Thursday, May 2, 2024

Esai Malkan Junaidi | Dari Personalitas ke Jalan Lain Menuju Impersonalitas (Pembacaan Jauh atas "Penyair Sebagai Mesin")

Esai Malkan Junaidi 





PERSPEKTIF TEOLOGIS

way yiḇrā  ’ĕlōhîm  ’eṯ-  hā’āḏām  bəṣalmōw” (Genesis, 1:27)

 

Jika ada yang harus diminta bertanggung jawab atas merajalelanya antroposentrisme (yang manifestasi latennya antara lain adalah apa yang dipersoalkan Martin Suryajaya di buku Penyair Sebagai Mesin: personalitas dalam karya sastra) dalam beberapa milenium terakhir, maka pertama-tama tentu adalah agama. Melalui para juru bicaranya yang gigih dan penuh keimanan, agama (atau kitab suci) tanpa henti memberi umat manusia posisi strategis, wewenang untuk menentukan tidak saja nasibnya sendiri, tetapi juga nasib makhluk laintumbuhan, hewan, dan singkatnya alam semesta.

 

Bagian awal Genesis menyajikan kronologi kisah penciptaan berikut. Hari pertama: bumi, langit, siang, dan malam. Hari kedua: cakrawala. Hari ketiga: darat, laut, dan segala tumbuhan di darat. Hari keempat: matahari, bulan, dan bintang-bintang. Hari kelima: binatang di laut dan angkasa. Hari keenam: binatang di darat. Dengan penghayatan dan pembayangan, ayat 1 sampai 25 pasal 1 mungkin akan tampak  menyuguhkan gambaran menghanyutkan dan mengharukan ala film Voyage of Time karya Terrence Malick. Bagaimanapun, menginjak kisah penciptaan manusia, yang juga terjadi pada hari keenam, komplikasi (paradoks, ironi, tergantung bagaimana Anda memandang) mulai terasa dan semakin terasa saat Elohim (Sang Pencipta) menyampaikan firman di ayat 28: “Beranak-cucu dan bertambah banyaklah; penuhi bumi dan taklukkanlah ia, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.”

 

Seturut, meski tidak sedetail, al-Qur’an menyampaikan, antara lain:

§  “Sungguh Tuhan kalian (adalah) Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari” (al-A’raaf: 54)

§  “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi.” (al-Baqarah: 30).

§  “Dan Dialah yang menjadikan kalian para khalifah (di) bumi” (al-An’am: 165)

 

Khalifah berarti badal, wakil, atau pengganti. Abu Bakar as-Shiddiq disebut khalifah pertama, artinya orang pertama yang menggantikan posisi nabi Muhammad (sebagai pemimpin agama dan negara). Jadi siapakah yang digantikan oleh Adam (dan keturunannya) melalui firman di atas? Ada dua jawaban. Pertama, bangsa jin. Ini sesuai dengan runtut narasi al-Baqarah, tentang ‘protes’ malaikat terkait potensi negatif dari makhluk terpilih ini (“Adakah Engkau akan menjadikan [sebagai khalifah] orang yang akan berbuat kerusakan dan mengalirkan darah di muka bumi?”), semacam ekspresi kekhawatiran bahwa manusia akan sama tidak idealnya dengan bangsa jin, mandataris sebelumnya. Kedua, Allah sendiri. Secara vulgar, makna ini ditampakkan oleh para penguasa Mataram Islam sejak Amangkurat IV (khususnya kemudian Kesultanan Yogyakarta) melalui rantai gelar mereka yang terkesan bombastis itu. Pangeran Diponegoro, misalnya, dinobatkan sebagai pemimpin dengan gelar Sultan Abdul Hamid Herucokro Amirulmukminin Sayidin Panatagama Khalifatullah Ing Tanah Jawi. “Khalifatullah Ing Tanah Jawi” berarti wakil Allah di tanah Jawa.

 

Demikianlah, manusia memahami dirinya sebagai penerima titah untuk menjadi penguasa darat, air, dan udara, dan dari sini mereka mulai memosisikan diri sebagai pusat tata nilai, pusat kebenaran, dan akhirnya pusat kehidupan. Secara sistematis, melalui berbagai institusi kebudayaan, di seluruh lapisan sosial, selama ribuan tahun pemahaman ini, atau waham ini, dikuatkan oleh dalil-dalil serupa Huwal_ladzii khalaqa lakum maa fil_ardli jamii’a (Dialah yang menciptakan semua yang ada di bumi untuk kalian)atau yang selaras: nāṯattî lāḵem ’eṯ- kāl- ‘êśeḇ zōrêa‘ zera‘, ’ăšer ‘al- pənê ḵāl hā’āreṣ, wə’eṯ-  kāl- hā‘êṣ ’ăšer- bōw p̄ərî- ‘êṣ zōrêa‘ zāra‘; lāḵem yihyeh lə’āḵlāh (Aku memberikan kepadamu segala tumbuh-tumbuhan yang berbiji di seluruh bumi dan segala pohon-pohonan yang buahnya berbiji; itulah akan menjadi makananmu), ditransmisikan, sehingga segala tindakan yang menunjukkan superioritas manusia atas makhluk lainpenyingkiran, pembantaian, konsumsi, eksploitasimenjadi hal yang terasa wajar-wajar saja. Segalanya, sejak penahbisan tersebut, harus ditimbang berdasarkan kepentingan, selera, dan akal sehat manusia, yang mana satu dengan yang lain juga acap bertubrukandan sebagai konsekuensinya: tidak ada abad berlalu tanpa berbagai bentuk perebutan pengaruh dan kekuasaan. Di ujung terjauhnya, atau di sisi lain koin sistem kepercayaan ini, di mana konsep-konsep metafisis seperti Tuhan ditolak, keterpusatan pada kemanusiaan tidak mengendur. Dalam Positivisme, nalar dan pengalaman manusia menjadi tolok ukur realitas. Segala klaim dan hukum harus divalidasi dengan keduanya. Di ranah sastra, Yunani kuno melahirkan tradisi puisi lirik yang hari ini, lebih dari 2500 tahun setelah Sappho memopulerkan penggunaan sudut pandang orang pertama (aku), masih memiliki banyak sekali follower di seluruh penjuru bumi. Pembaca kritis, di sisi lain, berusaha menjadi paling manusia, entitas paling ilmiah dan sensitif, yang penilaiannya paling layak didengar dan diikuti.

