Wednesday, March 12, 2025

Cerpen Lomba | Hanin Azkiya Said | Tanah yang Dicuri

 Cerpen Hanin Azkiya Said



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)



Bel pulang sekolah terdengar, para siswa terlihat sudah siap untuk pulang dan beristirahat di rumahnya masing-masing. “Hey, Haris! Pulang bareng, yuk!” ajak Azka. “Oh, boleh deh. Gimana kalau hari ini kita pulang lewat jalan di atas supaya bisa sekalian lihat pantai?” tanya Haris. “Wih, boleh tuh! Kebetulan kita udah lama nggak lihat pantai. Soalnya, denger-denger akhir-akhir ini pantai suka ditutup, katanya lagi ada proyek. Proyek apa ya?” Tanya Azka. “Hah, masa sih? Ya udah, kita coba sekalian lihat aja,” ucap Haris.

Perjalanan pulang ke rumah Haris dan Azka lewat pinggir pantai selalu terasa menyenangkan. Berjalan kaki sekaligus menikmati semilir angin pantai yang sejuk, sambil sesekali menyapa tetangga yang kebetulan lewat. “Eh, beneran, Ris. Di situ kayak ada pagar-pagar gitu. Kira-kira buat apa ya laut kita digituin?” tanya Azka. “Aku kurang tahu juga ya. Coba kita tanya Bu Lestari di sekolah nanti. Kira-kira beliau tahu nggak ya? Tapi kayaknya, dilihat dari asal usulnya yang nggak jelas dan tiba-tiba gini, pagar itu kayaknya emang mencurigakan deh,” ucap Haris. “Seinget aku, Bu Lestari pernah bilang deh, katanya proyek atau kemunculan pagar ini tuh emang nggak ada sosialisasi sebelumnya. Kayak tiba-tiba ada, terus nggak dilanjutin lagi, dibiarin terbengkalai gitu aja. Aneh nggak sih? Padahal kalau itu beneran proyek pemerintah desa, harus ada sosialisasi atau minimal diselesaikan gitu, nggak sih?” jelas Azka.

Tidak lama, mereka pun tiba di persimpangan jalan kecil yang menandakan bahwa perjalanan mereka harus berpisah sampai di situ, karena jalur yang membawa mereka berdua kerumah ternyata berlawanan arah. Haris pun tiba di rumah dan seketika disambut hangat oleh ibunya yang sudah menyiapkan makan siang. “Bu, Ayah kapan pulang?” tanya Haris, karena biasanya ayahnya memang mampir ke rumah untuk menyantap makan siang bersama keluarga. “Nggak tahu juga, Ris. Akhir-akhir ini Ayah kan pulangnya suka telat,” jawab Ibu. Ayah Haris adalah seorang nelayan yang setiap hari pergi melaut untuk mencari nafkah dan mencukupi kebutuhan keluarganya. Akhirnya, Ayah Haris pun tiba di rumah setelah Ibu dan Haris sudah mulai menyantap makan siang mereka.

“Hari ini, lagi-lagi tangkapannya sangat sedikit. Entah kenapa area melaut kita makin terbatas saja,” keluh Ayah Haris yang merasa semakin kesulitan mencari nafkah sebagai seorang nelayan. Ini bukan yang pertama atau kedua kalinya Haris mendengar ayahnya mengeluh seperti ini. “Mungkin karena pagar laut itu, Yah. Kata Bu Lestari, proyek itu aneh, nggak ada sosialisasi sebelumnya,” jawab Haris.

Haris dan keluarga memang tinggal di desa pinggiran laut, di mana kehidupan masyarakat sangat bergantung pada hasil laut karena lokasinya yang memang berada di wilayah pesisir. Namun, beberapa tahun terakhir, kondisi desa mulai berubah. Sebuah proyek pembangunan pagar laut tiba-tiba muncul dengan alasan melindungi pesisir dari abrasi. Namun, banyak warga yang merasa ada sesuatu yang janggal dengan proyek ini.

Ayahnya menghela napas. “Ayah juga nggak ngerti. Biasanya pagar laut dibuat untuk melindungi pantai, tapi ini malah membatasi wilayah kita sendiri. Coba pas sekolah besok kamu cari tahu sebenarnya apa gunanya pagar laut itu.”

Keesokan harinya, bersama sahabatnya, Azka serta guru biologi mereka, Bu Lestari, Haris mulai mencari tahu lebih dalam lewat observasi lingkungan juga bertanya pada warga yang tinggal di pesisir dan sekitarnya. Mereka menemukan sesuatu yang mengejutkan bahwa proyek pagar laut itu bukan untuk mencegah abrasi, melainkan digunakan untuk membatasi wilayah yang diam-diam telah dibuat Sertifikat Hak Usaha (SHU)-nya oleh kepala desa. Dengan cara ini, lahan di pesisir yang seharusnya milik umum justru diubah menjadi milik pribadi dengan sertifikat palsu.

