Cerpen Fathma Rasfanty Adifa Dzulqaidah
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Ombak berdesir sejauh mata memandang. Hanya satu insan yang berada di tempat sunyi itu. Matanya sayu, lembab, seolah baru saja menangis. Bibirnya bergetar mengucapkan suatu nama, “..ma.. ..ma”, tapi ia tidak pernah mampu untuk mengucapkannya.
…
“Bapak pulang hari ini.” Ibuk berkata sembari mengupas bawang merah dengan pisau kecil kesayangannya. Aku langsung melompat kegirangan. “Serius, Buk?” Ibuk hanya tersenyum masam.
Bapak memang jarang pulang. Jangankan uang, ikan saja tak pernah ia kirim ke rumah. Tapi bagiku, bapak adalah nelayan hebat. Ia bisa menangkis ombak dengan perahunya yang kecil, melempar jaring besar dengan cekatan, lalu menariknya penuh ikan segar. Aku ingin seperti bapak jika sudah besar nanti.
Ibuk menatapku yang kegirangan. “Don, jangan terlalu senang.” Ia menghela napas. “Bapakmu itu ya, sudah jarang pulang, kembali pun tangan kosong. Pusing ibuk mikirnya.”
Aku manyun. Bapak dan ibuk memang tak pernah benar-benar akrab. Sejak aku lahir, mereka sering bertengkar. Hidup serba kekurangan, makan berdua saja sudah seperti berkah. Apalagi setelah aku lahir.
Tapi bapak dan ibuk selalu percaya satu pepatah: Banyak anak, banyak rezeki.
Angin berdesir kencang, seolah menandakan hujan akan turun, padahal langit terlihat cerah. Ibuk mondar-mandir di dapur, memasak mi instan untukku. Tapi hari ini spesial, karena ibuk baru saja dapat bantuan subsidi dari pemerintah.
Sebenarnya, tiap tahun, pemerintah selalu memberikan bantuan ke desa kami. Tapi karena rumah kami ada di ujung bibir ombak, jauh dari kampung lain, kami seolah tersingkirkan.
Kampung ini, sebut saja Kampung Cituis, sudah berdiri selama 21 tahun. Sebagian besar warganya adalah nelayan. Jangan tanya berapa ikan yang bisa kami tangkap dalam sehari—terlalu banyak untuk dihitung. Saking melimpahnya hasil laut di sini, kami sampai memiliki pelabuhan khusus perikanan, atau biasa disebut PP. Dari sanalah ikan-ikan segar dikirim ke berbagai tempat, akhirnya tersaji hangat di piring-piring keluarga.
Aku sering membayangkan betapa nikmatnya makan ikan yang masih hangat di rumah sendiri. Tapi bapak jarang pulang. Ibuk pun sibuk, membuka jasa mencuci baju yang ia kerjakan dari pagi hingga sore tanpa henti.
"Kamu sekolah saja yang benar," begitu katanya setiap kali aku bertanya kenapa ia selalu bekerja keras. Aku memang sedang duduk di kelas enam tahun ini. Sekolahku, SDN Pakuhaji V, cukup jauh jika ditempuh dengan berjalan kaki. Sekolah ini dipenuhi anak-anak dari keluarga kurang mampu, seperti aku.
Guru-guru di sana baik sekali. Mereka sabar mengajari kami—hanya 33 murid di kelas. Tapi sekolah hanya sampai ba'da Zuhur. Setelah itu, ada les privat bersama guru, tapi hanya untuk mereka yang punya uang lebih. Aku? Aku hanya bisa pulang ke rumah, membantu ibuk mencuci, dan menunggu bapak yang entah kapan akan kembali.
…
Hujan turun, membasahi pasir pantai. Prediksiku benar! Sepertinya di masa depan aku bisa menjadi peramal cuaca. Tapi kata ibuk, peramal itu kerjanya haram semua—makan haram, minum haram, ilmu juga haram. Pokoknya, tidak ada yang halal.
“Dimakan, le.”
Saat menoleh, ibuk sudah menyodorkan mangkuk keramik bercorak ayam hitam yang mengepul. Asapnya bergulung seperti lokomotif tua. Aku menelan ludah. “Ibuk tidak makan?” tanyaku sambil mendorong kembali mangkuk mie instan rasa soto spesial yang ia buat.
“Nggak usah, kamu saja. Ibuk sudah kenyang.” Ia menggeser mangkuk itu ke arahku lagi.
Setelah berkata begitu, ibuk bangkit. Jalannya tertatih-tatih, langkahnya seperti menahan sesuatu. Aku baru sadar—sejak kapan ibuk berjalan seperti itu? Dadaku terasa sesak melihatnya.
Beberapa menit kemudian, mangkuk sudah tandas. Mie instan buatan ibuk memang tidak ada lawan. Aku duduk di depan pintu, menunggu kehadiran bapak dengan antusias. “Ibuk, biasanya bapak pulang jam berapa?” tanyaku.
Ibuk hanya menatapku masam. “Kan, kau yang paling akrab dengan bapak. Tanya saja sendiri.” Aku tidak menanggapi. Sudah biasa ibuk bersikap begitu jika membahas bapak.
Hujan makin deras. Sepertinya bapak akan pulang larut malam. Angin dingin membuat mataku berat. Aku akhirnya menyandarkan tubuh ke lantai serambi dan terlelap begitu saja.
Craangg! Aku terbangun. Ini bukan lantai serambi. Aku ada di ranjang bambu di kamar ibuk. Sejak kapan aku di sini? Dan di mana ibuk? Lantai di luar berderit. Samar, terdengar suara tangisan. Aku mengintip dari balik kain bali yang menggantung sebagai pintu.