 

Bagaimanapun, semua ini sangat mungkin cuma merupakan ekses pembacaan eklektik atau fragmentaris. Dalam perspektif ketauhidan Syekh Siti Jenar, misalnya, antroposentrisme demikian tentu hanya isapan jempol. Predikat sebagai pencipta sejati, pelestari langit dan bumi yang sesungguhnya, desainer agung, dalang seluruh lakon, sangkan paraning dumadi, semua disandang hanya oleh Allah, Elohim, Tuhan.

§  Az-Zumar, 62: Inn_Allaaha khaaliqu kulli syai_in wa huwa ‘alaa kulli syai_in wakiilun (Sesungguhnya Allah adalah pecipta segala sesuatu dan Dia merupakan pemelihara segala sesuatu).

§  Ali Imran, 191: Rabbanaa maa khalaqta haadzaa baathilan (Wahai Tuhan kami, Engkau tidak menciptakan semua ini tanpa sesuatu hikmah).

§  Al-Anfaal, 17: Falam taqtuluuhum walakin_Allaaha qatalahum; wa maa ramaita idz ramaita walakin_Allaaha ramaa (Maka kalian tidaklah membunuh mereka, tetapi Allahlah yang membunuh mereka; dan kau tidaklah melempar kala kau melemar, tetapi Allahlah yang melempar).

§  As-Shaaffaat, 96: Wallaahu khalaqakum wa maa ta’maluuna (Allahlah yang menciptakan kalian dan apa yang kalian perbuat).

§  At_Taghabun, 3: Khalaqas_samaawaati wal_ardla bil_haqqi wa shawwarakum fa_ahsana shuwarakum wa ilaihil_mashiiiru (Dia menciptakan langit dan dan bumi dengan penuh kebijaksanaan dan dia membentuk rupamu dan mengindahkan rupamu dam kepadanyalah tempat kembali).

 

Manusia sebaliknya hanyalah mesin, robot dengan daftar panjang kerawanan, yang, setelah melalui skenario kejatuhan (lengkap dengan apel dan ularnya), menjalankan hanya apa yang telah diprogramkan untuk ditunaikannya di suatu tempat, suatu masa, oleh Sang Pemilik. Potensi “komputer berkesadaran diri” ini barangkali memang sangat besar, namun jelas bukan tanpa batas. Ia seperti versi android mana pun yang bisa lekas berubah dari mutakhir menjadi jadul, dielu-elukan sejenak karena spesifikasinya, menjadi pusat perhatian dan bahkan sebagiannya menjadi trend setter, sebelum kemudian dikeluhkan betapa tak lagi kompatibel ia dengan program ini dan itu, kemudian ditinggalkan dan dilupakan.

 

Lebih dari itu manusia adalah entitas dengan sistem Artificial Intelligence. Di antara dalil nash-nya adalah kutipan ayat Genesis di awal tulisan, yang berarti “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut citra-Nya, yang diamini Islam melalui sebuah Hadis yang redaksinya mungkin membuat banyak orang berpikir ia tidak lebih dari terjemah ke dalam bahasa Arab dari kutipan tersebut, Wa khalaqa_Allahu adama ‘alaa shuuratihi (dan Allah menciptakan Adam menurut citra-Nya). Dalil ini menunjukkan bahwa tidak saja fisik manusia merupakan proyeksi atributif Sang Pencipta (sifat Maha Melihat yang inheren pada Tuhan hanya bisa dipahami, sekurangnya dibayangkan kurang lebihnya, melalui pengalaman manusia dengan organ matanya sendiri), kecerdasannya pun sesungguhnya hanyalah hasil input pengetahuan oleh-Nya.

