Cerpen Muhammad Fajrinal Mumtaz
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Di sebuah desa kecil di pesisir pantai, hiduplah seorang anak bernama Dimas. Ia tinggal bersama ayah dan ibunya di sebuah rumah sederhana yang menghadap langsung ke laut biru yang luas. Setiap pagi, Dimas akan berlari ke pantai, merasakan pasir hangat di kakinya, dan mendengar suara deburan ombak yang seolah-olah menyapanya dengan riang.
Suatu sore, Dimas sedang bersendau gurau dengan ayahnya di rumah. Mereka duduk di teras sambil menikmati pisang goreng buatan ibu.
"Ayah, kenapa ikan di laut tidak pernah kehabisan?" tanya Dimas sambil mengunyah pisang gorengnya.
Ayahnya tersenyum. "Karena ikan selalu bertelur dan berkembang biak. Laut ini seperti rumah besar bagi mereka."
Dimas tertawa kecil. "Kalau begitu, kita harus menjaga rumah mereka juga, ya?"
Ayah Dimas adalah seorang nelayan yang setiap hari pergi melaut untuk mencari ikan. Dimas sangat senang ikut ayahnya berlayar. Ia suka melihat burung camar yang terbang rendah di atas air dan ikan-ikan kecil yang melompat di permukaan laut.
Suatu hari, ketika mereka sedang berlayar menuju desa seberang, Dimas melihat sesuatu yang menarik di sepanjang pantai desa itu. Ada banyak pohon tinggi dengan akar yang menjulur ke dalam air.
"Ayah, pohon apa itu?" tanya Dimas penasaran.
Ayahnya tersenyum. "Itu namanya pohon mangrove, Nak. Pohon ini sangat penting karena bisa melindungi pantai dari gelombang besar."
Dimas mengangguk-angguk. "Kenapa di pantai desa kita tidak ada pohon mangrove?"
"Karena desa kita cukup jauh dari bibir pantai, jadi selama ini kita merasa tidak membutuhkannya," jawab ayahnya.
Dimas masih penasaran, tapi ia tidak bertanya lagi. Namun, rasa ingin tahunya tentang pohon mangrove terus ada di dalam pikirannya.
Suatu hari, langit berubah menjadi gelap. Angin bertiup kencang, dan ombak mulai menggulung lebih tinggi dari biasanya. Badai besar menghantam desa Dimas. Air laut naik ke daratan, merusak beberapa rumah di dekat pantai. Warga desa panik dan berusaha menyelamatkan barang-barang mereka. Dimas melihat dengan sedih bagaimana air laut masuk ke rumah-rumah dan membuat banyak orang kehilangan tempat tinggal mereka.
Setelah badai mereda, Dimas duduk di atas pasir, menatap laut yang kembali tenang. Ia mengingat pohon-pohon mangrove yang ia lihat di desa seberang. Jika saja di desa mereka juga ada pohon-pohon itu, mungkin ombak tidak akan begitu besar menerjang daratan.
Dimas pun mendapat ide. Ia segera menemui ayahnya. "Ayah, bagaimana kalau kita menanam pohon mangrove di pantai desa kita? Dengan begitu, jika ada badai lagi, desa kita bisa lebih terlindungi!"
Ayahnya terdiam sebentar, lalu tersenyum bangga. "Itu ide yang bagus, Nak. Tapi kita tidak bisa melakukannya sendirian. Kita harus melibatkan seluruh warga desa."
Dimas bersemangat. Bersama ayahnya, ia berbicara kepada kepala desa dan warga lainnya. Awalnya, tidak semua orang setuju. Menanam pohon mangrove butuh waktu lama sebelum pohon itu tumbuh besar dan kuat. Tapi Dimas tidak menyerah. Ia meyakinkan mereka bahwa ini adalah cara terbaik untuk melindungi desa mereka dari badai di masa depan.
Akhirnya, warga desa setuju. Mereka mulai bekerja bersama, menanam bibit-bibit mangrove di sepanjang pantai. Dimas ikut menanam dengan penuh semangat, tangannya kotor oleh lumpur, tapi hatinya bahagia.
Tahun demi tahun berlalu, pohon-pohon mangrove mulai tumbuh besar dan kokoh. Akar-akar mereka mencengkeram tanah dengan kuat, menciptakan pagar alami yang melindungi desa dari gelombang besar.