“Azka, coba lihat peta desa ini. Sebelum ada pagar laut, garis pantainya masih bebas untuk semua nelayan. Sekarang? Setengahnya sudah dibatasi,” kata Haris sambil menunjuk peta.

“Aku juga dengar dari Abang, beberapa warga yang dulu biasa menangkap ikan di sekitar situ mulai dilarang. Mereka bahkan disuruh membayar sewa kalau mau melaut di dekat sana.” ucap Azka sambil mengamati dengan serius.“Ini nggak masuk akal. Jangan-jangan proyek ini cuma kedok buat ngambil tanah pesisir buat diambil keuntungannya secara pribadi,” ujar Haris dengan curiga. Ketika mereka mulai mencari lebih dalam, lewat koneksi dari teman-teman dan tetangga yang bekerja di pemerintahan, mereka menemukan sesuatu yang lebih mengejutkan. Pak Jaka, kepala desa mereka, ternyata bukan hanya menyalahgunakan dana proyek, tetapi juga memalsukan sertifikat tanah di pesisir, sehingga seolah-olah tanah itu dimiliki oleh warga desa. 

“Ini lebih besar dari yang kita kira,” ujar Haris saat mereka mengumpulkan dokumen bukti. Dengan bantuan Bu Lestari, mereka menghubungi seorang jurnalis investigasi dari media lokal. Berita tentang pemalsuan sertifikat tanah dan penyalahgunaan dana proyek mulai tersebar luas. Polisi pun turun tangan.

Situasi semakin memanas ketika Pak Azali, seorang nelayan tua, mendatangi kantor desa untuk menuntut keadilan. “Tanah ini sudah jadi milik keluargaku turun-temurun! Apa hak kalian mengambilnya?” serunya dengan suara gemetar. Pak Jaka hanya menatap dingin. “Ini sudah ada sertifikatnya, Pak Azali. Silakan ajukan ke pengadilan kalau tidak setuju.”

Namun, saat dilakukan penggerebekan di kantor desa, ditemukan banyak sertifikat tanah yang ternyata palsu dan bukti transfer uang yang mengarah pada Pak Jaka dan sekretarisnya. Nama-nama yang tertera di sertifikat adalah nama palsu yang dibuat-buat yang berujung pada dirinya sendiri serta sekretaris desa.

Satu desa pinggir laut itu pun gempar. Tidak sedikit warga yang marah karena merasa dikhianati dan dirugikan, sementara yang lain merasa kesulitan menerima kenyataan. Tak kuat menahan amarah dan tekanan, Pak Azali mendadak ambruk di tempat. Warga berteriak panik, yang lain langsung berlari mencari bantuan. Sayangnya, ketika bantuan datang, nyawa Pak Azali tak tertolong. Desa pinggir laut itu berduka, dan kejadian ini membuat kemarahan warga meledak. Mereka menuntut keadilan.

Dengan bukti yang cukup dan tekanan dari media, polisi akhirnya menangkap Pak Jaka dan sekretarisnya. Mereka didakwa dengan berbagai pasal, termasuk pemalsuan dokumen dan korupsi. Namun, bagi Haris dan warga desa, perjuangan belum selesai.

“Tanah kita harus dikembalikan,” ujar Ayah Haris dalam rapat warga. “Pagar laut itu sudah merugikan kita. Kita harus pastikan ini tidak terulang.” Warga setuju, dan mereka mulai melakukan berbagai upaya hukum untuk mengembalikan lahan mereka. Sebagian tanah akhirnya dikembalikan, tetapi sebagian lagi masih dalam proses yang rumit karena penggunaan nama yang ternyata dibuat-buat. Sementara itu, pagar laut yang terbengkalai kini menjadi simbol ketidakadilan yang pernah terjadi di desa mereka.

Meski banyak yang kembali ke laut untuk mencari nafkah, dampak kasus ini masih terasa. Tidak semua warga mendapatkan kembali tanah mereka, dan bayang-bayang ketidakadilan masih menghantui. Namun, setidaknya satu hal pasti: Desa pinggir laut ini kini lebih waspada terhadap siapa yang mereka percayai untuk memimpin mereka. Juga lebih kritis terhadap perubahan sekecil apa pun untuk kemajuan desa.


Di tepi pantai, Haris menatap ombak yang bergulung pelan. Ia tahu perjuangan ini belum berakhir, tapi ia juga tahu bahwa perubahan selalu dimulai dari keberanian untuk melawan ketidakadilan, sekecil apa pun itu.