk lain⸺penyingkiran, pembantaian, konsumsi, eksploitasi⸺menjadi hal yang terasa wajar-wajar saja. Segalanya,
sejak penahbisan tersebut, harus ditimbang berdasarkan kepentingan,
selera, dan akal sehat manusia, yang mana satu dengan yang lain juga acap bertubrukan⸺dan sebagai konsekuensinya: tidak ada abad berlalu tanpa berbagai
bentuk perebutan pengaruh dan kekuasaan. Di ujung terjauhnya, atau di sisi lain
koin sistem kepercayaan ini, di mana konsep-konsep metafisis seperti Tuhan
ditolak, keterpusatan pada kemanusiaan tidak mengendur. Dalam Positivisme, nalar
dan pengalaman manusia menjadi tolok ukur realitas. Segala klaim
dan hukum harus divalidasi dengan keduanya. Di ranah sastra, Yunani kuno
melahirkan tradisi puisi lirik yang hari ini, lebih dari 2500 tahun setelah
Sappho memopulerkan penggunaan sudut pandang orang pertama (aku), masih
memiliki banyak sekali follower di seluruh penjuru bumi. Pembaca kritis,
di sisi lain, berusaha menjadi paling manusia, entitas paling
ilmiah dan sensitif, yang penilaiannya paling layak didengar dan diikuti.
Bagaimanapun, semua ini sangat mungkin cuma merupakan ekses
pembacaan eklektik atau fragmentaris. Dalam perspektif ketauhidan Syekh Siti
Jenar, misalnya, antroposentrisme demikian tentu hanya isapan jempol. Predikat
sebagai pencipta sejati, pelestari langit dan bumi yang sesungguhnya, desainer
agung, dalang seluruh lakon, sangkan paraning dumadi, semua disandang
hanya oleh Allah, Elohim, Tuhan.
§
Az-Zumar, 62: Inn_Allaaha
khaaliqu kulli syai_in wa huwa ‘alaa kulli syai_in wakiilun (Sesungguhnya
Allah adalah pecipta segala sesuatu dan Dia merupakan pemelihara segala
sesuatu).
§
Ali Imran, 191: Rabbanaa
maa khalaqta haadzaa baathilan (Wahai Tuhan kami, Engkau tidak menciptakan
semua ini tanpa sesuatu hikmah).
§
Al-Anfaal, 17: Falam
taqtuluuhum walakin_Allaaha qatalahum; wa maa ramaita idz ramaita
walakin_Allaaha ramaa (Maka kalian tidaklah membunuh mereka, tetapi
Allahlah yang membunuh mereka; dan kau tidaklah melempar kala kau melemar,
tetapi Allahlah yang melempar).
§
As-Shaaffaat, 96: Wallaahu
khalaqakum wa maa ta’maluuna (Allahlah yang menciptakan kalian dan apa yang
kalian perbuat).
§
At_Taghabun, 3: Khalaqas_samaawaati
wal_ardla bil_haqqi wa shawwarakum fa_ahsana shuwarakum wa ilaihil_mashiiiru
(Dia menciptakan langit dan dan bumi dengan penuh kebijaksanaan dan dia
membentuk rupamu dan mengindahkan rupamu dam kepadanyalah tempat kembali).
Manusia sebaliknya hanyalah mesin, robot dengan daftar
panjang kerawanan, yang, setelah melalui skenario kejatuhan (lengkap
dengan apel dan ularnya), menjalankan hanya apa yang telah diprogramkan untuk
ditunaikannya di suatu tempat, suatu masa, oleh Sang Pemilik. Potensi “komputer
berkesadaran diri” ini barangkali memang sangat besar, namun jelas bukan tanpa
batas. Ia seperti versi android mana pun yang bisa lekas berubah dari mutakhir
menjadi jadul, dielu-elukan sejenak karena spesifikasinya, menjadi pusat
perhatian dan bahkan sebagiannya menjadi trend setter, sebelum kemudian
dikeluhkan betapa tak lagi kompatibel ia dengan program ini dan itu, kemudian
ditinggalkan dan dilupakan.
Lebih dari itu manusia adalah entitas dengan sistem Artificial
Intelligence. Di antara dalil nash-nya adalah kutipan ayat Genesis di
awal tulisan, yang berarti “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut
citra-Nya, yang diamini Islam melalui sebuah Hadis yang redaksinya
mungkin membuat banyak orang berpikir ia tidak lebih dari terjemah ke dalam
bahasa Arab dari kutipan tersebut, Wa khalaqa_Allahu adama ‘alaa shuuratihi
(dan Allah menciptakan Adam menurut citra-Nya). Dalil ini menunjukkan bahwa
tidak saja fisik manusia merupakan proyeksi atributif Sang Pencipta (sifat Maha
Melihat yang inheren pada Tuhan hanya bisa dipahami, sekurangnya dibayangkan
kurang lebihnya, melalui pengalaman manusia dengan organ matanya sendiri), kecerdasannya
pun sesungguhnya hanyalah hasil input pengetahuan oleh-Nya.