§  Wa ‘allama Aadamal_asmaa_a kullaha (dan Allah memberi Adam pengetahuan tentang segala ciptaan-Nya)

§  Fa alhamahaa fujuurahaa wa taqwaahaa (maka Dia mengilhamkan pada jiwa manusia itu kejahatannya dan ketaqwaannya)

 

Agar mampu melaksanakan apa pun yang menjadi tugasnya, Allah mendesain manusia sedemikian rupa hingga seolah merupakan miniatur-Nya. Model yang digunakan-Nya untuk membuat tuhan kecil ini adalah diri-Nya sendiri. Jadi kalau terpaksa dikatakan, maka bukannya Tuhan memiliki keserupaan dengan manusia, melainkan manusialah yang, dalam persentase kecil tertentu, memiliki keserupaan dengan Tuhan. Paralel dengan wacana ini, Martin Suryajaya menurut hemat saya mengajukan pertanyaan yang terbalik, “tidakkah manusia penyair pun sebuah mesin?” Kenapa? Karena bukankah pada dasarnya setiap mesin adalah perpanjangan tangan manusia? Bukankah fungsi mesin, setiap mesin, adalah untuk membuat urusan manusia menjadi lebih mudah, kebutuhan-kebutuhannya terpenuhi secara efisien, dan karena itu setiap mesin selalu didesain agar bisa dikendalikan, terkontrol bahkan saat berada dalam mode otomatis? Singkatnya, sebagaimana manusia adalah citra Tuhan, mesin pun adalah citra manusia. Tidak sebaliknya. Bahwa kemudian mesin bisa secara teknis melakukan apa yang manusia tak bisa lakukan, misal menyedot air sekian liter per detik, atau seperti contoh yang diajukan Martin, menyingkap pola-pola sastrawi dari korpus yang besar, bisa mencapai ribuan hingga jutaan karya, bukankah ini harusnya justru menjadi bukti betapa canggihnya otak manusia? Semua kualitas teknis mesin itu bukan saja sudah terantisipasi, malahan itulah persisnya, melalui pertimbangan dan desain yang cermat, yang diinginkan dan diwujudkan oleh manusia penciptanya.

 

Default mesin, secara umum, tidak berkaitan dengan orisinalitas ciptaan atau identitas pencipta. Saat mesin menjadi bagian dari kapitalisme industri, ia justru dituntut untuk menggunakan standar internasional. Ia harus secara umum sama saja dengan produk sejenis, karena pada gilirannya ia harus berurusan dengan, antara lain, suku cadang, ketersediaan ahli reparasi, dan konsumen dari seluruh penjuru dunia. Bisa dikatakan, default mesin adalah keklisean. Keunikan pada mesin sebagai produk massa, contoh laptop dan sepeda motor, adalah semu atau tempelan. Perbedaan produk sejenis satu dengan yang lain biasanya hanyalah pada spek-nya. Misal laptop A menawarkan layar dengan ukuran sekian inci, memori sekian giga, sementara laptop B menawarkan ukuran berbeda, entah lebih kecil atau besar. Perbedaannya jelas tidak semisal A memiliki layar dan memori sementara B tidak memiliki. Sering malahan perbedaan utama antara produk A, B, dan C terletak hanya pada casing-nya. Oleh karena itu cukup mengherankan ketika Martin menyatakan ingin menggunakan AI untuk menciptakan sebuah produk dengan identitas pencipta yang terbelah antara manusia dan mesin, atau lebih khusus agar produk yang dihasilkan tidak mem-pribadi pada manusia. Dalam bayangan saya, saya melihat diri saya sendiri menaruh 2 butir apel, 5 butir cabe, sesendok garam, dan terakhir segelas air ke dalam sebuah mesin blender. Setelah mesin itu selesai bekerja, saya menyuguhkan hasilnya pada tamu saya dan mengatakan padanya, “Jus ini bukan sepenuhnya bikinan saya. Ini hasil kerjasama saya dengan blender.” Ia tampak mengeryitkan kening, menerima gelas yang saya sodorkan, menyeruput isinya, dan langsung saya lihat raut kesakitan di wajahnya.

 

Mesin blender jelas akan berusaha menghancurkan dan melumatkan materi apapun yang dimasukkan ke dalam pialanya. Bahkan jika materi itu sangat tidak lazim untuk fungsi tradisionalnya, ia akan tetap bekerja dengan cara yang sama, tentu dengan risiko kerusakan komponen bilamana materi tersebut sangat tidak kompatibel untuk peruntukannya. AI pengolah data berbasis kata tidaklah berbeda. Untuk hasil yang tak terduga, bahkan kaotis, inputnya haruslah random, menembus batas-batas (genre dan bidang keilmuan) yang umum disepakati. Adapun untuk hasil yang spesifik, dibutuhkan kustomisasi yang mendetail. Makin spesifik hasil yang diinginkan makin detail kustomisasi yang harus diberikan, dan sebagai konsekuensinya makin besar kredit bagi sang pengguna.

 

Takdir “puisi” (seperti halnya bayi: apa jenis kelaminnya, seperti apa bentuk hidung dan warna kulitnya) hasil kolaborasi manusia-mesin yang diusulkan Martin Suryajaya di buku ini ditentukan, harus digarisbawahi, pertama-tama oleh prompt yang diberikan. Dari sini saja manusia sudah unggul 1 poin. Jika dilanjutkan dengan kustomisasi prompt, misal “Buatlah sebuah puisi 12 baris berdasarkan puitika Afrizal Malna dan Wiji Thukul”, maka poin manusia akan bertambah 1. Yang tersisa bagi mesin kemudian adalah proses atau mekanisme simulasi, yang ini pun sesungguhnya merupakan hasil kustomisasi atau desain dari para programmer di suatu tempat di luar sana. Lari dari personalitas, atau sekurangnya antroposentrisme, dengan wacana deterministik demikian oleh karena itu tampak mustahil.

