Wednesday, March 12, 2025

Cerpen Lomba | Emilly | Tirai Besi di Samudra, Milik Mereka yang Menjual Hukum

 Cerpen Emilly


(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)



Pertemuan antara manusia terjadi dalam berbagai konteks dan tujuan. Setiap pertemuan membawa perspektif dan pengalaman yang berbeda.

Di tengah hiruk-pikuk pesisir yang terus mengejar waktu, beberapa sudut tetap sama — diam, kokoh, dan menyimpan kisah. Laut terbentang indah, menampilkan warna biru yang gemulai, menyatu dengan langit di cakrawala. Ombak berlarian, membelai pasir, membawa serta cerita dari tempat-tempat jauh.

Bagi nelayan yang menggantungkan hidupnya di sini, laut bukan sekadar hamparan air, melainkan halaman rumah, ruang hidup, dan ibu yang memberi nafkah. Setiap subuh, perahu-perahu kecil berangkat, membelah gelombang, menggapai harapan yang terapung di antara buih. Namun, kini sesuatu telah berubah.

Pagi itu, aku melihat Paman duduk di bangku kayu dengan kepala tertunduk. Wajahnya penuh guratan kecewa. Aku menoleh ke arah laut dan menyaksikan sesuatu yang membuat dadaku sesak. Pagar-pagar besi berdiri tegak di kejauhan, membatasi perairan yang dulu bebas kami jelajahi. Laut yang dulu menerima siapa saja kini terasa seperti milik segelintir orang.

“Paman, ada apa?” tanyaku, meski aku sudah tahu jawabannya.

Ia menghela napas berat. “Mereka bilang ini demi pembangunan. Demi ekonomi. Tapi bagaimana dengan kita?” suaranya serak, dipenuhi kelelahan yang tak hanya berasal dari usia, tapi juga dari kenyataan yang menekan.

Aku mengepalkan tangan. Aku tahu proyek ini sudah lama direncanakan. Aku tahu ada orang-orang yang menentangnya. Tapi kini, saat melihat langsung bagaimana pagar besi itu berdiri, aku merasa lebih kecil dari sebelumnya.

“Jadi, kita harus bagaimana?” tanyaku, lebih kepada diriku sendiri.

Paman tidak menjawab. Ia hanya menatap laut yang berkilauan di bawah matahari pagi — laut yang dulu tak memiliki batas, kini perlahan-lahan dirampas.

“Mereka datang pagi-pagi sekali,” kata Paman lirih. “Tak ada surat peringatan, tak ada kompromi. Mereka bilang ini tanah sengketa, tapi aku tahu siapa yang bermain di belakangnya.”

Aku mengepalkan tangan. Sudah kuduga. Orang-orang itu, yang selalu berbisik manis di depan penguasa, tapi menusuk dari belakang. Mereka mengenakan jas rapi, senyum mereka ramah, tapi tangan mereka dipenuhi noda ketidakadilan.

“Kita bisa lawan, Paman,” kataku, mencoba menyalakan harapan. “Ada bukti, ada saksi. Kita bisa menempuh jalur hukum.”

Paman menggeleng, senyumnya pahit. “Hukum? Hukum itu seperti perahu di lautan badai. Hanya mereka yang punya layar dan kemudi yang bisa selamat. Kita? Kita hanya sebatang kayu yang terombang-ambing.”

Aku menggigit bibir. Kata-katanya pedih, tapi benar. Orang-orang berduit selalu tahu cara menekan hukum agar tunduk pada kepentingan mereka. Laut ini adalah saksi sejarah, tapi bagi mereka, hanya sekadar angka dalam lembaran bisnis.

Namun, aku tidak akan tinggal diam. Paman mungkin telah menyerah, tapi aku tidak. Jika hukum bisa dijilat oleh mereka, maka aku akan menjadi pisau tajam yang mengiris kemunafikan mereka.

Laut ini bukan hanya milik Paman — ini adalah simbol perlawanan. Dan aku tidak akan membiarkan mereka menang dengan mudah.

Pemangkasan anggaran kemarin saja sudah cukup menyakitkan. Kini, mereka dengan rakus menjeruji laut, seolah-olah kami tak lebih dari angka dalam laporan mereka. Masyarakat kecil seperti kami dicekik tanpa ampun oleh kemiskinan yang terus mencengkeram. Setiap hari, harga kebutuhan pokok melambung, sementara pemasukan semakin menipis. Pemerintah berbicara tentang pembangunan dan kemajuan, tetapi kami yang berada di bawah hanya merasakan beban yang semakin berat.

