Cerpen Zacky Wahyu Ardani
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Pak Zola adalah Bupati Tangerang. Sejak menjabat pada tahun 2020, ia dikenal sebagai pemimpin yang bersih dan tidak pernah terlibat dalam kasus apapun. Pemerintahannya berjalan dengan baik, dan masyarakat pun merasa puas dengan kepemimpinannya. Hari-hari kerjanya penuh dengan berbagai agenda, namun di akhir pekan, ia selalu menyempatkan diri untuk kumpul bersama keluarga.
Suatu hari, di sebuah pusat perbelanjaan, Pak Zola berjalan-jalan bersama istrinya, Bu Zoli, dan anak mereka yang berusia empat tahun, Zoro. Mereka menikmati kebersamaan sebagai keluarga.
"Yah, jadi bupati enak nggak?" tanya Bu Zoli saat mereka tengah duduk di sebuah kafe setelah berkeliling mall.
Pak Zola tersenyum, menatap istrinya dengan penuh kasih sayang. "Ya capek, sih, Mah. Tapi juga menyenangkan."
"Katanya capek, kok bisa menyenangkan?" Bu Zoli tertawa kecil, penasaran dengan jawaban suaminya.
"Capek karena banyak kerjaan, menyenangkan karena bisa melayani masyarakat," jawab Pak Zola.
Zoro tiba-tiba menarik tangan ayahnya. "Yah, ayo ke toko lego! Aku mau beli lego naga!"
Pak Zola tertawa dan mengangguk, lalu berjalan mengikuti anaknya. Namun, sebelum mereka masuk ke toko, ponsel Pak Zola berdering. Ia merogoh sakunya dan melihat nomor yang tidak dikenal.
"Halo, dengan Pak Zola?" terdengar suara di seberang.
"Iya, saya sendiri. Maaf, ini siapa ya?"
"Kami dari Polda Banten, Pak. Kami ingin meminta keterangan terkait pemasangan pagar bambu di laut Tangerang. Apakah Bapak bisa memberikan waktu untuk memberikan keterangan?"
Beberapa pekan terakhir, berita di televisi dan media sosial ramai memberitakan kemunculan pagar bambu di laut Tangerang. Anehnya, tak satu pun pihak yang mampu memberikan penjelasan jelas mengenai asal-usul pagar bambu tersebut. Bahkan, Pak Zola, selaku Bupati Tangerang, juga mengaku tidak mengetahui apa pun terkait kemunculan pagar bambu itu.
Pak Zola terdiam sejenak. Wajahnya menegang. Ini panggilan yang sama sekali tidak ia duga. Sepertinya banyak yang dibicarakan oleh penelepon itu. Pak Zola sampai menjauh dari anak dan istrinya agar mereka tidak mendengar percakapan Pak Zola dengan penelepon.
Setelah beberapa menit mereka bercakap-cakap, penelepon itu mengakhiri panggilannya.
"Siapa, Yah?" tanya Bu Zoli, melihat perubahan ekspresi suaminya.
Pak Zola tidak menjawab. Ia masih memegang ponselnya dengan pandangan kosong. Di sampingnya, Zoro mulai rewel, terus menarik tangan ayahnya agar masuk ke toko. Namun, Pak Zola tiba-tiba berkata, "Kita pulang sekarang."
Sepanjang perjalanan pulang, suasana di dalam mobil menjadi hening. Pak Zola tampak murung, pikirannya bercampur aduk. Ia tahu bahwa ini bukan sekadar panggilan biasa. Ada sesuatu yang lebih besar yang sedang menantinya.
Sesampainya di rumah, Bu Zoli akhirnya tak bisa menahan rasa penasarannya. "Sebenarnya ada apa, Yah?"
Pak Zola menghela napas panjang. "Besok Ayah harus ke Pengadilan Negeri, Mah. Ada persidangan yang harus Ayah hadiri."
"Persidangan? Tentang apa?" Bu Zoli terkejut.
"Tentang pagar bambu di laut Tangerang. Aku tidak tahu apa-apa tentang itu, tapi sekarang aku dipanggil untuk memberikan keterangan."
Keesokan harinya, Pak Zola menghadiri persidangan. Di luar gedung pengadilan, wartawan sudah berkerumun, mencoba mencari tahu apa yang terjadi. Lampu kamera berkedip-kedip saat Pak Zola melangkah masuk. Di dalam ruang sidang, sudah hadir Jaksa, Hakim, para saksi, dan beberapa masyarakat yang ingin menyaksikan jalannya persidangan.