§
Wa ‘allama Aadamal_asmaa_a
kullaha (dan Allah
memberi Adam pengetahuan tentang segala ciptaan-Nya)
§
Fa alhamahaa
fujuurahaa wa taqwaahaa (maka Dia
mengilhamkan pada jiwa manusia itu kejahatannya dan ketaqwaannya)
Agar mampu melaksanakan apa pun yang menjadi tugasnya,
Allah mendesain manusia sedemikian rupa hingga seolah merupakan miniatur-Nya.
Model yang digunakan-Nya untuk membuat tuhan kecil ini adalah diri-Nya sendiri.
Jadi kalau terpaksa dikatakan, maka bukannya Tuhan memiliki keserupaan dengan
manusia, melainkan manusialah yang, dalam persentase kecil tertentu, memiliki
keserupaan dengan Tuhan. Paralel dengan wacana ini, Martin Suryajaya menurut
hemat saya mengajukan pertanyaan yang terbalik, “tidakkah manusia penyair pun
sebuah mesin?” Kenapa? Karena bukankah pada dasarnya setiap mesin adalah
perpanjangan tangan manusia? Bukankah fungsi mesin, setiap mesin, adalah untuk
membuat urusan manusia menjadi lebih mudah, kebutuhan-kebutuhannya terpenuhi
secara efisien, dan karena itu setiap mesin selalu didesain agar bisa
dikendalikan, terkontrol bahkan saat berada dalam mode otomatis? Singkatnya,
sebagaimana manusia adalah citra Tuhan, mesin pun adalah citra manusia. Tidak
sebaliknya. Bahwa kemudian mesin bisa secara teknis melakukan apa yang
manusia tak bisa lakukan, misal menyedot air sekian liter per detik,
atau seperti contoh yang diajukan Martin, menyingkap pola-pola sastrawi dari
korpus yang besar, bisa mencapai ribuan hingga jutaan karya, bukankah ini
harusnya justru menjadi bukti betapa canggihnya otak manusia? Semua kualitas
teknis mesin itu bukan saja sudah terantisipasi, malahan itulah persisnya,
melalui pertimbangan dan desain yang cermat, yang diinginkan dan diwujudkan
oleh manusia penciptanya.
Default mesin, secara
umum, tidak berkaitan dengan orisinalitas ciptaan atau identitas pencipta. Saat
mesin menjadi bagian dari kapitalisme industri, ia justru dituntut untuk
menggunakan standar internasional. Ia harus secara umum sama saja dengan produk
sejenis, karena pada gilirannya ia harus berurusan dengan, antara lain, suku
cadang, ketersediaan ahli reparasi, dan konsumen dari seluruh penjuru dunia.
Bisa dikatakan, default mesin adalah keklisean. Keunikan pada mesin
sebagai produk massa, contoh laptop dan sepeda motor, adalah semu atau
tempelan. Perbedaan produk sejenis satu dengan yang lain biasanya hanyalah pada
spek-nya. Misal laptop A menawarkan layar dengan ukuran sekian inci,
memori sekian giga, sementara laptop B menawarkan ukuran berbeda, entah lebih
kecil atau besar. Perbedaannya jelas tidak semisal A memiliki layar dan memori
sementara B tidak memiliki. Sering malahan perbedaan utama antara produk A, B,
dan C terletak hanya pada casing-nya. Oleh karena itu cukup mengherankan
ketika Martin menyatakan ingin menggunakan AI untuk menciptakan sebuah produk
dengan identitas pencipta yang terbelah antara manusia dan mesin, atau lebih
khusus agar produk yang dihasilkan tidak mem-pribadi pada manusia. Dalam
bayangan saya, saya melihat diri saya sendiri menaruh 2 butir apel, 5 butir
cabe, sesendok garam, dan terakhir segelas air ke dalam sebuah mesin blender. Setelah
mesin itu selesai bekerja, saya menyuguhkan hasilnya pada tamu saya dan
mengatakan padanya, “Jus ini bukan sepenuhnya bikinan saya. Ini hasil kerjasama
saya dengan blender.” Ia tampak mengeryitkan kening, menerima gelas yang saya
sodorkan, menyeruput isinya, dan langsung saya lihat raut kesakitan di
wajahnya.
Mesin blender jelas akan berusaha menghancurkan dan
melumatkan materi apapun yang dimasukkan ke dalam pialanya. Bahkan jika materi
itu sangat tidak lazim untuk fungsi tradisionalnya, ia akan tetap bekerja
dengan cara yang sama, tentu dengan risiko kerusakan komponen bilamana materi tersebut
sangat tidak kompatibel untuk peruntukannya. AI pengolah data berbasis kata
tidaklah berbeda. Untuk hasil yang tak terduga, bahkan kaotis, inputnya haruslah
random, menembus batas-batas (genre dan bidang keilmuan) yang umum
disepakati. Adapun untuk hasil yang spesifik, dibutuhkan kustomisasi yang
mendetail. Makin spesifik hasil yang diinginkan makin detail kustomisasi yang harus
diberikan, dan sebagai konsekuensinya makin besar kredit bagi sang pengguna.