Menutup laut yang menjadi sumber hidup kami adalah penghinaan terbesar. Seakan-akan mereka ingin menegaskan bahwa kami tak punya hak atas warisan yang telah kami jaga turun-temurun. Bahwa kami, nelayan kecil, hanya serpihan yang bisa mereka singkirkan demi proyek-proyek yang mereka sebut sebagai “kemajuan.”

Aku mengepalkan tangan, menahan amarah yang mulai mendidih. “Paman, kita tidak bisa terus diam.”

Paman menarik napas panjang, matanya yang kuyu akhirnya menatapku. “Lantas, apa yang bisa kita lakukan? Menantang mereka? Siapa yang akan mendengar suara kita?”

Aku menggigit bibir. “Jika tak ada yang mau mendengar, kita harus membuat mereka mendengar.”

Ia tertawa kecil, getir. “Kau masih muda. Kau masih punya harapan.”

Tapi ini bukan hanya tentang harapan. Ini tentang hak kami. Tentang kehidupan yang dirampas perlahan-lahan oleh mereka yang tak pernah memikirkan kami.

Di kejauhan, pagar besi itu berdiri kokoh, menancap di perairan seperti luka yang menganga. Aku menatapnya dengan tekad yang menguat. Jika laut ini harus diperjuangkan, aku akan berdiri di garis depan.

Laut ini bukan milik mereka. Laut ini adalah rumah kami. Dan aku akan memastikan mereka tahu itu.

Menutup laut yang menjadi sumber hidup kami adalah penghinaan terbesar. Seakan-akan mereka ingin menegaskan bahwa kami tak punya hak atas warisan yang telah kami jaga turun-temurun. Bahwa kami, nelayan kecil, hanya serpihan yang bisa mereka singkirkan demi proyek-proyek yang mereka sebut sebagai “kemajuan.”

Aku mengepalkan tangan, menahan amarah yang mulai mendidih. “Paman, kita tidak bisa terus diam.”

Paman menarik napas panjang, matanya yang kuyu akhirnya menatapku. “Lantas, apa yang bisa kita lakukan? Menantang mereka? Siapa yang akan mendengar suara kita?”

Aku menggigit bibir. “Jika tak ada yang mau mendengar, kita harus membuat mereka mendengar.”

Tapi ini bukan hanya tentang harapan. Ini tentang hak kami. Tentang kehidupan yang dirampas perlahan-lahan oleh mereka yang tak pernah memikirkan kami.

Di kejauhan, pagar besi itu berdiri kokoh, menancap di perairan seperti luka yang menganga. Aku menatapnya dengan tekad yang menguat. Jika laut ini harus diperjuangkan, aku akan berdiri di garis depan.

Aku berdiri, menyuarakan isi kepalaku kepada hatiku, membulatkan tekad. Baiklah, langkah selanjutnya adalah berkumpul dengan teman-temanku. Aku harus merencanakan sesuatu — bukan sekadar keluhan, bukan sekadar kemarahan yang menguap begitu saja.

Aku ingin suaraku didengar. Aku ingin mereka tahu bahwa kami tidak akan menyerah begitu saja.

Kakiku melangkah mantap menuju ruko di tepi pantai, tempat kami biasa berkumpul. Terakhir kali, pesan yang kukirim sudah dibaca. Itu artinya mereka akan segera datang.

Angin bertiup kencang, lebih kuat dari biasanya, membuat kemeja hijau yang kukenakan berkibar tak teratur. Seolah alam ikut gelisah, merasakan ketidakadilan yang kini mengancam laut yang kami cintai. Aku menarik napas dalam, menenangkan dada yang penuh amarah.

Sesampainya di ruko, beberapa wajah familiar sudah terlihat. Beberapa duduk di bangku kayu yang mulai lapuk, sementara yang lain berdiri, bersandar pada tembok berlumut. Tatapan mereka penuh tanya, penuh harap, dan mungkin sedikit putus asa.

“Jadi, apa yang akan kita lakukan?” suara pertama datang dari Jaka, lelaki bertubuh kekar yang selalu berani berada di garis depan dalam setiap perlawanan kecil di desa.

