Cerpen Aqila Zahidah
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Ombak menghantam tiang-tiang kayu yang berjejer di sepanjang pantai, menciptakan suara berderit yang mengiringi semilir angin laut. Raina berdiri di tepi dermaga, membiarkan angin asin menerpa wajahnya. Matanya menatap tajam ke pagar laut, barisan kayu yang tertancap kuat di dalam air, melindungi desa mereka dari arus deras dan sesuatu yang lebih dari sekadar ombak.
Sejak ia kecil, ia selalu bertanya-tanya kenapa pagar itu ada di sana. Orang-orang desa bilang, pagar itu dibuat oleh leluhur mereka berabad-abad lalu, bukan hanya sebagai penghalang arus laut, tapi juga sebagai benteng terhadap sesuatu yang tak kasat mata.
"Kau melamun lagi, ya hayoo?"
Suara Alif mengagetkannya. Pemuda berambut ikal nan tampan itu muncul dari belakang dengan membawa gulungan kertas tua yang warnanya sudah kekuningan.
"Lihat ini rai," katanya, menyerahkan gulungan itu.
Raina menerima dan membukanya dengan hati-hati. Di dalamnya, ada peta kasar desa mereka, lengkap dengan gambar pagar laut dan beberapa simbol aneh yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
"Dari mana kau dapat benda ini lif?"
"Hehe, Aku menemukannya di rumah kakek. Dia bilang sih ini sudah ada sejak zaman dulu," jawab Alif. "Aku rasa ini bukan sekadar peta biasa rai mungkin ini peringatan."
Raina menatapnya lekat. "Dan apa maksud simbol-simbol di peta ini?" "Aku tidak tahu rai. Tapi kurasa Dan bisa membantu," kata Alif.
Dan, atau yang nama aslinya adalah Daniel, adalah seorang pemuda desa yang pernah belajar di kota sebelum kembali ke kampung halamannya. Ia sering membantu mencatat sejarah desa dan dipercaya mengetahui banyak hal tentang mitologi desa tempatnya tinggal sekarang.
Tanpa berpikir panjang lagi, mereka berdua menuju rumah Dan. Saat mereka tiba, mereka menemukan pemuda itu sedang duduk di teras rumah, membaca buku tebal tentang mitologi maritim.
Dan pun menatap mereka bingung. "Ada apa?"
"Kami menemukan ini Dan," kata Alif, menyerahkan gulungan kertas tersebut.
Dan membuka dan meneliti simbol-simbol itu. "Aku seperti pernah melihat ini sebelumnya," katanya setelah beberapa saat. “Dari mana kalian mendapatkannya” kemudian alif menjawab “Kakek, aku menemukannya di rumah” akhirnya Daniel menjawab "Simbol ini ada di batu karang dekat pagar laut."
Raina dan Alif saling pandang. "Apa maksudnya?" tanya Raina. "Ayo kita lihat langsung saja," jawab Dan.
Akhirnya Mereka bertiga pergi berjalan ke pantai. Matahari pun mulai terbenam, menciptakan gradasi jingga di langit yang sangat indah. Saat tiba di pagar laut, mereka menyusuri deretan batu karang yang mencuat dari pasir.
Dan berjongkok dan mengusap salah satu batu yang paling besar diantara batu yang lain. "Ini dia," katanya, menunjuk sebuah simbol berbentuk spiral dengan garis-garis menyerupai aliran air.
Raina menyentuh simbol itu, dan tiba-tiba tubuhnya terasa dingin. Seperti ada sesuatu yang merayap di kulitnya.
"Lihat itu!" seru Alif.
Dari balik pagar laut, sesuatu terlihat bergerak di bawah air. Bayangan hitam legam besar melintas di antara ombak, bentuknya samar, tetapi matanya berkilat kehijauan dan sangat menyeramkan.
"Apa itu Dan?" bisik Raina.
Dan menelan ludah. "Aku tidak yakin, tapi menurut cerita lama, pagar laut ini dibuat bukan hanya untuk melawan ombak, tapi juga untuk mengurung sesuatu yang berbahaya."
Bayangan itu pun terlihat semakin jelas. Air di sekitarnya mulai berputar, menciptakan pusaran kecil.
"Kita harus pergi sekarang!" kata Alif panik.