 

PERSPEKTIF KONTRA-TEOLOGIS

pour rendre à l’écriture son avenir, il faut en renverser le mythe : la naissance du lecteur doit se payer de la mort de l’Auteur” (Roland Barthes)

 

Solusi sederhana sekaligus mendasar untuk persoalan “siapa pemilik sejati otoritas pemaknaan” diajukan oleh Roland Barthes melalui esainya, Kematian Pengarang. Kegamangan untuk menentukan makna tulisan, terlebih jenis yang mengoptimalkan performa konotatif seperti karya sastra, memang telah menjadi penyakit menahun. Telah lama dipercaya bahwa pihak yang paling memahami makna karya adalah pengarangnya. Jika ingin memahami Bumi Manusia dengan benar, wawancarailah Pramoedya Ananta Toer, karena padanyalah petanda final bisa ditemukan; di luarnya semua pemaknaan harus diapit oleh tanda petik. Toh bukankah Pram sendiri pernah mengungkapkan bahwa semua karyanya “mereka itu adalah anak-anak rohani yang keluar dari jasad saya”? Anda juga mungkin sering mendapati ungkapan wallahu a’lamu bis_shawabi (Allah lebih mengetahui makna yang benar) muncul sebagai penutup tafsir sebuah ayat, mengekspresikan kekhawatiran sang penafsir kalau-kalau ia telah salah memahami dan menjelaskan makna yang diinginkan Tuhan. Selain secara teknis keterpusatan pada pribadi pengarang demikian sangat merepotkan, pun situasi totaliter yang muncul dari kepercayaan bahwa pengarang adalah sumber makna sangat tidak sesuai dengan semangat abad ke-20, era maraknya peralihan bentuk pemerintahan dari monarki ke republik.

 

Untuk membalik mitos yang selama ini dipercaya, Barthes pertama-tama mengajukan istilah-istilah pengganti.

§  Écriture (tulisan) sebagai pengganti littérature (sastra).

§  Texte (teks) sebagai pengganti œuvre (karya).

§  Scripteur (penulis) sebagai pengganti auteur (pengarang).

Dengan memberi istilah alternatif demikian, pemahaman atas gagasan mendasar Barthes bisa dilakukan lebih mudah. Auteur, misalnya, krusial untuk diganti sebab secara etimologi terkait erat dengan kreator, pendiri, komposer asli, otoritas, yang kesemuanya menyiratkan hak istimewa untuk menentukan makna tulisan. Berthes menulis, “Memberi sebuah teks seorang Pengarang berarti memberikan batasan pada teks tersebut, memberikan makna pemungkas, dan menutup tulisan.” Selanjutnya semiolog tersebut berusaha meyakinkan betapa bahasa telah ada sebelum seseorang melakukan tindakan menulis, dan terlepas dari apapun maksud atau motif yang melatari, yang dilakukan penulis praktis hanya menyalin kata-kata dari kamus, yang maknanya pada gilirannya juga bisa dicari di tempat yang samakamus. Yang tersuguh secara konkret di hadapan pembaca atau pendengar sejatinya hanya inskripsi atau enunsiasi, bukan ekspresi atau gairah personal sang penulis. “…sebuah teks tidak terdiri dari baris kata yang menghasilkan makna tunggal (…)  tetapi merupakan ruang dengan dimensi beragam, tempat berbagai tulisan berpadu dan bersaing, yang mana tak satu pun orisinal.” Kekuatan utama penulis, Barthes mengimani, adalah “menggabungkan berbagai tulisan, saling mempertentangkan satu sama lain, dengan cara yang tidak pernah mengandalkan salah satunya”.

 

Memandang pengarang tak lebih sebagai penulis setara memandang Gal Gadot sekadar sebagai “pemeran Wonder Woman” alih-alih sebagai karakter Wonder Woman di film Wonder Woman itu sendiri. Seluruh emosi dan aksi Wonder Woman sejatinya bukan emosi dan aksi Gal Gadot pribadi. Gal Gadot di film ini, seperti kata Barthes, hanya menunjukkan “kemampuannya dalam menguasai kode naratif”, yakni kemampuannya mendalami peran. Penulis, dengan demikian, bukan author melainkan actor, dan berusaha memahami pribadi Gal Gadot melalui karakter yang diperankannya di film mana pun akan sama sia-sianya dengan berusaha memahami karakter mana pun yang diperankan oleh Gal Gadot dengan cara menyelami biografi pemeran berkebangsaan Israel itu. Selanjutnya karena Gal Gadot bukan Wonder Woman atau juru bicaranya yang sah, maka situasi totaliter pemaknaan atas Wonder Woman dengan sendirinya terhapus. Makna mengalir dan berkumpul di satu tempat: pembaca. Namun pembaca ini memiliki prasyarat, ia harus “seseorang yang tidak memiliki sejarah, biografi, atau psikologi; ia hanya seseorang yang mengumpulkan semua jejak yang membentuk tulisan dalam satu medan yang sama.” Dengan kata lain pada dasarnya tidak ada hasil pembacaan yang lebih benar, karena asumsi adanya hierarki kebenaran pada hasil pembacaan demikian pada gilirannya akan melahirkan Auteur yang lain.