Takdir “puisi” (seperti halnya bayi: apa jenis
kelaminnya, seperti apa bentuk hidung dan warna kulitnya) hasil kolaborasi
manusia-mesin yang diusulkan Martin Suryajaya di buku ini ditentukan, harus
digarisbawahi, pertama-tama oleh prompt yang diberikan. Dari sini saja
manusia sudah unggul 1 poin. Jika dilanjutkan dengan kustomisasi prompt,
misal “Buatlah sebuah puisi 12 baris berdasarkan puitika Afrizal Malna dan Wiji
Thukul”, maka poin manusia akan bertambah 1. Yang tersisa bagi mesin kemudian
adalah proses atau mekanisme simulasi, yang ini pun sesungguhnya merupakan
hasil kustomisasi atau desain dari para programmer di suatu tempat di
luar sana. Lari dari personalitas, atau sekurangnya antroposentrisme, dengan
wacana deterministik demikian oleh karena itu tampak mustahil.
PERSPEKTIF KONTRA-TEOLOGIS
“pour rendre à l’écriture son avenir, il faut en renverser le mythe : la naissance du lecteur doit se payer de la mort de l’Auteur” (Roland Barthes)
Solusi sederhana sekaligus mendasar untuk persoalan “siapa
pemilik sejati otoritas pemaknaan” diajukan oleh Roland Barthes melalui
esainya, Kematian Pengarang. Kegamangan untuk menentukan makna tulisan,
terlebih jenis yang mengoptimalkan performa konotatif seperti karya sastra,
memang telah menjadi penyakit menahun. Telah lama dipercaya bahwa pihak yang
paling memahami makna karya adalah pengarangnya. Jika ingin memahami Bumi
Manusia dengan benar, wawancarailah Pramoedya Ananta Toer, karena padanyalah
petanda final bisa ditemukan; di luarnya semua pemaknaan harus diapit oleh
tanda petik. Toh bukankah Pram sendiri pernah mengungkapkan bahwa semua
karyanya “mereka itu adalah anak-anak rohani yang keluar dari jasad saya”? Anda
juga mungkin sering mendapati ungkapan wallahu a’lamu bis_shawabi (Allah
lebih mengetahui makna yang benar) muncul sebagai penutup tafsir sebuah ayat, mengekspresikan
kekhawatiran sang penafsir kalau-kalau ia telah salah memahami dan menjelaskan
makna yang diinginkan Tuhan. Selain secara teknis keterpusatan pada pribadi
pengarang demikian sangat merepotkan, pun situasi totaliter yang muncul dari
kepercayaan bahwa pengarang adalah sumber makna sangat tidak sesuai dengan semangat
abad ke-20, era maraknya peralihan bentuk pemerintahan dari monarki ke
republik.
Untuk membalik mitos yang selama ini dipercaya, Barthes
pertama-tama mengajukan istilah-istilah pengganti.
§
Écriture (tulisan) sebagai pengganti littérature (sastra).
§
Texte (teks) sebagai pengganti œuvre (karya).
§ Scripteur
(penulis) sebagai pengganti auteur (pengarang).
Dengan memberi istilah alternatif demikian, pemahaman
atas gagasan mendasar Barthes bisa dilakukan lebih mudah. Auteur,
misalnya, krusial untuk diganti sebab secara etimologi terkait erat dengan
kreator, pendiri, komposer asli, otoritas, yang kesemuanya menyiratkan hak
istimewa untuk menentukan makna tulisan. Berthes menulis, “Memberi sebuah teks
seorang Pengarang berarti memberikan batasan pada teks tersebut, memberikan
makna pemungkas, dan menutup tulisan.” Selanjutnya semiolog tersebut berusaha meyakinkan
betapa bahasa telah ada sebelum seseorang melakukan tindakan menulis, dan terlepas
dari apapun maksud atau motif yang melatari, yang dilakukan penulis praktis
hanya menyalin kata-kata dari kamus, yang maknanya pada gilirannya juga bisa
dicari di tempat yang sama⸺kamus. Yang
tersuguh secara konkret di hadapan pembaca atau pendengar sejatinya hanya inskripsi
atau enunsiasi, bukan ekspresi atau gairah personal sang penulis. “…sebuah teks
tidak terdiri dari baris kata yang menghasilkan makna tunggal (…) tetapi merupakan ruang dengan dimensi
beragam, tempat berbagai tulisan berpadu dan bersaing, yang mana tak satu pun
orisinal.” Kekuatan utama penulis, Barthes mengimani, adalah “menggabungkan
berbagai tulisan, saling mempertentangkan satu sama lain, dengan cara yang
tidak pernah mengandalkan salah satunya”.