Di luar sana, seorang pria kurus bersujud. Terlalu kurus, seperti ada yang menggerogoti dagingnya hingga hanya menyisakan tulang. Ia menangis, bukan berdoa. Bapak. Aku ingin berlari ke arahnya, tapi ada sesuatu yang janggal. Darah menetes dari telapak tangannya, seolah menyakiti diri.
“Aku tidak ingin melakukannya,” suaranya bergetar. “Tapi aku diancam. Keluarga kita diancam, Mak.” Bapak menangis, menciumi kaki ibuk yang berdiri diam, wajahnya dingin.“Bapak sudah pulang?” tanyaku ragu. “Bapak bawa oleh-oleh?” Ibuk meraih tanganku, menarikku kembali ke kamar.“Mung bali turu saja to,” gumamnya dingin. Aku menoleh ke belakang. Bapak masih bersujud, tubuhnya terguncang.
…
Kami bukan orang berada, tapi juga bukan yang paling miskin. Bapak seorang nelayan. Ibuk membuka jasa cuci pakaian. Hidup kami berjalan seperti itu, sampai suatu malam, aku menemukan amplop putih di depan pintu.
Aku baru selesai mengambil air di rumah tetangga. Saat hendak masuk, mataku menangkap amplop tebal itu. Tanganku gemetar ketika membukanya. Isinya uang. Banyak sekali. Aku tidak pernah melihat uang sebanyak itu sebelumnya. Aku buru-buru membuangnya jauh, takut menyentuhnya lebih lama. Beberapa saat kemudian, suara ibuk terdengar dari dalam rumah. “Ini uang haram, Mas! Aku ora mau berurusan denganmu kalau begini.” Ibuk melempar amplop putih itu ke lantai. Bapak menghela napas berat.
“Kita diancam, Mak. Pemerintah itu…” katanya lemah. “Kita ini cuma nelayan. Kalau melawan, kita hanya upil di mata mereka.”Ibuk menangis. Aku terpaku di ambang pintu, tidak tahu harus berbuat apa. Aku hanya memutuskan satu hal: aku tidak ingin menjadi seperti Bapak.
Januari, 2025
Aku berhasil menempuh pendidikan dengan uang hasil keringat sendiri. Mencuci mobil, memoles sepatu, menjadi sopir online dengan mobil pinjaman—apa pun asal bukan uang haram.
Setelah malam itu, Bapak menghilang. Tidak ada kabar. Tidak ada jejak. Ibuk berhenti bekerja, lebih banyak melamun. Tetangga bertanya-tanya, tapi ibuk tak pernah menjawab.
Sementara itu, kasus Pagar Laut makin ramai dibahas. Seharusnya proyek itu melindungi pantai dari abrasi. Tapi, nyatanya? Dana miliaran rupiah justru mengalir ke kantong pejabat dan pengusaha.
Lalu, suatu siang, saat aku pulang sekolah, rumahku lebih berantakan dari biasanya. Barang-barang tergeletak sembarangan. Suara gaduh terdengar dari dalam. Aku bergegas masuk. “Ibuk!”
Di ruang tamu, ibuk berdiri dengan tangan terikat di belakang, wajahnya pucat. Beberapa polisi menahannya. “Bapak walinya?” seorang polisi bertanya.“Lepaskan ibuku! Apa salahnya?” Aku mencoba menarik ibuk, tapi seseorang menahanku.
“Ibu Anda harus ikut kami untuk pemeriksaan lebih lanjut terkait kasus baru baru ini, pagar laut.” Ibuk menoleh padaku, tersenyum tipis. “Ibu pasti kembali, to.”Aku ingin percaya. Tapi sesuatu di hatiku berkata sebaliknya.
Aku berlari ke warnet, satu-satunya tempat di mana aku bisa mencari jawaban. Jari-jariku gemetar saat mengetik di mesin pencari: Kasus Pagar Laut. Berita-berita bermunculan. Aku membaca cepat, menyusuri baris demi baris. "Kasus Pagar Laut: Korupsi dan Penggelapan Dana Melibatkan Pejabat Tinggi Hingga Warga Lokal."
Lalu, mataku menangkap sesuatu yang membuatku terhuyung ke belakang.
Nama Bapak. Bapak terlibat dalam skandal ini. Dan lebih mengejutkan lagi, salah satu saksi kunci yang disebut dalam berita itu adalah… Ibuk.
Aku ingin muntah. Jadi, selama ini ibuk tahu? Selama ini, ia diam karena menyimpan rahasia ini? Lalu, bagaimana jika ia juga terlibat?
Tanganku mengepal. Aku ingin kebenaran. Tapi kebenaran itu bisa menghancurkan keluargaku sendiri. Aku merogoh ponsel dari saku. Aku tahu harus menelepon siapa. “Halo?” suara di seberang terdengar serius. “Saya punya informasi tentang kasus Pagar Laut. Saya ingin memberikan kesaksian.” Hening sesaat. Lalu, “Kami butuh Anda datang ke kantor untuk memberikan kesaksian resmi.” Aku menutup mata. Aku tahu ini akan mengubah segalanya.
“Ya. Saya akan datang.”
…
Aku masih sering datang ke pantai. Ombak bergulung-gulung, seolah tak peduli pada dunia. Dulu, aku ingin menjadi seperti Bapak, menangkap ikan dengan cara tradisionalnya. Sekarang, aku tidak tahu lagi apa yang ingin kukejar.
Mungkin, suatu hari nanti, aku akan menemukan ibuk. Mungkin aku akan menemukan jawaban. Atau mungkin, beberapa pertanyaan memang tidak dimaksudkan untuk memiliki jawaban. Aku menarik napas panjang. Satu hal yang kutahu pasti: kebenaran telah ditegakkan, meskipun harganya begitu mahal.
Dan aku harus belajar hidup dengan itu.