 

Namun bukankah yang diajukan Martin Suryajaya adalah mode penulisan, bukan mode pembacaan? Tepat. Yang ingin dilakukannya adalah menciptakan “penyair sebagai mesin”, melepaskan sejarah dari “pengandaian organik dan kesinambungan antarpribadi dan peristiwa individual dalam waktu”, dan ini artinya ia ingin menciptakan scripteur, bukan auteur;  écriture bukan littérature; sementara tulisan, dalam wacana kematian pengarang, bisa “dibuat dan dibaca sedemikian rupa sehingga di dalamnya, di semua tingkatnya, sang pengarang absen”. Anda bisa memperlakukan puisi Chairil Anwar yang paling ekspresionis sekalipun seolah ia cuma salinan dari racauan sembarang orang yang sedang tidur atau seolah ia cuma hasil simulasi AI. Sebaliknya ada banyak tulisan yang dibuat dengan pertimbangan agar ia tampil impersonal, misal tanpa kata ganti “aku”,  namun Anda tetap bisa membacanya sebagai ekspresi personal. Personalitas atau impersonalitas, tegasnya, pada akhirnya ditentukan oleh penilaian pembaca, dalam kepercayaannya akan status sang Pengarang:  masih hidup atau sudah mati ia?

 

PERSPEKTIF HISTORIS

La propreté de l'individu s'affirme après l'état de folie, de folie agressive, complète, d'un monde laissé entre les mains des bandits qui déchirent et détruisent les siècles.” (Tristan Tzara)

 

Signifikasi bisa dilakukan secara tertutup dengan mengandaikan pola yang muncul dari diferensiasi berbagai unsur pembentuk tulisanfonem, suku kata, kata, frasa, kalimat, paragraf, dan seterusnya (wacana saussurean). Adapun signifikansi sebaliknya senantiasa mengandaikan posisi kesejarahan, yakni hipotesis atau dialektika apa yang coba diajukan oleh sebuah karya dalam hubungannya dengan artefak sejenis yang sudah ada (di perpustakaan, galeri, studio, atau situs apapun dalam struktur kebudayaan): apakah ia membuntuti, meneguhkan, mengembangkan, membelokkan, menentang?

 

Ilustrasi berikut mungkin dapat membantu. Tahun 1600-an, Baroque muncul sebagai eksponen Gereja Katolik dalam menghadapi berbagai gejolak yang berasal dari Reformasi Protestan, dengan banyak memunculkan figur suci seperti Yesus dan para santo, gambaran dramatis yang memancing ketakjuban atau keimanan terhadap otoritas absolut, dan tipikal lukisan dengan latar gelap dan cahaya, dengan muasal yang tak jelas, menerangi obyek-obyek yang dikedepankan. Seiring terbitnya fajar Abad Pencerahan di awal tahun 1700-an, tendensi ini mendapatkan rivalnya: Rococo. Para seniman Rococo mengejek seniman Baroque (atau institusi agama dan politik yang memanipulasi mereka) dengan menggambarkan kaum aristrokat sebagai para hedonis, yang tengah asyik menikmati liburan atau waktu santai di tempat-tempat dengan pencahayaan yang terang, dengan aura feminin yang terasa (bertentangan dengan lukisan Baroque yang cenderung maskulin). Sebagai respons atas Rococo, Klasisisme Baru muncul di pertengahan abad ke-18 dengan semangatnya untuk mengunggulkan rasionalitas. Figur-figur klasik Romawi dan Yunani, historis atau mitologis, yang mengekspresikan nilai-nilai moral tertentu, dipresentasikan dalam latar budaya aslinya (bajunya, furniturnya, peralatannya), dengan garis-garis yang tegas dan warna-warna yang gelap, minim emosi. Peminggiran terhadap sisi integral manusia ini bagaimanapun dengan segera mendapatkan oposisinya: Romantisisme, melakukan tugasnya dengan baik, mengembalikan emosi ke tempat vitalnya dalam proses kreatif. Demikian seterusnya, Romantisisme disambut oleh Impresionisme, Impresionisme oleh Fauvisme, oleh Ekspresionisme, dan akhirnya oleh Kubisme dan Surealisme. Terdapat beberapa aliran yang tak disebutkan, yang muncul hampir berbarengan dengan sebagian aliran di atas, yang bisa dibaca sebagai respons berbeda terhadap kecenderungan yang sama. Pada praktiknya, beberapa aliran tidaklah betul-betul menentang pendahulunya. Ada yang justru bisa dikatakan  merupakan kulminasinya. Namun dengan tetap mengacu pada tipikal-tipikal inheren tertentu, konteks ideologis atau politis tertentu, signifikansi satu karya di antara karya lain (tidak harus mengandaikan bahwa yang satu lebih baik atau lebih buruk secara estetika) bisa ditentukan..

 

Jadi, apa signifikansi Penyair Sebagai Mesin?

 

Dengan menunda evaluasi terhadap hasil, usaha Martin bisa digarisbesarkan sebagai berikut.

§  Latar belakang: ekosistem puisi Indonesia hari ini yang dipenuhi oleh sikap-sikap otoriter, pretensi menjadi gate keepers atau polisi sastra, yang sejatinya tak lebih dari sebentuk fasisme bulu kuduk, metafor untuk arogansi tanpa dasar, diturunkan dari pernyataan Acep Zamzam Noor: puisi dikatakan bagus kalau berhasil membuat bulu kuduk pembacanya berdiri.

§  Tujuan umum: menghasilkan tulisan yang impersonal atau non-antroposentris, atau dalam kata-kata Martin sendiri: “menghadirkan gangguan atas praktik konvensional menulis puisi yang menempatkan aku-penyair sebagai pusat dalam laku kreatif.”

§  Tujuan khusus: menciptakan sastra kecil-kecilan (minor literature), mendefinisikan ulang makna kreativitas, mendorong aktifnya sudut pandang inklusif terhadap pluralitas gagasan dalam diskursus sastrawi.