Memandang pengarang tak lebih sebagai penulis setara
memandang Gal Gadot sekadar sebagai “pemeran Wonder Woman” alih-alih sebagai karakter
Wonder Woman di film Wonder Woman itu sendiri. Seluruh emosi dan aksi Wonder
Woman sejatinya bukan emosi dan aksi Gal Gadot pribadi. Gal Gadot di film ini,
seperti kata Barthes, hanya menunjukkan “kemampuannya dalam menguasai kode
naratif”, yakni kemampuannya mendalami peran. Penulis, dengan demikian, bukan author
melainkan actor, dan berusaha memahami pribadi Gal Gadot melalui
karakter yang diperankannya di film mana pun akan sama sia-sianya dengan
berusaha memahami karakter mana pun yang diperankan oleh Gal Gadot dengan cara
menyelami biografi pemeran berkebangsaan Israel itu. Selanjutnya karena Gal
Gadot bukan Wonder Woman atau juru bicaranya yang sah, maka situasi totaliter pemaknaan
atas Wonder Woman dengan sendirinya terhapus. Makna mengalir dan berkumpul di
satu tempat: pembaca. Namun pembaca ini memiliki prasyarat, ia harus “seseorang
yang tidak memiliki sejarah, biografi, atau psikologi; ia hanya seseorang
yang mengumpulkan semua jejak yang membentuk tulisan dalam satu medan yang
sama.” Dengan kata lain pada dasarnya tidak ada hasil pembacaan yang lebih benar,
karena asumsi adanya hierarki kebenaran pada hasil pembacaan demikian pada
gilirannya akan melahirkan Auteur yang lain.
Namun bukankah
yang diajukan Martin Suryajaya adalah mode penulisan, bukan mode pembacaan? Tepat.
Yang ingin dilakukannya adalah menciptakan “penyair sebagai mesin”, melepaskan
sejarah dari “pengandaian organik dan kesinambungan antarpribadi dan peristiwa
individual dalam waktu”, dan ini artinya ia ingin menciptakan scripteur,
bukan auteur; écriture
bukan littérature; sementara tulisan, dalam wacana kematian pengarang,
bisa “dibuat dan dibaca sedemikian rupa sehingga di dalamnya, di semua
tingkatnya, sang pengarang absen”. Anda bisa memperlakukan puisi Chairil Anwar
yang paling ekspresionis sekalipun seolah ia cuma salinan dari racauan sembarang
orang yang sedang tidur atau seolah ia cuma hasil simulasi AI. Sebaliknya ada
banyak tulisan yang dibuat dengan pertimbangan agar ia tampil impersonal, misal
tanpa kata ganti “aku”, namun Anda tetap
bisa membacanya sebagai ekspresi personal. Personalitas atau impersonalitas,
tegasnya, pada akhirnya ditentukan oleh penilaian pembaca, dalam kepercayaannya
akan status sang Pengarang: masih hidup
atau sudah mati ia?
PERSPEKTIF HISTORIS
“La propreté de l'individu s'affirme après l'état de folie, de folie agressive, complète, d'un monde laissé entre les mains des bandits qui déchirent et détruisent les siècles.” (Tristan Tzara)
Signifikasi bisa dilakukan
secara tertutup dengan mengandaikan pola yang muncul dari diferensiasi berbagai
unsur pembentuk tulisan⸺fonem, suku kata, kata,
frasa, kalimat, paragraf, dan seterusnya (wacana saussurean). Adapun signifikansi
sebaliknya senantiasa mengandaikan posisi kesejarahan, yakni hipotesis atau
dialektika apa yang coba diajukan oleh sebuah karya dalam hubungannya dengan artefak
sejenis yang sudah ada (di perpustakaan, galeri, studio, atau situs apapun
dalam struktur kebudayaan): apakah ia membuntuti, meneguhkan, mengembangkan,
membelokkan, menentang?
Ilustrasi berikut mungkin dapat membantu. Tahun 1600-an, Baroque
muncul sebagai eksponen Gereja Katolik dalam menghadapi berbagai gejolak yang
berasal dari Reformasi Protestan, dengan banyak memunculkan figur suci seperti
Yesus dan para santo, gambaran dramatis yang memancing ketakjuban atau keimanan
terhadap otoritas absolut, dan tipikal lukisan dengan latar gelap dan cahaya,
dengan muasal yang tak jelas, menerangi obyek-obyek yang dikedepankan. Seiring
terbitnya fajar Abad Pencerahan di awal tahun 1700-an, tendensi ini mendapatkan
rivalnya: Rococo. Para seniman Rococo mengejek seniman Baroque
(atau institusi agama dan politik yang memanipulasi mereka) dengan
menggambarkan kaum aristrokat sebagai para hedonis, yang tengah asyik menikmati
liburan atau waktu santai di tempat-tempat dengan pencahayaan yang terang,
dengan aura feminin yang terasa (bertentangan dengan lukisan Baroque yang
cenderung maskulin). Sebagai respons atas Rococo, Klasisisme Baru muncul di
pertengahan abad ke-18 dengan semangatnya untuk mengunggulkan rasionalitas.