Tapi Raina tetap terpaku di tempatnya. Ada bisikan halus yang muncul entah dari mana. "Hancurkan pagar… bebaskan aku…"
Jantung Raina berdegup kencang. Suara itu terasa seperti panggilan yang sangat sangat dekat. Ia nyaris melangkah maju dan seketika Dan menarik tangannya.
"Jangan dengarkan Raina!" kata Dan dengan tegas. "Kita harus memberitahu kepala desa."
Mereka lalu berlari kembali ke desa, hanya untuk menemukan bahwa desa sudah dalam keadaan gempar. Warga berkumpul di alun-alun, menunjuk ke arah laut dengan wajah ketakutan dan panik, anak-anak yang sedang bermain berhamburan menemui ibu mereka,
para nelayan yang habis menangkap ikan dilaut lang saja menjatuhkan ikan-ikan mereka dan kari ketakutan.
Pagar laut bergetar hebat. Tiang-tiang kayunya berderit, seakan ada sesuatu yang mencoba menerobosnya dari bawah laut.
Pak Sarman, kepala desa, berdiri di depan mereka dengan wajah tegang.
"Ada yang membuka segel," katanya pelan. "Pagar itu bukan sekadar pembatas ombak. Itu adalah penjara."
"Penjara untuk apa?" tanya Raina, meskipun ia sudah tahu jawabannya.
"Untuk sesuatu yang seharusnya tidak pernah bangkit lagi," jawab Pak Sarman.
Malam itu, desa dalam keadaan siaga. Para pria memperkuat pagar laut dengan kayu dan tali tambahan, sementara yang lain berdoa di dalam rumah mereka.
Tapi semua usaha mereka sia-sia.
Beberapa jam kemudian, terdengar suara gemuruh. Tanah bergetar, dan dengan satu hantaman besar, pagar laut hancur berantakan. Kayu-kayunya melayang ke udara sebelum tercebur ke dalam laut.
Dari dalam air, sesuatu muncul.
Makhluk itu raksasa, tubuhnya seperti perpaduan bayangan dan air, matanya bersinar kehijauan. Ombak di sekelilingnya berputar liar, dan suara bisikannya memenuhi udara.
"Akhirnya… bebas."
Warga berteriak ketakutan. Beberapa lari ke dalam rumah, sementara yang lain hanya bisa membeku di tempat.
Raina merasa kepalanya berdenyut. Bisikan itu kini terdengar lebih jelas. "Datanglah kepadaku, Raina…"
Ia tersentak. Bagaimana makhluk itu tahu namanya? "Dan! Apa yang harus kita lakukan?" tanya Alif panik.
Dan meneliti gulungan kertas itu lagi. "Ada mantra di sini! Kita harus menggambar simbol ini di tanah dan mengucapkan kalimat ini bersama-sama."
Tanpa pikir panjang, mereka berlari ke tengah desa dan mulai menggambar simbol itu dengan tongkat kayu. Angin kencang membuat pasir beterbangan, tetapi mereka tetap berusaha.
Sementara itu, makhluk itu semakin mendekat. Ombaknya menghantam daratan, membuat beberapa rumah roboh.
Setelah simbol selesai, Dan mengangkat gulungan dan mulai membaca mantra dengan suara lantang. Raina dan Alif mengikutinya.
Kata-kata itu terasa aneh di lidah mereka, seperti bahasa kuno yang hampir terlupakan.
Makhluk itu mengeluarkan raungan nyaring. Tubuhnya bergetar, seakan ada kekuatan yang menahannya kembali. Ombak yang tadi liar mulai mereda, dan angin pun perlahan berhenti.
Dengan jeritan panjang, makhluk itu akhirnya tersedot kembali ke dalam laut. Cahaya kehijauan dari matanya memudar, dan air kembali tenang.
Desa sunyi. Semua orang menatap laut dengan perasaan tak percaya.
Pak Sarman menghampiri mereka. "Kalian telah menyelamatkan desa ini," katanya dengan suara lirih.
Raina menatap laut. Ia masih bisa mendengar sisa-sisa bisikan di kepalanya, tapi kali ini lebih pelan.
Sejak malam itu, pagar laut dibangun kembali—lebih tinggi dan lebih kuat dari sebelumnya. Tak ada lagi yang mempertanyakan keberadaannya. Semua orang tahu, itu bukan sekadar pagar biasa. Itu adalah benteng terakhir mereka dari kegelapan yang mengintai di dalam laut.