Pesisir Tangerang, tempat di mana perahu-perahu kecil biasa berlayar di atas air yang tenang. Menjaring ikan kembung, udang, dan kerang hijau yang menjadi sumber penghidupan utama. Namun tiba-tiba ketenangan itu mendadak terusik oleh kemunculan pagar bambu misterius yang membentang di tengah laut, menghalangi jalur perahu dan merusak ekosistem pesisir. Ikan-ikan mulai menjauh, rumput laut layu, dan kepiting bakau sulit ditemukan. Nelayan-nelayan hanya bisa memandang dengan gusar, bingung menghadapi batas tak terlihat yang perlahan-lahan mencuri nafkah mereka tanpa penjelasan. Hari ini mereka datang ke pengadilan Pak Zola untuk mencari jawaban.
Hakim membuka sidang dengan suara tegas. "Saudara Zola, sebagai Bupati Tangerang, apakah Anda mengetahui perihal pagar bambu yang sedang ramai dibicarakan masyarakat?"
Pak Zola menggeleng pelan. "Maaf, Yang Mulia. Saya tidak tahu."
Hakim mengangkat alisnya. "Bagaimana mungkin Bapak tidak tahu? Anda adalah Bupati Tangerang."
"Maaf, Yang Mulia, saya benar-benar tidak tahu tentang pemasangan pagar itu."
Suasana di ruang sidang menjadi hening sejenak. Jaksa kemudian memanggil saksi ahli. Seorang pria dengan jas rapi melangkah maju dan memberikan penjelasan berdasarkan hasil analisis di lapangan.
"Pagar bambu tersebut didirikan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, menghalangi jalur perahu nelayan dan merusak ekosistem laut. Dari berbagai dokumen yang kami periksa, ada indikasi kuat bahwa pemasangan pagar ini mendapatkan persetujuan dari Bupati Tangerang."
Pak Zola menggeleng lagi. "Tidak! Saya tidak pernah menyetujui itu."
Namun, saksi ahli kemudian menunjukkan sebuah foto. Dalam foto tersebut, terlihat jelas Pak Zola sedang menandatangani sebuah dokumen, dan di sebelahnya tampak beberapa orang dari sebuah perusahaan properti.
Pak Zola membeku. Matanya terpaku pada gambar itu. Ia merasa seperti dihantam gelombang besar yang tak dapat ia hindari.
"Bapak masih ingin mengatakan bahwa Anda tidak tahu?" tanya Hakim.
Pak Zola terdiam beberapa saat, lalu akhirnya menghela napas berat. "Baik. Saya mengaku. Saya memang terlibat dalam persetujuan itu. Tapi saya melakukannya karena saya diancam. Jika saya tidak menandatangani dokumen itu, jabatan saya akan dicopot."
Ruangan menjadi riuh. Beberapa orang yang hadir mulai berbisik-bisik. Hakim mengetuk palu untuk menenangkan suasana.
"Siapa yang mengancam Anda?" tanya Hakim dengan nada serius.
Pak Zola menundukkan kepala. Ia tahu, ini adalah kesempatan terakhirnya untuk berkata jujur. Dengan suara lirih, ia menyebutkan beberapa nama. Nama-nama itu adalah oknum dari perusahaan properti yang telah memaksanya untuk menyetujui proyek ilegal tersebut.
Setelah mendengar pengakuan Pak Zola, pihak berwenang segera bertindak. Beberapa hari kemudian, oknum-oknum yang disebutkan Pak Zola ditangkap dan diadili. Pagar bambu yang telah merugikan masyarakat nelayan akhirnya dibongkar, dan laut kembali seperti sedia kala.
Namun, meskipun keadilan telah ditegakkan, nama Pak Zola sudah tercoreng. Ia harus menghadapi kenyataan bahwa kepercayaan masyarakat terhadapnya telah runtuh. Beberapa bulan setelah persidangan, ia memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya.
Di rumah, ia duduk termenung di teras, menatap langit sore yang mulai kemerahan. Bu Zoli datang membawa secangkir teh dan duduk di sampingnya.
"Yah, kamu sudah melakukan hal yang benar dengan mengatakan yang sebenarnya."
Pak Zola mengangguk pelan. "Tapi tetap saja, Mah. Aku mengecewakan banyak orang."
Bu Zoli menggenggam tangan suaminya. "Yang penting sekarang, kita bisa memulai kembali. Jabatan bisa hilang, tapi harga diri dan kejujuran tetap akan dikenang."
Pak Zola tersenyum tipis. Ia tahu, perjalanan hidupnya masih panjang. Mungkin ia telah jatuh, tapi ia percaya, selama ia masih memiliki keluarga yang mencintainya, ia bisa bangkit kembali.