Figur-figur klasik Romawi dan Yunani, historis atau mitologis, yang
mengekspresikan nilai-nilai moral tertentu, dipresentasikan dalam latar budaya
aslinya (bajunya, furniturnya, peralatannya), dengan garis-garis yang tegas dan
warna-warna yang gelap, minim emosi. Peminggiran terhadap sisi integral manusia
ini bagaimanapun dengan segera mendapatkan oposisinya: Romantisisme, melakukan
tugasnya dengan baik, mengembalikan emosi ke tempat vitalnya dalam proses
kreatif. Demikian seterusnya, Romantisisme disambut oleh Impresionisme,
Impresionisme oleh Fauvisme, oleh Ekspresionisme, dan akhirnya oleh Kubisme dan
Surealisme. Terdapat beberapa aliran yang tak disebutkan, yang muncul hampir
berbarengan dengan sebagian aliran di atas, yang bisa dibaca sebagai respons
berbeda terhadap kecenderungan yang sama. Pada praktiknya, beberapa aliran
tidaklah betul-betul menentang pendahulunya. Ada yang justru bisa dikatakan merupakan kulminasinya. Namun dengan tetap mengacu
pada tipikal-tipikal inheren tertentu, konteks ideologis atau politis tertentu,
signifikansi satu karya di antara karya lain (tidak harus mengandaikan bahwa
yang satu lebih baik atau lebih buruk secara estetika) bisa ditentukan..
Jadi, apa signifikansi Penyair Sebagai Mesin?
Dengan menunda evaluasi terhadap hasil, usaha Martin bisa
digarisbesarkan sebagai berikut.
§
Latar belakang:
ekosistem puisi Indonesia hari ini yang dipenuhi oleh sikap-sikap otoriter,
pretensi menjadi gate keepers atau polisi sastra, yang sejatinya tak
lebih dari sebentuk fasisme bulu kuduk, metafor untuk arogansi tanpa
dasar, diturunkan dari pernyataan Acep Zamzam Noor: puisi dikatakan bagus kalau
berhasil membuat bulu kuduk pembacanya berdiri.
§
Tujuan umum:
menghasilkan tulisan yang impersonal atau non-antroposentris, atau dalam
kata-kata Martin sendiri: “menghadirkan gangguan atas praktik konvensional
menulis puisi yang menempatkan aku-penyair sebagai pusat dalam laku kreatif.”
§
Tujuan khusus:
menciptakan sastra kecil-kecilan (minor literature), mendefinisikan
ulang makna kreativitas, mendorong aktifnya sudut pandang inklusif terhadap
pluralitas gagasan dalam diskursus sastrawi.
§
Sarana: komputasi
digital, pembacaan jauh, deep learning.
§
Metodologi: memberikan
korpus sejumlah penyair kepada mesin komputasi digital untuk, melalui pembacaan
jauh, deep learning, dan kustomisasi hiperprameter, dijadikan rujukan
sejarah atau pengalaman utama (satu-satunya?) yang mendasari penciptaan puisi.
Tergambar dari ikhtisar ini, proses kreatif karya-karya
yang diajukan dalam Penyair Sebagai Mesin, puisi-puisi (dalam pengertian
apapun yang dikehendaki Martin) sebagai AI-generated artworks itu, selain
dimanifestasikan melalui prosedur yang terukur, juga didasari pertimbangan
ideologis dan politis yang jelas, hingga puisi-puisi tersebut bisa sesungguhnya
dikategorikan ke dalam conceptual art, seni yang mengedepankan gagasan
atau tujuan yang melatari dibanding pengertian tradisionalnya sebagai
presentasi keindahan (atau meminjam ungkapan Marcel Duchamp, seni yang lebih
mementingkan rangsangan terhadap pikiran (in the service of the mind)
daripada pemanjaan terhadap mata (retinal art). Artinya, ini bukan
hal baru dan bahkan saya bermaksud menyatakan apa yang digagas Martin ini merupakan
sebentuk atavisme. Dalam biologi, atavisme berarti “modifikasi struktur
biologis di mana ciri genetik nenek moyang muncul kembali setelah hilang akibat
perubahan evolusi pada generasi sebelumnya.” Dalam kesenian, ia bisa diartikan
sebagai kemunculan kembali gagasan atau karakteristik artistik tertentu setelah
untuk sekian lama dianggap hilang. Saya akan menunjukkan hal ini dengan mengurangi
secara drastis jarak baca saya atas fenomena yang disebutkan hanya secara
selintas oleh Martin, Dadaisme. Dadaisme saya pilih karena ia merujuk bukan
cuma pada aliran atau corak karya seni tertentu, tetapi juga pada gerakan (movement)
dengan manifesto yang bisa dijadikan acuan pasti.