Beberapa tahun kemudian, badai besar kembali datang. Angin kencang bertiup, ombak besar menerjang pantai. Tapi kali ini, pohon-pohon mangrove berdiri tegak, menghadang air laut yang ingin masuk ke desa. Warga desa berlari ke luar rumah setelah badai berlalu dan melihat bahwa desa mereka tetap aman. Pohon-pohon yang mereka tanam bersama telah menyelamatkan mereka.
Dimas tersenyum bangga. Ia melihat ke arah pohon-pohon mangrove yang bergoyang pelan ditiup angin. Mereka telah menjadi penjaga desa, seperti pahlawan diam yang tidak meminta imbalan apa pun.
Namun, di sudut desa, beberapa orang berbicara tentang pagar bambu tinggi yang dipasang oleh sebuah perusahaan. Katanya, pagar itu dibuat untuk melindungi desa dari ombak. Tapi anehnya, para nelayan justru kesulitan pergi melaut karena pagar itu menghalangi jalan mereka ke pantai.
Dimas menggelengkan kepala. "Mengapa membuat pagar yang justru menyusahkan orang? Bukankah lebih baik menanam mangrove? Pohon-pohon ini tidak hanya melindungi desa, tetapi juga memberi rumah bagi ikan dan kepiting. Laut tetap hidup, desa tetap aman."
Semua warga akhirnya menyadari bahwa pagar alam jauh lebih baik daripada pagar buatan yang hanya menguntungkan segelintir orang. Dimas pun tersenyum puas, karena ia tahu, kebaikan yang ia mulai akan terus tumbuh bersama pohon-pohon mangrove di pantai mereka.
Pesan moral dari kisah ini adalah bahwa alam memiliki cara tersendiri untuk melindungi manusia, jika kita mau menjaga dan merawatnya dengan baik. Daripada membangun tembok buatan yang bisa menghalangi kehidupan para nelayan, menanam pohon mangrove adalah pilihan yang lebih baik untuk menjaga keseimbangan antara manusia dan alam. Sayangnya, tidak semua orang mengerti, terutama mereka yang lebih suka membuat pagar demi kepentingan mereka sendiri.
Hari itu Dimas berjalan di tepi pantai bersama teman-temannya. Sudah beberapa tahun berlalu sejak ia dan warga desa menanam pohon mangrove. Sekarang pohon-pohon itu tumbuh tinggi dan rimbun. Akar-akarnya yang kuat menjulur ke dalam air, menjadi rumah bagi kepiting kecil yang suka bersembunyi.
"Dimas, lihat! Ada banyak ikan kecil di sini!" seru Bayu sambil menunjuk ke air jernih di antara akar mangrove.
"Iya, dan itu kepitingnya!" sahut Rina, menunjuk kepiting yang berjalan miring, seolah malu-malu melihat anak-anak.
Dimas tersenyum bangga. Ia ingat dulu pantai ini sepi dan tanahnya terkikis sedikit demi sedikit oleh ombak. Sekarang, airnya lebih jernih, udang dan ikan kecil bermain di sela akar, dan burung-burung hinggap di ranting-ranting mangrove.
Tak hanya menjadi rumah bagi hewan laut, hutan mangrove kini juga menjadi tempat wisata dan belajar bagi anak-anak. Setiap minggu, guru-guru mengajak murid-murid datang ke sini untuk mengenal ekosistem laut.
"Anak-anak, lihatlah! Hutan mangrove ini tidak hanya melindungi desa kita dari ombak besar, tapi juga menjadi tempat tinggal bagi banyak hewan," kata Bu Rina, guru mereka.
Dimas dan teman-temannya mengangguk penuh semangat. Mereka belajar bahwa alam bisa menjaga manusia, asal manusia juga mau menjaganya.
Saat sedang asyik bermain lumpur di sekitar akar mangrove, Dimas melihat ayahnya duduk di atas perahu sambil tersenyum kepadanya.
"Ayah, dulu ayah bilang desa kita tidak perlu mangrove karena pantainya jauh dari pemukiman. Sekarang bagaimana?" tanya Dimas sambil tertawa kecil.
Ayahnya terkekeh. "Ternyata ayah salah, ya. Pagar alam ini jauh lebih baik daripada pagar-pagar bambu buatan orang-orang yang hanya mementingkan diri sendiri."
Dimas mengangguk mantap. "Iya, Ayah. Pagar alam memberi manfaat untuk semua makhluk, bukan hanya untuk beberapa orang."
Di kejauhan, ombak berdebur lembut. Burung-burung beterbangan di langit biru. Dan di sela akar mangrove yang kokoh, kehidupan terus tumbuh, melindungi desa Dimas untuk waktu yang sangat lama.