Aku mengedarkan pandangan, memastikan setiap orang memperhatikanku. Lalu, dengan suara yang kukeraskan agar tak kalah oleh angin, aku berkata, “Kita akan melawan.”

Sejenak, keheningan melingkupi kami.

“Maksudmu?” tanya Ayu, gadis yang keluarganya juga bergantung pada laut untuk bertahan hidup.

“Kita tak bisa hanya duduk diam dan membiarkan mereka mengambil laut kita. Kita harus menyuarakan ketidakadilan ini. Jika mereka menutup telinga, maka kita harus berbicara lebih keras. Jika mereka menutup mata, kita harus berdiri lebih tegak.”

“Tapi bagaimana caranya, Ren?” Gita bertanya.

Aku menatap mereka satu per satu. “Dengan apa pun yang kita punya. Kita bisa mendekati media, menyebarkan kabar ini di mana-mana. Kita bisa menggalang dukungan. Kita bisa melakukan aksi — membuat mereka sadar bahwa kita tidak akan tinggal diam.”

Jaka mengangguk pelan. “Aku setuju. Kita tak bisa terus menerus diperlakukan seperti ini.”

Ayu mengepalkan tangan. “Lalu kapan kita mulai?”

Aku tersenyum tipis, menatap pagar besi yang masih berdiri kokoh di kejauhan.

“Sekarang.”

“Baiklah, kumpulkan semua orang di desa ini.” Doni menatapku meminta persetujuan.

Aku mengangguk. “Ya, kita butuh lebih banyak orang. Semakin banyak suara yang bersatu, semakin sulit mereka mengabaikan kita.”

Jaka segera berdiri. “Aku akan ke pelabuhan. Banyak nelayan yang pasti setuju bergabung.”

“Aku bisa ke pasar,” tambah Ayu. “Banyak ibu-ibu yang kehilangan sumber pemasukan sejak proyek ini mulai berjalan.”

Gita mengangkat tangan. “Aku bisa menghubungi beberapa kenalan di kota. Mungkin ada media yang mau meliput.”

Aku menatap mereka satu per satu, merasa lega bahwa mereka tidak ragu. “Bagus. Kita sebarkan berita ini. Tapi kita juga harus hati-hati. Mereka pasti tidak akan tinggal diam.”

Satria menyilangkan tangan di dadanya. “Kita butuh tempat untuk berkumpul. Kalau kita menyebar tanpa koordinasi, rencana kita bisa berantakan.”

Aku berpikir sejenak. “Bagaimana kalau di rumah Pak Darsa? Dia sudah lama mendukung kita.”

Semua saling bertukar pandang sebelum akhirnya mengangguk setuju.

“Baik. Kita kumpulkan semua orang malam ini di rumah Pak Darsa,” putusku. “Kita rancang strategi. Ini bukan hanya tentang pagar besi itu. Ini tentang hak kita, tentang laut kita, tentang kehidupan kita!”

Sorak kecil terdengar dari beberapa orang. Mata mereka berbinar — bukan hanya karena marah, tapi karena harapan yang mulai menyala.

Aku menarik napas panjang, lalu berkata dengan mantap, “Kita mulai dari sini. Dan kita tidak akan berhenti sampai mereka mendengar kita.”

Kami bergegas ke berbagai penjuru desa. Aku dan Doni menuju rumah Pak Darsa untuk meminta bantuannya, sementara Jaka, Ayu, dan yang lain menyebarkan kabar ke warga.

Sesampainya di rumah Pak Darsa, lelaki tua itu tengah duduk di teras, menghisap rokok lintingnya. Tatapannya tajam, penuh kebijaksanaan yang diperoleh dari pengalaman panjang.

“Ada apa kalian kemari?” tanyanya, suaranya berat.

Aku melangkah maju. “Pak Darsa, kami butuh bantuan Anda. Kami ingin mengumpulkan warga malam ini di rumah Anda. Kami harus melakukan sesuatu sebelum laut benar-benar dirampas dari kami.”

Pak Darsa menghela napas panjang, lalu menatap laut yang terlihat dari rumahnya. “Kalian masih muda, darah kalian masih panas. Tapi ini bukan pertama kali hal seperti ini terjadi, dan setiap kali, kami selalu kalah.”

Aku mengepalkan tangan. “Kali ini berbeda. Kami tidak akan diam. Kami akan menyuarakan ini ke media, menggalang dukungan. Kami harus berjuang.”