Dadaisme dicetuskan sebagai respons atas kerusakan dalam
berbagai sektor kehidupan yang disebabkan oleh otoritas yang korup dan kelas sosial
penyokongnya yang hipokrit, kehidupan “dalam kendali para bandit yang merobek
dan menghancurkan abad-abad”. Kelas penguasa dan penyokongnya, yaitu kaum
borjuis yang hidup di perkotaan dan punya akses ke ruang kemudi kebudayaan, ini
adalah pihak yang selalu mengenakan topeng rasionalitas dan absolutisme dan di
saat bersamaan merupakan biang kerok terjadinya Perang Dunia Pertama. Begitu
muaknya kaum Dada hingga mereka menggambarkan pihak yang mereka lawan ini sebagai
“kencing nanah dari matahari busuk yang muncul dari pabrik pemikiran
filosofis”. Terkait latar situasi sosial ini, maka Dadaisme dimanifestasikan
dalam kontradiksi yang kontinu, sebagai seni anti-seni. Manifesto Dada 1918
yang disusun oleh Tristan Tzara bahkan bisa disebut manifesto yang
anti-manifesto, manifesto yang alih-alih merupakan pernyataan sikap yang
dijernih dan tegas, malah dikemukakan dalam bahasa yang ruwet dan bahkan nonsense.
Cermati kutipan ini: “Saya menulis manifesto ini untuk menunjukkan bahwa orang
dapat melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan secara bersamaan, dalam
satu tarikan napas; saya menentang tindakan; demi kontradiksi yang
terus-menerus, juga demi afirmasi, saya tidak berpihak dan tidak menentang dan
saya tidak menjelaskan karena saya benci pemahaman umum.”
Karya yang biasa diasosiasikan dengan Dadisme adalah sebuah
urinal berbahan porselen⸺dipresentasikan
dengan judul Fountain, ia diputar 90° dari posisi tradisionalnya sebagai
tempat kencing dan diberi inskripsi “R. Mutt”⸺yang didaftarkan Duchamp ke pameran yang diselenggarakan
oleh Masyarakat Seniman Independen pada tahun 1917, dan ditolak. Melalui karya
ini, Duchamp berusaha melawan definisi konvensional karya seni⸺sebagaimana Martin Suryajaya menyebut hasil pengolahan
kata di platform AI tertentu sebagai puisi. Dengan mencabut sebuah readymade
(obyek sehari-hari yang dipilih oleh seorang seniman dan diangkat
derajatnya sebagai karya seni) dari fungsi tradisionalnya dan memaksanya tampil
dalam sebuah pameran karya seni, Duchamp melakukan tindakan ofensif, mendesakralisasi
‘akal sehat’, namun juga secara bersamaan melakukan tindakan suportif, selaras
dengan spirit Abad Pencerahan untuk merawat keraguan (dubito ergo sum), merangsang
‘akal sehat’ agar segera memeriksa kesehatannya sendiri, dan pada gilirannya membuka
medan pemaknaan baru, membuat pengamat memikirkan, misalnya, apa hubungan
maknawi lintasan (trajectory) air kencing yang meluncur dari penis dan
lintasan air pada air mancur (fountain), atau, untuk pengamat dari
Indonesia, misalnya apa hubungan air seni dan karya seni? Singkatnya,
karya seni anti-seni mengandaikan tidak saja penemuan gagasan baru sebagai
latar tetapi juga keahlian teknis dalam mengeksekusi gagasan tersebut hingga, sebagaimana
karya seni konvensional, memiliki potensi membuat orang merenung atau mengalami
satori, dan karena itu memiliki kelayakan untuk juga disebut sebagai karya
seni.
Dadaisme bukanlah ketidakcakapan atau ketidakberdayaan
dalam mencipta. Hugo Ball, peletak dasar filosofi gerakan ini, justru menyatakan
“Saya tidak menginginkan kata-kata yang ditemukan oleh
orang lain. Semua kata adalah temuan orang lain. Saya menginginkan kata-kata
saya sendiri, irama saya sendiri, vokal dan konsonan saya sendiri, …” Ball
memanifestasikan tekadnya dalam apa yang disebut sebagai puisi suara,
ujaran yang tak bisa dicari entrinya dalam kamus karena memang merupakan karangan
Ball sendiri.