§  Sarana: komputasi digital, pembacaan jauh, deep learning.

§  Metodologi: memberikan korpus sejumlah penyair kepada mesin komputasi digital untuk, melalui pembacaan jauh, deep learning, dan kustomisasi hiperprameter, dijadikan rujukan sejarah atau pengalaman utama (satu-satunya?) yang mendasari penciptaan puisi.

 

Tergambar dari ikhtisar ini, proses kreatif karya-karya yang diajukan dalam Penyair Sebagai Mesin, puisi-puisi (dalam pengertian apapun yang dikehendaki Martin) sebagai AI-generated artworks itu, selain dimanifestasikan melalui prosedur yang terukur, juga didasari pertimbangan ideologis dan politis yang jelas, hingga puisi-puisi tersebut bisa sesungguhnya dikategorikan ke dalam conceptual art, seni yang mengedepankan gagasan atau tujuan yang melatari dibanding pengertian tradisionalnya sebagai presentasi keindahan (atau meminjam ungkapan Marcel Duchamp, seni yang lebih mementingkan rangsangan terhadap pikiran (in the service of the mind) daripada pemanjaan terhadap mata (retinal art). Artinya, ini bukan hal baru dan bahkan saya bermaksud menyatakan apa yang digagas Martin ini merupakan sebentuk atavisme. Dalam biologi, atavisme berarti “modifikasi struktur biologis di mana ciri genetik nenek moyang muncul kembali setelah hilang akibat perubahan evolusi pada generasi sebelumnya.” Dalam kesenian, ia bisa diartikan sebagai kemunculan kembali gagasan atau karakteristik artistik tertentu setelah untuk sekian lama dianggap hilang. Saya akan menunjukkan hal ini dengan mengurangi secara drastis jarak baca saya atas fenomena yang disebutkan hanya secara selintas oleh Martin, Dadaisme. Dadaisme saya pilih karena ia merujuk bukan cuma pada aliran atau corak karya seni tertentu, tetapi juga pada gerakan (movement) dengan manifesto yang bisa dijadikan acuan pasti.

 

Dadaisme dicetuskan sebagai respons atas kerusakan dalam berbagai sektor kehidupan yang disebabkan oleh otoritas yang korup dan kelas sosial penyokongnya yang hipokrit, kehidupan “dalam kendali para bandit yang merobek dan menghancurkan abad-abad”. Kelas penguasa dan penyokongnya, yaitu kaum borjuis yang hidup di perkotaan dan punya akses ke ruang kemudi kebudayaan, ini adalah pihak yang selalu mengenakan topeng rasionalitas dan absolutisme dan di saat bersamaan merupakan biang kerok terjadinya Perang Dunia Pertama. Begitu muaknya kaum Dada hingga mereka menggambarkan pihak yang mereka lawan ini sebagai “kencing nanah dari matahari busuk yang muncul dari pabrik pemikiran filosofis”. Terkait latar situasi sosial ini, maka Dadaisme dimanifestasikan dalam kontradiksi yang kontinu, sebagai seni anti-seni. Manifesto Dada 1918 yang disusun oleh Tristan Tzara bahkan bisa disebut manifesto yang anti-manifesto, manifesto yang alih-alih merupakan pernyataan sikap yang dijernih dan tegas, malah dikemukakan dalam bahasa yang ruwet dan bahkan nonsense. Cermati kutipan ini: “Saya menulis manifesto ini untuk menunjukkan bahwa orang dapat melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan secara bersamaan, dalam satu tarikan napas; saya menentang tindakan; demi kontradiksi yang terus-menerus, juga demi afirmasi, saya tidak berpihak dan tidak menentang dan saya tidak menjelaskan karena saya benci pemahaman umum.”

 

Karya yang biasa diasosiasikan dengan Dadisme adalah sebuah urinal berbahan porselendipresentasikan dengan judul Fountain, ia diputar 90° dari posisi tradisionalnya sebagai tempat kencing dan diberi inskripsi “R. Mutt”yang didaftarkan Duchamp ke pameran yang diselenggarakan oleh Masyarakat Seniman Independen pada tahun 1917, dan ditolak. Melalui karya ini, Duchamp berusaha melawan definisi konvensional karya senisebagaimana Martin Suryajaya menyebut hasil pengolahan kata di platform AI tertentu sebagai puisi. Dengan mencabut sebuah readymade (obyek sehari-hari yang dipilih oleh seorang seniman dan diangkat derajatnya sebagai karya seni) dari fungsi tradisionalnya dan memaksanya tampil dalam sebuah pameran karya seni, Duchamp melakukan tindakan ofensif, mendesakralisasi ‘akal sehat’, namun juga secara bersamaan melakukan tindakan suportif, selaras dengan spirit Abad Pencerahan untuk merawat keraguan (dubito ergo sum), merangsang ‘akal sehat’ agar segera memeriksa kesehatannya sendiri, dan pada gilirannya membuka medan pemaknaan baru, membuat pengamat memikirkan, misalnya, apa hubungan maknawi lintasan (trajectory) air kencing yang meluncur dari penis dan lintasan air pada air mancur (fountain), atau, untuk pengamat dari Indonesia, misalnya apa hubungan air seni dan karya seni? Singkatnya, karya seni anti-seni mengandaikan tidak saja penemuan gagasan baru sebagai latar tetapi juga keahlian teknis dalam mengeksekusi gagasan tersebut hingga, sebagaimana karya seni konvensional, memiliki potensi membuat orang merenung atau mengalami satori, dan karena itu memiliki kelayakan untuk juga disebut sebagai karya seni.