Pak Darsa terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Baiklah. Kalian boleh gunakan rumah ini. Tapi hati-hati, Ren. Tidak semua orang di desa ini akan mendukung kalian. Ada yang takut. Ada yang sudah menyerah. Dan ada juga yang justru berpihak pada mereka.”

Aku mengangguk. “Kami siap menghadapi semua itu. Terima kasih, Pak.”

Malam menjelang, dan warga mulai berdatangan ke rumah Pak Darsa. Beberapa datang dengan wajah penuh harapan, sementara yang lain tampak ragu.

Seorang pria tua bernama Pak Karim duduk di sudut ruangan, menggeleng-gelengkan kepala. “Aku sudah hidup di desa ini lebih dari setengah abad. Aku sudah melihat banyak perlawanan seperti ini, dan semuanya berakhir sama: kita kalah. Tak ada gunanya melawan orang-orang yang lebih kuat.”

“Pak Karim, kalau kita tidak melawan, kita akan kehilangan laut kita selamanya!” seru Ayu.

“Dan kalau kita melawan? Apa jaminannya kita menang?” sahut Pak Karim dengan nada lelah.

Dari sisi lain ruangan, seorang pemuda bernama Surya berdiri dengan marah. “Kalau kalian semua takut, lebih baik diam dan jangan menghambat kami yang masih ingin berjuang!”

Beberapa orang mulai bergumam, perdebatan mulai memanas. Aku melangkah ke tengah ruangan dan mengangkat tangan untuk menenangkan mereka.

“Kita semua punya hak untuk memilih,” kataku, suaraku tegas. “Tapi jika kita tidak melakukan apa pun, mereka akan terus merampas hak kita sedikit demi sedikit. Mungkin kita tidak bisa menang sekarang, tapi jika kita tetap diam, kita pasti kalah.”

Suasana hening sejenak. Perlahan, beberapa orang mulai mengangguk.

Jaka melangkah ke depan. “Kami tidak memaksa siapa pun. Tapi jika kalian ingin bertarung bersama kami, inilah saatnya.”

Satu per satu, tangan mulai terangkat. Tidak semua warga setuju, tapi cukup banyak yang siap untuk berjuang. Itu cukup bagi kami.

Aku menatap wajah-wajah mereka dan tersenyum tipis. Ini baru permulaan. Tapi kami telah membuat langkah pertama. Dan itu lebih baik daripada tidak melakukan apa pun.

Perjuangan kami dimulai malam ini.

Namun, keesokan paginya, semuanya berubah. Kami terbangun oleh suara derap langkah dan suara teriakan. Polisi dan aparat keamanan berdatangan ke desa, mengepung rumah Pak Darsa. Beberapa warga yang semalam bersumpah untuk berjuang kini berbisik di belakang layar. Seseorang telah mengkhianati kami.

Aku melihat Jaka ditarik dengan kasar, Ayu berusaha melepaskan diri, sementara Gita berteriak marah. Aku meronta ketika dua petugas menahan lenganku. Mata kami saling bertemu, penuh kekecewaan dan kemarahan.

Pertikaian tak terhindarkan. Beberapa warga melawan, mencoba mempertahankan kehormatan mereka. Pukulan, dorongan, jeritan menggema di sepanjang jalan desa. Aku melihat Doni tersungkur di tanah, darah mengalir dari pelipisnya. Pak Darsa mencoba menenangkan keadaan, tapi suaranya tenggelam dalam kegaduhan.

Di antara kericuhan itu, aku melihat wajah seorang lelaki yang berdiri di antara kerumunan dengan wajah menunduk. Tatapannya menghindar, seakan tidak sanggup menatap kami. Dialah pengkhianatnya.

Ketika akhirnya debu mereda, pagar besi itu tetap berdiri. Tak ada yang bisa kami lakukan lagi. Laut itu — laut kami — tak bisa diselamatkan.

Namun, meski kalah dalam pertempuran ini, perjuangan kami tak sia-sia. Kabar tentang pemberontakan kecil kami menyebar luas, menyentuh hati banyak orang. Kami kalah hari ini, tapi suara kami telah terdengar.

Aku menatap laut yang kini tertutup pagar besi. Angin tetap berhembus, ombak tetap berdebur, seakan membisikkan janji bahwa ini belum akhir.

Perjuangan kami belum selesai. Suatu hari nanti, pagar itu akan runtuh. Kami akan kembali.