jolifanto bambla o falli bambla
großiga m'pfa habla horem
egiga goramen
higo bloiko russula huju
hollaka hollala
anlogo bung
blago bung blago bung
bosso fataka
ü üü ü
schampa wulla wussa olobo
hej tatta gorem
eschige zunbada
wulubu ssubudu uluwu ssubudu
–umf
kusa gauma
ba–umf
Pada masa Perang
Dunia Pertama, Swiss mengambil posisi netral hingga menjadi suaka bagi banyak
seniman dan intelektual. Hugo Ball tak terkecuali. Bersama Emmy Hennings, yang
lalu menjadi istrinya, ia mengungsi dari Munich ke Zurich. Di Zurich, mereka
membuka sebuah klub malam (cabaret) dan memberinya nama Cabaret
Voltaire. Ya, Voltaire, tokoh Abad Pencerahan itu. Di klub ini Ball
bertindak sebagai penyelenggara, promotor, sekaligus performer. Dalam
salah satu penampilan yang merupakan kolaborasi antara musik, tari, dan pembacaan
puisi, tampak seorang lelaki gemuk menekan-nekan tuts-tuts piano nyaris dengan
semaunya sendiri. Gerak tubuhnya tampak main-main dan bahkan mencemooh.
Kemudian 3 lelaki muncul dengan perkusi mereka, ekspresinya selaras dengan sang
pemain piano. Setelah itu 2 balerina tampil, berusaha menari seelegan mungkin
meski terus mendapat gangguan dari 3 lelaki dengan perkusi tadi. Tepat
ketika tarian berakhir, seorang dengan kostum kubistis dan sekilas seperti kardinal
mulai melantunkan “kata-kata” aneh di atas. Dia adalah Hugo Ball. Pandangannya
lurus ke depan, nyaris tak berkedip, dengan tubuh dan muka kaku, seolah sedang
kerasukan makhluk gaib. Benda-benda kecil lalu beterbangan dilemparkan dari
arah penonton dan 3 lelaki berperkusi tadi menyeret sang kardinal turun dari
panggung.
Dengan tujuan
sama, mengejek pretensi manusia moderen untuk menjadi beradab, bernalar, dan
bercitarasa seni tinggi, Tristan Tzara mengajukan teknik membuat puisi tipikal Dadais,
puisi yang sangat impersonal. Sebelumnya penting dicatat bahwa Tzara mendukung sepenuhnya
mode personal dan kreativitas macam ditunjukkan Ball di atas, sejauh ia selaras
dengan tujuan politis Dada. Dalam Manifesto Dada 1918, Tzara mengungkapkan: “Ada jenis sastra yang tidak pernah mencapai massa yang
rakus. Karya-karya penulis kreatif, muncul dari kebutuhan nyata sang penulis,
dan untuk dirinya sendiri. (…) Seni adalah sesuatu yang bersifat pribadi, seniman
melakukannya untuk dirinya sendiri; karya yang dapat dimengerti adalah produk
jurnalis, …” Artinya, personalitas (atau eksklusivitas) dengan cara tertentu
bisa menjadi strategi untuk melawan kaum kapitalis, melawan positivisme yang
menurut Barthes: memberikan
perhatian yang sangat besar pada “pribadi” pengarang itu.
1.
Ambil
sebuah koran.
2.
Ambil
gunting.
3.
Pilih artikel dengan panjang sesuai dengan puisi yang Anda
rencanakan.
4.
Potong
artikel tersebut.
5.
Potong setiap kata darinya dan letakkan dalam sebuah
kantong.
6.
Goyangkan kantong itu dengan lembut.
7.
Keluarkan potongan-potongan kata tersebut satu per satu dan
taruh secara berurutan sesuai urutan keluarnya dari kantong.
8.
Salin hasilnya
apa adanya.
Sampai di sini
terlihat betapa yang dilakukan Martin sangatlah mirip. Pada level ideologis
keduanya merupakan usaha untuk melakukan dehumanisasi atau desentralisasi
terhadap pribadi penyair. Sedang pada level metodologis keduanya sama-sama
mengandaikan kurasi dan kustomisasi dari penyair, juga chance yang ikut
ditentukan oleh sarana atau partner menulis yang dipilih⸺mesin komputasi digital pada eksperimen Martin dan kanton
pada teknik Tzara.
PERLUKAH?
Sebelum agenda Penulisan Jauh diwujudkan Martin melalui
buku Penyair Sebagai Mesin, telah ada beberapa usaha serius dari penyair Indonesia
untuk lepas dari belenggu personalitas. Tiga di antaranya bisa disebut
(ketiganya mengajukan pernyataan sikap yang bisa dirujuk sebagai latar
ideologis kreativitas): (1) Sutardji Calzoum Bachri dengan “kata-kata bukanlah
alat untuk mengantarkan pengertian”nya, (2) Afrizal Malna dengan “Rumah
Kata”-nya, dan (3) Ahmad Yulden Erwin dengan “Jalan Presensionis”nya. Selain
mereka ada banyak penyair relatif muda yang memakai teknik atau gaya naratif
dan reportase. Pada perpuisian Dedi Tri Riyadi, misalnya, kita bisa merasakan absennya
emosi atau pribadi Dedi. Banyak puisinya seolah merupakan hasil jepretan kamera
fotografer profesional (yang memotret lebih karena tuntutan profesi ketimbang
ketertarikan khusus untuk menangkap momen yang mengharukan). Bagaimanapun pembahasan
lebih jauhnya saya kira perlu ruang tersendiri. Sekarang saya harus coba menarik
kesimpulan.