 

Dadaisme bukanlah ketidakcakapan atau ketidakberdayaan dalam mencipta. Hugo Ball, peletak dasar filosofi gerakan ini, justru menyatakan “Saya tidak menginginkan kata-kata yang ditemukan oleh orang lain. Semua kata adalah temuan orang lain. Saya menginginkan kata-kata saya sendiri, irama saya sendiri, vokal dan konsonan saya sendiri, …” Ball memanifestasikan tekadnya dalam apa yang disebut sebagai puisi suara, ujaran yang tak bisa dicari entrinya dalam kamus karena memang merupakan karangan Ball sendiri.

 

jolifanto bambla o falli bambla

großiga m'pfa habla horem

egiga goramen

higo bloiko russula huju

hollaka hollala

anlogo bung

blago bung blago bung

bosso fataka

ü üü ü

schampa wulla wussa olobo

hej tatta gorem

eschige zunbada

wulubu ssubudu uluwu ssubudu

–umf

kusa gauma

ba–umf

 

Pada masa Perang Dunia Pertama, Swiss mengambil posisi netral hingga menjadi suaka bagi banyak seniman dan intelektual. Hugo Ball tak terkecuali. Bersama Emmy Hennings, yang lalu menjadi istrinya, ia mengungsi dari Munich ke Zurich. Di Zurich, mereka membuka sebuah klub malam (cabaret) dan memberinya nama Cabaret Voltaire. Ya, Voltaire, tokoh Abad Pencerahan itu. Di klub ini Ball bertindak sebagai penyelenggara, promotor, sekaligus performer. Dalam salah satu penampilan yang merupakan kolaborasi antara musik, tari, dan pembacaan puisi, tampak seorang lelaki gemuk menekan-nekan tuts-tuts piano nyaris dengan semaunya sendiri. Gerak tubuhnya tampak main-main dan bahkan mencemooh. Kemudian 3 lelaki muncul dengan perkusi mereka, ekspresinya selaras dengan sang pemain piano. Setelah itu 2 balerina tampil, berusaha menari seelegan mungkin meski terus mendapat gangguan dari 3 lelaki dengan perkusi tadi. Tepat ketika tarian berakhir, seorang dengan kostum kubistis dan sekilas seperti kardinal mulai melantunkan “kata-kata” aneh di atas. Dia adalah Hugo Ball. Pandangannya lurus ke depan, nyaris tak berkedip, dengan tubuh dan muka kaku, seolah sedang kerasukan makhluk gaib. Benda-benda kecil lalu beterbangan dilemparkan dari arah penonton dan 3 lelaki berperkusi tadi menyeret sang kardinal turun dari panggung.

 

Dengan tujuan sama, mengejek pretensi manusia moderen untuk menjadi beradab, bernalar, dan bercitarasa seni tinggi, Tristan Tzara mengajukan teknik membuat puisi tipikal Dadais, puisi yang sangat impersonal. Sebelumnya penting dicatat bahwa Tzara mendukung sepenuhnya mode personal dan kreativitas macam ditunjukkan Ball di atas, sejauh ia selaras dengan tujuan politis Dada. Dalam Manifesto Dada 1918, Tzara mengungkapkan: “Ada jenis sastra yang tidak pernah mencapai massa yang rakus. Karya-karya penulis kreatif, muncul dari kebutuhan nyata sang penulis, dan untuk dirinya sendiri. (…) Seni adalah sesuatu yang bersifat pribadi, seniman melakukannya untuk dirinya sendiri; karya yang dapat dimengerti adalah produk jurnalis, …” Artinya, personalitas (atau eksklusivitas) dengan cara tertentu bisa menjadi strategi untuk melawan kaum kapitalis, melawan positivisme yang menurut Barthes: memberikan perhatian yang sangat besar pada “pribadi” pengarang itu.

 

1.      Ambil sebuah koran.

2.      Ambil gunting.

3.      Pilih artikel dengan panjang sesuai dengan puisi yang Anda rencanakan.

4.      Potong artikel tersebut.

5.      Potong setiap kata darinya dan letakkan dalam sebuah kantong.

6.      Goyangkan kantong itu dengan lembut.

7.      Keluarkan potongan-potongan kata tersebut satu per satu dan taruh secara berurutan sesuai urutan keluarnya dari kantong.

8.      Salin hasilnya apa adanya.

 

Sampai di sini terlihat betapa yang dilakukan Martin sangatlah mirip. Pada level ideologis keduanya merupakan usaha untuk melakukan dehumanisasi atau desentralisasi terhadap pribadi penyair. Sedang pada level metodologis keduanya sama-sama mengandaikan kurasi dan kustomisasi dari penyair, juga chance yang ikut ditentukan oleh sarana atau partner menulis yang dipilihmesin komputasi digital pada eksperimen Martin dan kanton pada teknik Tzara.

 

PERLUKAH?