Sebagai anak kandung sejarah, yang tinggal di awal era
pasca-manusia, kita jelas tak bisa menampik kehadiran dan peran besar AI,
ciptaan kita itu, dalam berbagai segi kehidupan kita. Tidaklah masalah jika ada
yang menawarkan kemungkinan mekanisme kreatif baru dengan melibatkan mesin
komputasi digital. Setelah era Corel-Draw dan Photoshop, yang mengandaikan kecakapan
dan pendidikan khusus itu, kini dunia dibanjiri aplikasi-aplikasi pengolah foto
yang bersifat instan dan simpel. Jika kemudian sarana ini dipakai di ranah penulisan
kreatif dan jurnalisme, apa kita harus meratap ataupun marah? Saya kira tidak. Kita
perlu mencontoh Nasida Ria, yang di tahun 1985, dalam mengantisipasi datangnya
abad ke-21, era apokaliptik di mana mesin banyak menggantikan peran tradisional
manusia, menyatakan sebuah sikap optimis.
Tahun dua ribu kerja serba mesin;
berjalan berlari menggunakan mesin;
manusia tidur berkawan mesin;
makan dan minum dilayani mesin.
Sungguh mengagumkan tahun dua ribu,
namun demikian penuh tantangan.
Yang harus dipertanyakan, karena secara umum kita masih
mengimani sikap kritis, untuk menerima atau menolak tawaran Martin tersebut, yang
dilatari cita-cita romantis “keterbukaan pikiran untuk memandang bahwa setiap
karya, dalam arti tertentu, menarik.” adalah: “Perlukah?” Alih-alih memberontak
dengan sarana komputasi digital seperti itu, kenapa kita tidak memandang
berbagai polarisasi, pertarungan ideologis, dan pameran sikap fasis
dalam perpuisian Indonesia sebagai sesuatu yang biasa, bahkan sehat? Hugo Ball
dan Tristan Tzara seabad lalu harus terpaksa berpisah karena perbedaan visi.
Mereka tidak saja memperjuangkan Dadaisme dalam caranya masing-masing, tetapi
bahkan meciptakan versi Dadaismenya sendiri-sendiri. Perpisahan ini tidak wajib
ditanggapi dengan muram. Sebaliknya kita perlu bersyukur karena sesudahnya kita
justru mendapati lebih banyak jalan yang bisa dipilih. Dadaisme Ball, Dadaisme
Tzara. Plus: harus dikatakan, apa yang ditawarkan Martin sesungguhnya adalah
‘permainan yang mahal’. Seperti diakui Martin sendiri, selain butuh komputer
dengan spek cukup tinggi (agar tidak macet di tengah proses), ia butuh
program komputasi digital yang masih kosong (untuk diisi sendiri dengan ratusan
atau ribuan puisi yang di-scan-nya, yang nantinya dijadikan sejarah atau
biografi bagi sang penyair AI itu), dan butuh melakukan kustomisasi (menyetel
sekian parameter) yang njelimet. Kesemuanya memerlukan biaya dan energi
yang tidak sedikit. Okelah, mungkin ada perlunya kita mengambil jeda dari
keterpusatan pada kepribadian kita, namun haruskah dengan rekreasi (atau
permainan?) yang sangat mahal seperti itu?
Terjemah puisi Charles Bukowski berikut saya ajukan untuk
menutup tulisan yang jauh dari komprehensif ini. Saya kira puisi ini juga,
secara paradoks (dengan menebalkan bagian “hingga mereka tak pernah dapat
mengategorikanmu”), bisa dianggap sebagai alternatif jalan yang bisa ditempuh
dari personalitas ke impersonalitas.
TANPA PEMIMPIN SAJA
temukan dirimu dan lalu temukan-ulang dirimu,
jangan berenang di rawa yang sama.
temukan dirimu dan lalu temukan-ulang dirimu,
jauhi cengkeraman mediokritas.
temukan dirimu dan lalu temukan-ulang dirimu,
ubah nada dan bentukmu sesering mungkin hingga mereka tak
pernah
dapat
mengategorikanmu.
segarkan-ulang dirimu dan terimalah ia
namun dengan syarat bahwa kau telah menemukan
dan menemukan ulang.
jadilah guru bagi dirimu sendiri.
dan temukan-ulang hidupmu sebab kamu harus;
ini hidupmu dan
sejarahnya
dan masa kininya
menjadi milikmu
seorang.
Agustus 2023
______
Penulis
Malkan Junaidi, penyair dan esais.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com