 

Sebelum agenda Penulisan Jauh diwujudkan Martin melalui buku Penyair Sebagai Mesin, telah ada beberapa usaha serius dari penyair Indonesia untuk lepas dari belenggu personalitas. Tiga di antaranya bisa disebut (ketiganya mengajukan pernyataan sikap yang bisa dirujuk sebagai latar ideologis kreativitas): (1) Sutardji Calzoum Bachri dengan “kata-kata bukanlah alat untuk mengantarkan pengertian”nya, (2) Afrizal Malna dengan “Rumah Kata”-nya, dan (3) Ahmad Yulden Erwin dengan “Jalan Presensionis”nya. Selain mereka ada banyak penyair relatif muda yang memakai teknik atau gaya naratif dan reportase. Pada perpuisian Dedi Tri Riyadi, misalnya, kita bisa merasakan absennya emosi atau pribadi Dedi. Banyak puisinya seolah merupakan hasil jepretan kamera fotografer profesional (yang memotret lebih karena tuntutan profesi ketimbang ketertarikan khusus untuk menangkap momen yang mengharukan). Bagaimanapun pembahasan lebih jauhnya saya kira perlu ruang tersendiri. Sekarang saya harus coba menarik kesimpulan.

 

Sebagai anak kandung sejarah, yang tinggal di awal era pasca-manusia, kita jelas tak bisa menampik kehadiran dan peran besar AI, ciptaan kita itu, dalam berbagai segi kehidupan kita. Tidaklah masalah jika ada yang menawarkan kemungkinan mekanisme kreatif baru dengan melibatkan mesin komputasi digital. Setelah era Corel-Draw dan Photoshop, yang mengandaikan kecakapan dan pendidikan khusus itu, kini dunia dibanjiri aplikasi-aplikasi pengolah foto yang bersifat instan dan simpel. Jika kemudian sarana ini dipakai di ranah penulisan kreatif dan jurnalisme, apa kita harus meratap ataupun marah? Saya kira tidak. Kita perlu mencontoh Nasida Ria, yang di tahun 1985, dalam mengantisipasi datangnya abad ke-21, era apokaliptik di mana mesin banyak menggantikan peran tradisional manusia, menyatakan sebuah sikap optimis.

 

Tahun dua ribu kerja serba mesin;
berjalan berlari menggunakan mesin;
manusia tidur berkawan mesin;
makan dan minum dilayani mesin.
Sungguh mengagumkan tahun dua ribu,
namun demikian penuh tantangan.

 

Yang harus dipertanyakan, karena secara umum kita masih mengimani sikap kritis, untuk menerima atau menolak tawaran Martin tersebut, yang dilatari cita-cita romantis “keterbukaan pikiran untuk memandang bahwa setiap karya, dalam arti tertentu, menarik.” adalah: “Perlukah?” Alih-alih memberontak dengan sarana komputasi digital seperti itu, kenapa kita tidak memandang berbagai polarisasi, pertarungan ideologis, dan pameran sikap fasis dalam perpuisian Indonesia sebagai sesuatu yang biasa, bahkan sehat? Hugo Ball dan Tristan Tzara seabad lalu harus terpaksa berpisah karena perbedaan visi. Mereka tidak saja memperjuangkan Dadaisme dalam caranya masing-masing, tetapi bahkan meciptakan versi Dadaismenya sendiri-sendiri. Perpisahan ini tidak wajib ditanggapi dengan muram. Sebaliknya kita perlu bersyukur karena sesudahnya kita justru mendapati lebih banyak jalan yang bisa dipilih. Dadaisme Ball, Dadaisme Tzara. Plus: harus dikatakan, apa yang ditawarkan Martin sesungguhnya adalah ‘permainan yang mahal’. Seperti diakui Martin sendiri, selain butuh komputer dengan spek cukup tinggi (agar tidak macet di tengah proses), ia butuh program komputasi digital yang masih kosong (untuk diisi sendiri dengan ratusan atau ribuan puisi yang di-scan-nya, yang nantinya dijadikan sejarah atau biografi bagi sang penyair AI itu), dan butuh melakukan kustomisasi (menyetel sekian parameter) yang njelimet. Kesemuanya memerlukan biaya dan energi yang tidak sedikit. Okelah, mungkin ada perlunya kita mengambil jeda dari keterpusatan pada kepribadian kita, namun haruskah dengan rekreasi (atau permainan?) yang sangat mahal seperti itu?

 

Terjemah puisi Charles Bukowski berikut saya ajukan untuk menutup tulisan yang jauh dari komprehensif ini. Saya kira puisi ini juga, secara paradoks (dengan menebalkan bagian “hingga mereka tak pernah dapat mengategorikanmu”), bisa dianggap sebagai alternatif jalan yang bisa ditempuh dari personalitas ke impersonalitas.

 

 

TANPA PEMIMPIN SAJA

 

temukan dirimu dan lalu temukan-ulang dirimu,

jangan berenang di rawa yang sama.

temukan dirimu dan lalu temukan-ulang dirimu,

jauhi cengkeraman mediokritas.

 

temukan dirimu dan lalu temukan-ulang dirimu,

ubah nada dan bentukmu sesering mungkin hingga mereka tak pernah

dapat

mengategorikanmu.

 

segarkan-ulang dirimu dan terimalah ia

namun dengan syarat bahwa kau telah menemukan

dan menemukan ulang.

 

jadilah guru bagi dirimu sendiri.

 

dan temukan-ulang hidupmu sebab kamu harus;

ini hidupmu dan

sejarahnya

dan masa kininya

menjadi milikmu

seorang.

 

Agustus 2023

 

______

Penulis

Malkan Junaidi, penyair dan esais.

 

Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com